Zakat fitrah
Zakat fitrah dikenal juga sebagai
zakat badan, zakat puasa, zakat Ramadan, dan zakat Fitri karena masa untuk menyempurnakannya adalah pada akhir Ramadan dan menjelang Hari Raya Aidilfitri.
Zakat
fitrah adalah sebagai penyuci orang yang berpuasa daripada melakukan
perbuatan keji dan buruk juga untuk dijadikan sumber keperluan orang
asnaf ketika 1 Syawal(siang & malam).
Syarat Zakat Fitrah
- Islam
- Mempunyai sesuatu (makanan, harta, atau uang) yang lebih daripada
keperluan diri sendiri dan keperluan orang yang ditanggung untuk dinafkahinya
untuk satu hari siang dan malam Hari Raya itu.
- Dapat menemui dua masa – akhir Ramadan dan awal Syawal. Orang yang
meninggal dunia sebelum terbenam matahari atau anak yang dilahirkan
selepas matahari terbenam malam satu Syawal itu tidak wajib fitrah ke
atasnya.
Kewajipan zakat fitrah
- Ketua keluarga wajib membayar zakat fitrah untuk dirinya dan juga tanggungannya.
- Jika salah satu dari tanggungannya meninggal dalam bulan puasa, maka orang itu terlepas daripada membayar zakat fitrah.
Waktu mengeluarkan zakat fitrah terbahagi kepada 5
Waktu mengeluarkan zakat fitrah terbahagi kepada 5:
Waktu wajib: Apabila terbenam
matahari akhir 30 ramadhan sehingga terbit matahari esoknya.
Waktu yang paling afdhal: Sebelum
Sholat Sunat Hari Raya.
Waktu sunat: Sepanjang bulan Ramadhan.
Waktu makruh: Selepas sholat sunat hari raya sehingga terbenam matahari pada satu Syawal.
Waktu haram: Selepas terbenam matahari satu
Syawal.
Hukum Zakat Fitrah
Zakat fitrah adalah wajib atas setiap muslim dan muslimah. Berdasar hadits berikut, Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata,
“Rasulullah
saw. telah memfardhukan (mewajibkan) zakat fitrah satu sha’ tamar atau
satu sha’ gandum atas hamba sahaya, orang merdeka, baik laki-laki maupun
perempuan, baik kecil maupun tua dari kalangan kaum Muslimin; dan
beliau menyuruh agar dikeluarkan sebelum masyarakat pergi ke tempat
shalat ‘Idul Fitri.” (Muttafaqun ‘alaih : Fathul Bari III :367
no:1503, Muslim II: 277 no:279/984 dan 986, Tirmidzi II : 92 dan 93 no:
670 dan 672, ‘Aunul Ma’bud V:4-5 no: 1595 dan 1596, Nasa’i V:45, Ibnu
Majah I: 584 no:1826 dan dalam Sunan Ibnu Majah ini tidak terdapat “WA
AMARA BIHA…”).
Doa Niat Zakat Fitrah
Hikmah Zakat Fitrah
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, “Rasulullah saw. telah mewajibkan zakat
fitrah sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang
sia-sia dan yang kotor, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin.
Barangsiapa yang mengeluarkannya sebelum (selesai) shalat ‘id, maka itu
adalah zakat yang diterima (oleh Allah); dan siapa saja yang
mengeluarkannya sesuai shalat ‘id, maka itu adalah shadaqah biasa,
(bukan zakat fitrah).” (Hasan : Shahihul Ibnu Majah no: 1480, Ibnu Majah
I: 585 no: 1827 dan ‘Aunul Ma’bud V: 3 no:1594).
Siapakah Yang Wajib Mengeluarkan Zakat Fitrah
Yang wajib mengeluarkan zakat fitrah ialah orang muslim yang merdeka
yang sudah memiliki makanan pokok melebihi kebutuhan dirinya sendiri dan
keluarganya untuk sehari semalam. Di samping itu, ia juga wajib
mengeluarkan zakat fitrah untuk orang-orang yang menjadi tanggungannya,
seperti isterinya, anak-anaknya, pembantunya, (dan budaknya), bila
mereka itu muslim.
Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata, “Rasulullah saw. pernah memerintah
(kita) agar mengeluarkan zakat untuk anak kecil dan orang dewasa, untuk
orang merdeka dan hamba sahaya dari kalangan orang-orang yang kamu
tanggung kebutuhan pokoknya.” (Shahih : Irwa-ul Ghalil no: 835,
Daruquthni II:141 no: 12 dan Baihaqi IV: 161).
Besarnya Zakat Fitrah
Setiap individu wajib mengeluarkan zakat fitrah sebesar setengah sha’
gandum, atau satu sha’ kurma, atau satu sha’ kismis, atau satu sha’
gandum (jenis lain) atau satu sha’ susu kering, atau yang semisal dengan
itu yang termasuk makanan pokok, misalnya beras, jagung dan semisalnya
yang termasuk makanan pokok.
Adapun bolehnya mengeluarkan zakat fitrah dengan setengah sha’
gandum, didasarkan pada hadits dari ‘Urwah bin Zubair r.a., (ia
bertutur), “Bahwa Asma’ binti Abu Bakar r.a. biasa mengeluarkan (zakat
fitrah) pada masa Rasulullah saw., untuk keluarganya yaitu orang yang
merdeka di antara mereka dan hamba sahaya – dua mud gandum, atau satu
sha’ kurma kering dengan menggunakan mud atau sha’ yang biasa mereka
mengukur dengannya makanan pokok mereka.” (ath-Thahawai II:43 dan lafadz
ini baginya).
Adapun bolehnya mengeluarkan zakat fitrah satu sha’ selain gandum
yang dimaksud di atas, mengacu kepada hadits dari Abu Sa’id al-Khudri
r.a. ia berkata, “Kami biasa mengeluarkan zakat fitrah satu sha’
makanan, atau satu sha’ gandum (jenis lain), atau satu sha’ kurma
kering, atau satu sha’ susu kering, atau satu sha’ kismis. (Muttafaqun
‘alaih : Fathul Bari III:371 no: 1506, Muslim II:678 no:985, Tirmizi II:
91 no :668, ‘Aunul Ma’bud V:13 no:1601, Nasa’i V:51 dan Ibnu Majah
I:585 no:1829).
Dalam Syarah Muslim VII:60 Imam Nawawi menegaskan, “Menurut mayoritas
fuqaha tidak boleh mengeluarkan zakat fitrah dengan harganya (bukan
berupa makanan pokok).”
Menurut hemat penulis sendiri, pendapat Imam Abu Hanifah r.a. yang
membolehkan mengeluarkan zakat dengan harganya tertolak, karena ayat
Qur’an mengatakan yang artinya,
“Dan Rabbmu tidak pernah lupa.” (Maryam : 64).
Andaikata mengeluarkan zakat fitrah dengan harganya atau uang
dibolehkan dan dianggap mewakili, sudah barang tentu Allah Ta’ala dan
Rasul-Nya menjelaskannya. Oleh karena itu, kita wajib mencukupkan diri
dengan zhahir nash-nash syar’I, tanpa memalingkan (maknanya) dan tanpa
pula memaksakan diri untuk mentakwilkan.
Waktu Mengeluarkan Zakat Fitrah
Dari Ibnu Umar r.a. ia berkata, “Rasulullah saw. pernah memerintah
(kami) agar zakat fitrah dikeluarkan sebelum orang-orang berangkat ke
tempat shalat “Idul Fitri”. (Takhrij haditsnya lihat pembahasan Hukum
Zakat Fitrah, beberapa halaman sebelumnya).
Bagi yang punya, boleh mengeluarkan zakat fitrah satu atau dua hari
sebelum ‘Idul Fitri. Sebab ada riwayat dari Nafi’, berkata, “Adalah Ibnu
Umar r.a. menyerahkan zakat fitrah kepada orang-orang yang berhak
menerimanya; dan kaum Muslim yang wajib mengeluarkan zakat
mengeluarkannya sehari atau dua hari sebelum ‘Idul Fitri.” (Shahih :
Fathul Bari III:375 no:1511).
Haram menunda pengeluaran zakat fitrah hingga di luar waktunya, tanpa
adanya udzur syar’i. Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, “Rasulullah saw.
telah memfardhukan zakat fitrah (atas kaum Muslimin) sebagai pembersih
bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan kotor, dan sebagai
makanan bagi orang-orang miskin. Maka barangsiapa yang mengeluarkannya
seusai shalat ‘Idul Fitri’, maka dari itu termasuk shadaqah biasa.”
(Nash hadits ini sudah termaktub dalam pembahasan Hikmah Zakat Fitrah).
Yang Berhak Menerima Zakat Fitrah
Zakat Fitrah hanya dialokasikan kepada orang-orang miskin saja. Ini
didasarkan pada Sabda Nabi saw. yang diriwayatkan melalui Ibnu Abbas
r.a., “Sebagai makanan bagi orang-orang miskin.” (Teks Arabnya termuat
dalam pembahasan Hikmah Zakat Fitrah).
Shadaqah Tathawwu’ (shadaqah sunnah)
Sangat dianjurkan memperbanyak shadaqah tathawwu’, (shadaqah sunnah). Berdasar firman Allah SWT,
“Perumpamaan
(infak yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menginfakkan hartanya di
jalan Allah adalah serupa dengan butir benih yang menumbuhkan tujuh
bulir, pada tiap-tiap bulir; seratus biji. Allah melipatgandakan
(ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas
(kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (Al-Baqarah:261).
Juga berdasarkan sabda Nabi saw.,
“Tidak ada suatu ketika segenap
hamba berada di pagi hari melainkan dua puluh malaikat akan turun lalu
salah seorang di antara keduanya berkata, Ya Allah berilah ganti kepada
orang tersebut berinfak itu, dan yang lain berdo’a (juga), Ya Allah
berilah kerusakan kepada orang yang enggan berinfak itu).” (Muttafaqun ‘alaih : Fathul Bari III:304 no: 1442 dan Muslim II : 700 : 1010).
Dan orang yang paling utama memperoleh shadaqah ialah keluarganya dan kerabatnya. Rasulullah saw. menegaskan,
“Sedekah
yang diberikan kepada orang miskin adalah berfungsi sebagai shadaqah,
sedang yang diberikan kepada kerabat (mempunyai) dua fungsi; sebagai
shadaqah dan sebagai silaturrahmi (penyambung hubungan rahim).” (Shahih : Shahihul Jami’us Shaghir no : 3835 dan Tirmidzi II: 84 no: 653).
Sumber: Diadaptasi dari ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi,
Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz, atau
Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma’ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 448 – 453.
SASARAN PEMBAHAGIAN ZAKAT
Allah SWT berfirman
, “Sesungguhnya zakat-zakat ini, hanyalah
untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat,
para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, untuk
orang-orang yang berhutang, untuk di jalan Allah dan orang-orang yang
sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (At-Taubah:60).
Ibnu Katsir r.a. ketika menafsirkan ayat ini dalam kitab tafsirnya
II: 364 mengatakan, “Tatkala Allah SWT menyebutkan penentangan
orang-orang munafik yang bodoh itu atas penjelasan Nabi saw. dan mereka
mengecam Rasulullah mengenai pembagian zakat, maka kemudian Allah SWT
menerangkan dengan gamblang bahwa Dialah yang membaginya. Dialah yang
menetapkan ketentuannya, dan Dialah pula yang memproses
ketentuan-ketentuan zakat itu, sendirian, tanpa campur tangan siapapun.
Dia tidak pernah menyerahkan masalah pembagian ini kepada siapapun
selain Dia. Maka Dia membagi-bagikannya kepada orang-orang yang telah
disebutkan dalam ayat di atas :
Apakah Delapan Golongan Ini Harus Mendapatkan Bagian Semua ?
Pakar tafsir kenamaan Ibnu Katsir menegaskan bahwa para ulama’
berbeda pendapat mengenai delapan kelompok ini, apakah mereka harus
mendapatkan bagian semua, ataukah boleh diberikan kepada sebagian di
antara mereka ? Dalam hal ini, ada dua pendapat :
Pendapat
pertama, mengatakan bahwa zakat itu harus dibagikan
kepada semua delapan kelompok itu. Ini adalah pendapat Imam Syafi’I
dan sejumlah ulama’ yang lain.
Pendapat
kedua, menyatakan bahwa tidak harus dibagikan
kepada mereka semua, boleh saja, dibagikan pada satu kelompok saja
diantara mereka, seluruh zakat diberikan kepada kelompok tersebut,
walaupun ada kelompok-kelompok yang lain. Ini adalah pendapat Imam Malik
dan sejumlah ulama’ salaf dan khalaf, di antara mereka ialah Umar bin
Khatab, Hudzifah Ibnul Yaman, Ibnu Abbas Abul’Aliyah, Sa’id bin Jubair,
Maimun bin Mahcar, Ibnu Jarir mengatakan, “Ini adalah pendapat mayoritas
ahli ilmu. Oleh karena itu, penulis, (Abdul ‘Azhim bin Badawi)
menyebutkan semua kelompok yang berhak menerima zakat di sini hanyalah
untuk menjelaskan pengertian masing-masing kelompok, bukan karena
keharusan memberikan zakat itu kepada semuanya.
Imam Ibnu Katsir mengatakan, bahwa ia akan menyebutkan hadits –hadits
yang bertalian dengan masing-masing dari delapan kelompok kita:
Kelompok pertama ; Orang-orang fakir
Dari Abdullah Ibnu Umar bin al-Ash r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Zakat tidak halal bagi orang yang kaya dan tidak (pula) bagi orang yang sehat dan kuat,”
(Shahih : Shahihul Jami’ no: 7251, Tirmidzi II: 81 no: 647, ‘Aunul
Ma’bud V:42 no:1618, dan Abu Hurairah meriwayatkannya lihat Ibnu Majah
I:589 no: 1839 dan Nasa’i V:39).
Dari Ubaidillah bin ‘Adi bin al-Khiyar r.a. bahwa ada dua orang
sahabat mengabarkan kepadanya bahwa mereka berdua pernah menemui Nabi
saw. meminta zakat kepadanya, maka Rasulullah memperhatikan mereka
berdua dengan seksama dan Rasulullah mendapatkan mereka sebagai
orang-orang yang gagah. Kemudian Rasulullah bersabda, “Jika kamu berdua
mau, akan saya beri, tetapi (sesungguhnya) orang yang kaya dan orang
yang kuat berusaha tidak mempunyai bagian untuk menerima zakat,” (Shahih
: Shahih Abu Daud no: 1438, ‘Aunul Ma’bud V: 41 serta Nasa’i V:99).
Kelompok kedua; Orang-Orang Miskin
Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda,
“Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling minta-minta agar diberi sesuap dua suap makanan dan satu biji kurma,” (Kemudian) para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, (kalau begitu) siapa yang dimaksud orang miskin itu?” Jawab Beliau,
“Salah
mereka yang yang hidupnya tidak berkecukupan dan dia tidak punya
kepandaian untuk itu, lalau diberi shadaqah, dan mereka tidak mau
minta-minta kepada orang lain.” (Muttafaqun ‘alaih:Muslim II : 719
no:1039 dan lafadz baginya, Fathul Bari III : 341 no: 1479, Nasa’i V:85
dan Abu Daud V:39 no: 1615).
Kelompok ketiga: Para Amil Zakat
Mereka adalah orang-orang yang bertugas menarik dan mengumpulkan zakat.
Mereka berhak mendapatkan bagian dari zakat, namun mereka tidak boleh
berasal dari kalangan kerabat Rasulullah saw. yang haram menerima zakat.
Hal ini ditegaskan oleh hadits shahih riwayat Imam Muslim dan lain-lain
:
Dari Abdul Mutthalib bin Rabi’ah al Harits bahwa ia pernah berangkat
di Fadhl bin al Abbas r.a. menghadap Rasulullah saw. lalu memohon kepada
beliau agar mereka diangkat sebagai penarik dan pengumpul zakat. Maka
(kepada mereka). Beliau bersabda,
“Sesungguhnya zakat itu tidak
halal bagi keluarga Muhammad dan tidak (pula) bagi keluarga Muhammad;
karena zakat itu adalah kotoran (untuk mensucikan diri) manusia.”
(Shahih ; Shahihul Jami’ no:1664, Muslim II : 752 no:1072, ‘Aunul Ma’bud
VIII: 205.(Imam Nawawi berkata, “Ma’na AUSAKHUN NAAS ialah zakat itu
sebagai pembersih harta benda dan jiwa mereka, sebagaimana yang
ditegaskan Allah Ta’ala,
“Pungutlah sebagian dari harta benda mereka sebagai zakat yang mensucikan mereka dan membersihkan (jiwa) mereka.“ Jadi zakat adalah pembersih kotoran. Lihat Syarah Muslim VII:251).
Kelompok keempat : Orang-orang Muallaf
Kelompok muallaf ini terbagi menjadi beberapa bagian.
1.Orang yang diberi sebagian zakat agar kemudian memeluk Islam.
Sebagai misal Nabi saw. pernah memberi Shafwan bin Umayyah sebagian dari
hasil rampasan perang Hunain, dimana waktu itu ia ikut berperang
bersama kaum Muslimin:
“Nabi saw. selalu memberi kepada hingga beliau menjadi orang yang
paling kucintai, setelah sebelumnya beliau menjadi orang yang paling
kubenci.” (Shahih : Mukhtashar Muslim no: 1558, Muslim II:754 no:168 dan
1072, ‘Aunul Ma’bud VIII: 205-208 no: 2969, dan Nasa’i V:105-106).
2.Golongan orang yang diberi zakat dengan harapan agar keislamannya kian baik dan hatinya semakin mantap.
Seperti pada waktu perang Hunain juga,ada sekelompok prajurit beserta
pemukanya diberi seratus unta, kemudian Rasulullah saw. bersabda,
“Sesungguhnya
aku benar-benar memberi zakat kepada seorang laki-laki, walaupun selain
dia lebih kucintai daripadanya (laki-laki tersebut) karena khawatir
Allah akan mencampakkannya ke (jurang) neraka Jahanam.” (Muttafaqun ‘alaih : Fathul Bari I: 79 no:27, Muslim I:132 no:150, ‘Aunul Ma’bud XII : 440 no:4659, dan Nasa’i VIII:103).
Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan dari Abu Sa’id r.a.
bahwa Ali r.a. pernah diutus menghadap kepada Nabi saw. dari Yaman
dengan membawa emas yang masih berdebu, lalu dibagi oleh beliau saw.
kepada empat orang (pertama) al-Aqra’ bin Habis, (kedua) Uyainah bin
Badr, (ketiga) ‘Alqamah bin ‘Alatsah, dan (keempat) Zaid al-Khair, lalu
Rasulullah bersabda, “Aku menarik hati mereka.” (Muttafaqun ‘alaih :
Fathul Bari III: 67 no:4351, Muslim II:741 no:1064, ‘Aunul Ma’bud XIII :
109 no:4738).
3.Bagian ini ialah orang-orang muallaf yang diberi zakat lantaran rekan-rekan mereka yang masih diharapkan juga memeluk Islam.
4.Mereka yang mendapat bagian zakat agar menarik zakat dari
rekan-rekannya, atau agar membantu ikut mengamankan kaum Muslimin yang
sedang bertugas di daerah perbatasan. Wallahu a’lam.
Apakah muallaf sepeninggal Nabi saw. masih berhak mendapatkan bagian dari zakat ?
Ibnu Katsir r.a. mengatakan bahwa dalam hal ini ada perbedaan
pendapat di kalangan ulama’ bahwa para muallaf tidak usah diberi bagian
dari zakat setelah beliau wafat, karena Allah telah memperkuat agama
Islam dan para pemeluknya serta telah memberi kedudukan yang kuat kepada
mereka di bumi dan telah menjadikan hamba-hambaNya tunduk pada mereka
(kaum muslimin).
Kelompok yang lain berpendapat, bahwa para muallaf itu tetap harus
diberi, karena Rasulullah saw. pernah memberi mereka zakat setelah
penaklukan kota Mekkah dan penaklukan Hawazin, zakat ini kadang-kadang
amat dibutuhkan oleh mereka, sehingga mereka harus mendapat alokasi
bagian dari zakat.
Kelompok kelima :Untuk memerdekakan Budak
Diriwayatkan dari al-Hasan al-Bashri, Muqatil bin Hayyan, Umar bin
Abdul Aziz, Sa’id bin Jubair, an-Nakha’i, az-Zuhri, Ibnu Zaid bahwa
yang dimaksud riqab, bentuk jama’ dari raqabah “budak belian” ialah
hamba mukatab (hama yang telah menyatakan perjanjian dengan tuannya
bilamana sanggup menghasilkan harta dengan nilai tertentu dia akan
dimerdekakan, pent). Diriwayatkan juga pendapat yang semisal dengan
pendapat tersebut dari Abu Musa al-Asy’ari, dan ini adalah pendapat Imam
Syafi’i dan al-Lain.
Ibnu Abbas dan al-Hasan berkata, “Tidak mengapa memerdekakan budak
belian dengan uang dari zakat.” Ini juga menjadi pendapat Mazhab Imam
Ahmad, Imam Malik, dan Imam Ishaq. Yaitu bahwa kata riqab lebih
menyeluruh ma’nanya daripada sekedar memberi zakat kepada hamba mukatab,
atau sekedar membeli budak lalu dimerdekakan.
Ada banyak hadits yang menerangkan besarnya pahala memerdekakan
budak, dan Allah SWT untuk setiap anggota badan budak tersebut
memerdekakan satu anggota badan orang yang memerdekakannya dari api
neraka, sampai untuk kemaluan sang budak Allah memerdekakan kemaluan
orang yang memerdekakannya. Sebagaimana yang ditegaskan dalam hadits
berikut :
Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda,
“Barangsiapa
yang telah memerdekakan seorang budak mukmin, niscaya Allah dengan
setiap anggota badannya akan membebaskannya anggota badan (orang yang
memerdekakannya) dari api neraka, hingga orang itu memerdekakan
(masalah) kemaluan dengan kemaluan.” (Shahih : Shahihul Jami’us Shaghir no:6051, Tirmidzi III:49 no: 1581).
Hal itu tidak lain, karena balasan suatu amal perbuatan sejenis dengan amal yang dilakukannya. Allah berfirman,
“Dan kamu tidak diberi pembalasan, melainkan apa yang telah kamu lakukan.” (QS.ash-Shaffat.39).
Kelompok keenam : Orang-orang yang Berhutang
Mereka terbagi menjadi beberapa bagian :
Pertama, orang yang
mempunyai tanggungan atau dia menjamin suatu hutang lalu menjadi wajib
baginya untuk melunasinya kemudian meludeskan seluruh hartanya karena
hutang tersebut;
kedua, orang yang bangkrut;
ketiga, orang yang berhutang untuk menutupi hutangnya; dan
keempat, orang yang berlumuran maksiat, lalu bertaubat. Maka mereka semua layak menerima bagian dari zakat.
Dasar yang menjadikan pijakan untuk masalah ini ialah hadits dari
Qubaishah bin Mukhariq al-Hilali r.a. ia berkata, Aku pernah mempunyai
tanggungan (untuk mendamaikan dua pihak yang bersengketa), kemudian aku
datang kepada Rasulullah saw. menanyakan perihal beban tanggungan itu.
Maka Beliau bersabda, “Tegakkanlah, hingga datang zakat untuk kuberikan
kepadamu!” Rasulullah saw. melanjutkan sabdanya, “Ya Qubaishah
sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi tiga golongan: (
Pertama)
orang-orang yang memikul beban untuk mendamaikan dua pihak yang
bersengketa, maka dihalalkan baginya meminta, sampai berhasil
mendapatkannya, sehingga berhenti memintanya. (
Kedua), orang
yang tertimpa kebingungan yang sangat, karena rusaknya harta bendanya,
maka kepadanya dihalalkan meminta zakat, sehingga ia mendapatkan
kekuatan untuk menutupi kebutuhan hidupnya. (
Ketiga), orang
yang mendapatkan kesulitan hidup hingga tiga orang dari pemuka kaumnya
berdiri (lalu bertutur), bahwa kesulitan hidup telah menimpa si fulan,
maka baginya dihalalkan meminta hingga mempunyai kekuatan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Maka tidak ada hak bagi selain yang tiga kelompok
itu untuk meminta wahai Qubaishah!” (Shahih : Mukhtashar Muslim no:
568, Muslim II: 722 no:1044, ‘Aunul Ma’bud V:49 no: 1624, dan Nasa’i
V:96).
Kelompok ketujuh : fi sabilillah ialah para mujahid sukarelawan yang tidak memiliki bagian atau gaji yang tetap dari kas negara.
Menurut Imam Ahmad, al-Hasan al-Bashri dan Ishaq bahwa menunaikan
ibadah haji termasuk fi sabilillah. Menurut hemat penulis Syaikh Abdul
‘Azhim bin Badawi, tiga imam itu mendasarkan pendapatnya pada hadits
berikut :
Dari Ibnu Abbas r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. bermaksud hendak
menunaikan ibadah haji. Lalu ada seorang wanita berkata kepada suaminya
(tolong) hajikanlah aku bersama Rasulullah saw.” Maka jawabnya, “Aku
tidak punya biaya untuk menghajikanmu.“ Ia berkata (lagi) kepada
suaminya, “(Tolong) hajikanlah diriku dengan biaya dari menjual untamu
(yang berasal dari zakat) si fulan itu.” Maka jawabnya, “Itu
diperuntukkan fi sabilillah Azza Wa Jalla.” Kemudian sang suami datang
menghadap Rasulullah saw. lalu bertutur, “(Ya Rasulullah), sesungguhnya
isteriku menyampaikan salam kepadamu; dan ia meminta kepadaku agar ia
bisa menunaikan ibadah haji bersamamu. Ia mengatakan, kepadaku,
“(Tolong) hajikanlah aku dengan biaya dari hasil menjual untamu (yang
berasal dari zakat) si fulan itu,’ Lalu saya jawab, “Itu diperuntukkan
fi sabilillah,’ “Maka Rasulullah saw. bersabda,
“Ketahuilah sesungguhnya, kalau engkau menghajikannya dengan biaya berasal dari hasil tersebut, berarti fi sabilillah juga).” (Hasan Shahih : Shahih Abu Daud no : 1753, ‘Aunul Ma’bud V:465 no : 1974, Mustadrak Hakim I: 183, dan Baihaqi VI: 164).
Kelompok kedelapan : Ibnu Sabil
Adalah seorang yang musafir melintas di suatu negeri tanpa membawa
bekal yang cukup untuk kepentingan perjalanannya, maka dia pantas
mendapat alokasi dari bagian zakat yang cukup hingga kembali ke
negerinya sendiri, meskipun ia seorang yang mempunyai harta.
Demikian juga hukum yang diterapkan kepada orang yang mengadakan
safar dari negerinya ke negeri orang dan dia ia tidak membawa bekal
sedikitpun, maka ia berhak diberi bagian dari zakat yang sekiranya cukup
untuk pulang dan pergi. Adapun dalilnya ialah ayat enam puluh surah
at-Taubah dan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Ibnu
Majah.
Dari Ma’mar dari Yasid bin Aslam, dari ‘Atha’ bin Yassar dari Abi Sa’id r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “
Zakat
tidak halal bagi orang yang kaya, kecuali bagi lima (kelompok):
(pertama) orang kaya yang menjadi amil zakat, (kedua) orang kaya yang
membeli barang zakat dengan harta pribadinya, (ketiga) orang yang
berutang; (keempat) orang kaya yang ikut berperang di jalan Allah,
(kelima) orang miskin yang mendapat bagian zakat, lalu dihadiahkannya
kembali kepada orang kaya,” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 7250, ‘Aunul Ma’bud V : 44 no : 1619, dan Ibnu Majah I: 590 no :1841).
Sumber: Diadaptasi dari ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi,
Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz, atau
Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma’ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm. 439 – 448.