Peringatan Maulid Nabi pertama kali dilakukan oleh raja Irbil
(wilayah Irak sekarang), bernama Muzhaffaruddin al-Kaukabri, pada awal
abad ke 7 hijriyah. Ibn Katsir dalam kitab
Tarikh berkata:
“Raja Muzhaffar mengadakan peringatan maulid Nabi pada bulan Rabi’ul
Awwal. Beliau merayakannya secara besar-besaran. Beliau adalah seorang
pemberani, pahlawan, alim dan seorang yang adil -semoga Allah
merahmatinya-”.
Dijelaskan oleh
Sibth (cucu) Ibn al-Jauzi bahwa dalam
peringatan tersebut raja al-Muzhaffar mengundang seluruh rakyatnya dan
seluruh para ulama dari berbagai disiplin ilmu, baik ulama fiqh, ulama
hadits, ulama kalam, ulama ushul, para ahli tasawwuf dan lainnya. Sejak
tiga hari sebelum hari pelaksanaan beliau telah melakukan berbagai
persiapan. Ribuan kambing dan unta disembelih untuk hidangan para tamu
yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut.
Segenap para ulama saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang
dilakukan oleh raja al-Muzhaffar tersebut. Mereka semua mengapresiasi
dan menganggap baik perayaan maulid Nabi yang digelar untuk pertama
kalinya itu. Ibn Khallikan dalam kitab
Wafayat al-A’yan menceritakan bahwa
al-Imam al-Hafizh
Ibn Dihyah datang dari Maroko menuju Syam untuk selanjutnya menuju
Irak, ketika melintasi daerah Irbil pada tahun 604 H, beliau mendapati
Raja al-Muzhaffar, raja Irbil tersebut sangat besar perhatiannya
terhadap perayaan Maulid Nabi. Oleh karenanya
al-Hafzih Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang Maulid Nabi yang diberi judul “
at-Tanwir Fi Maulid al-Basyir an-Nadzir”. Karya ini kemudian beliau hadiahkan kepada raja al-Muzhaffar.
Para ulama, semenjak masa raja al-Muzhaffar dan masa sesudahnya
hingga sampai sekarang ini menganggap bahwa perayaan maulid Nabi adalah
sesuatu yang baik. Jajaran para ulama terkemuka dan
Huffazh al-Hadits telah menyatakan demikian. Di antara mereka seperti
al-Hafizh Ibn Dihyah (abad 7 H),
al-Hafizh al-'Iraqi (W 806 H),
Al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani (W 852 H),
al-Hafizh as-Suyuthi (W 911 H),
al-Hafizh as-Sakhawi (W 902 H), Syekh Ibn Hajar al-Haitami (W 974 H),
al-Imam an-Nawawi (W 676 H),
al-Imam al-‘Izz
ibn 'Abd as-Salam (W 660 H), mantan mufti Mesir; Syekh Muhammad Bakhit
al-Muthi'i (W 1354 H), Mantan Mufti Bairut Lebanon; Syekh Mushthafa Naja
(W 1351 H) dan masih banyak lagi para ulama besar yang lainnya. Bahkan
al-Imam as-Suyuthi menulis karya khusus tentang maulid yang berjudul
“Husn al-Maqsid Fi ‘Amal al-Maulid”.
Karena itu perayaan maulid Nabi, yang biasa dirayakan di bulan Rabi’ul
Awwal menjadi tradisi ummat Islam di seluruh belahan dunia, dari masa ke
masa dan dalam setiap generasi ke generasi.
Hukum Peringatan Maulid Nabi
Peringatan Maulid Nabi Muhammad yang dirayakan dengan membaca
sebagian ayat-ayat al-Qur’an dan menyebutkan sebagian sifat-sifat nabi
yang mulia, ini adalah perkara yang penuh dengan berkah dan kebaikan
kebaikan yang agung. Tentu jika perayaan tersebut terhindar dari
bid’ah-bid’ah
sayyi-ah yang dicela oleh syara’.
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa perayaan Maulid Nabi mulai
dilakukan pada permulaan abad ke 7 H. Ini berarti kegiatan ini tidak
pernah dilakukan oleh Rasulullah, para sahabat dan generasi Salaf. Namun
demikian tidak berarti hukum perayaan Maulid Nabi dilarang atau sesuatu
yang haram. Karena segala sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh
Rasulullah atau tidak pernah dilakukan oleh para sahabatnya belum tentu
bertentangan dengan ajaran Rasulullah sendiri. Para ulama menggolongkan
perayaan Maulid Nabi sebagai bagian dari
bid’ah hasanah.
Artinya bahwa perayaan Maulid Nabi ini merupakan perkara baru yang
sejalan dengan ajaran-ajaran al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi dan sama
sekali tidak bertentangan dengan keduanya.
Dalil-Dalil Peringatan Maulid Nabi
1. Peringatan Maulid Nabi masuk dalam anjuran
hadits nabi untuk membuat sesuatu yang baru yang baik dan tidak
menyalahi syari’at Islam. Rasulullah bersabda:
مَنْ سَنَّ فيِ اْلإِسْـلاَمِ سُنَّةً
حَسَنـَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ
مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ (رواه مسلم في صحيحه)
“Barang siapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara baik
maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatan baiknya tersebut, dan ia
juga mendapatkan pahala dari orang yang mengikutinya setelahnya, tanpa
berkurang pahala mereka sedikitpun”. (HR. Muslim dalam kitab Shahihnya).
Faedah Hadits:
Hadits ini memberikan keleluasaan kepada ulama ummat Nabi Muhammad
untuk merintis perkara-perkara baru yang baik yang tidak bertentangan
dengan al-Qur’an, Sunnah, Atsar maupun Ijma’. Peringatan maulid Nabi
adalah perkara baru yang baik dan sama sekali tidak menyalahi satu-pun
di antara dalil-dalil tersebut. Dengan demikian berarti hukumnya boleh,
bahkan salah satu jalan untuk mendapatkan pahala. Jika ada orang yang
mengharamkan peringatan Maulid Nabi, berarti telah mempersempit
keleluasaan yang telah Allah berikan kepada hamba-Nya untuk melakukan
perbuatan-perbuatan baik yang belum pernah ada pada masa Nabi.
2. Dalil-dalil tentang adanya
Bid’ah Hasanah yang telah disebutkan dalam pembahasan mengenai Bid’ah. Silahkan buka di link ini
http://www.facebook.com/notes/aqidah-ahlussunnah-allah-ada-tanpa-tempat/supaya-jangan-sembarangan-mengklaim-ahli-bidah-kepada-orang-lain-hakekat-bidah-l/112546762095575
3. Hadits riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kedua kitab
Shahih-nya.
Diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah tiba di Madinah, beliau mendapati
orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram). Rasulullah
bertanya kepada mereka: “Untuk apa mereka berpuasa?” Mereka menjawab:
“Hari ini adalah hari ditenggelamkan Fir'aun dan diselamatkan Nabi Musa,
dan kami berpuasa di hari ini adalah karena bersyukur kepada Allah”.
Kemudian Rasulullah bersabda:
أَنَا أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ
“Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian”.
Lalu Rasulullah berpuasa dan memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa.
Faedah Hadits:
Pelajaran penting yang dapat diambil dari hadits ini ialah bahwa
sangat dianjurkan untuk melakukan perbuatan syukur kepada Allah pada
hari-hari tertentu atas nikmat yang Allah berikan pada hari-hari
tersebut. Baik melakukan perbuatan syukur karena memperoleh nikmat atau
karena diselamatkan dari marabahaya. Kemudian perbuatan syukur tersebut
diulang pada hari yang sama di setiap tahunnya.
Bersyukur kepada Allah dapat dilakukan dengan melaksanakan berbagai
bentuk ibadah, seperti sujud syukur, berpuasa, sedekah, membaca
al-Qur’an dan semacamnya. Bukankah kelahiran Rasulullah adalah nikmat
yang paling besar bagi umat ini?! Adakah nikmat yang lebih agung dari
dilahirkannya Rasulullah pada bulan Rabi’ul Awwal ini?! Adakah nikmat
dan karunia yang lebih agung dari pada kelahiran Rasulullah yang
menyelamatkan kita dari jalan kesesatan?! Demikian inilah yang telah
dijelaskan oleh
al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani.
4. Hadits riwayat Imam Muslim dalam kitab
Shahih. Bahwa Rasulullah ketika ditanya mengapa beliau puasa pada hari Senin, beliau menjawab:
ذلِكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ
“Hari itu adalah hari dimana aku dilahirkan”. (HR Muslim)
Faedah Hadits:
Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah melakukan puasa pada hari
senin karena bersyukur kepada Allah, bahwa pada hari itu beliau
dilahirkan. Ini adalah isyarat dari Rasulullah, artinya jika beliau
berpuasa pada hari senin karena bersyukur kepada Allah atas kelahiran
beliau sendiri pada hari itu, maka demikian pula bagi kita sudah
selayaknya pada tanggal kelahiran Rasulullah tersebut untuk melakukan
perbuatan syukur, misalkan dengan membaca al-Qur’an, membaca kisah
kelahirannya, bersedekah, atau perbuatan baik lainnya.
Kemudian, oleh karena puasa pada hari senin diulang setiap minggunya,
maka berarti peringatan maulid juga diulang setiap tahunnya. Dan karena
hari kelahiran Rasulullah masih diperselisihkan oleh para ulama
mengenai tanggalnya, -bukan pada harinya-, maka sah-sah saja jika
dilakukan pada tanggal 12, 2, 8, atau 10 Rabi'ul Awwal atau pada tanggal
lainnya. Bahkan tidak masalah bila perayaan ini dilaksanakan dalam
sebulan penuh sekalipun, sebagaimana ditegaskan oleh
al-Hafizh as-Sakhawi seperti yang akan dikutip di bawah ini.
Fatwa Beberapa Ulama Ahlussunnah
1. Fatwa
Syaikh al-Islam Khatimah al-Huffazh Amir al-Mu’minin Fi al-Hadits al-Imam Ahmad Ibn Hajar al-‘Asqalani. Beliau menuliskan menuliskan sebagai berikut:
أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ
تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ،
وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا،
فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ
بِدْعَةً حَسَنَةً" وَقَالَ: "وَقَدْ ظَهَرَ لِيْ تَخْرِيْجُهَا عَلَى
أَصْلٍ ثَابِتٍ.
“Asal peringatan maulid adalah bid’ah yang belum pernah dinukil dari
kaum Salaf saleh yang hidup pada tiga abad pertama, tetapi demikian
peringatan maulid mengandung kebaikan dan lawannya, jadi barangsiapa
dalam peringatan maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan
menjauhi lawannya (hal-hal yang buruk), maka itu adalah bid’ah hasanah”.
Al-Hafizh Ibn Hajar juga mengatakan: “Dan telah nyata bagiku dasar pengambilan peringatan Maulid di atas dalil yang tsabit (Shahih)”.
2. Fatwa
al-Imam al-Hafizh as-Suyuthi. Beliau mengatakan dalam risalahnya
Husn al-Maqshid Fi ‘Amal al-Maulid: Beliau menuliskan sebagai berikut:
عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوِلِدِ
الَّذِيْ هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ
القُرْءَانِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ
النَّبِيِّ وَمَا وَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ
لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ
عَلَى ذلِكَ هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا
صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ وَإِظْهَارِ
الْفَرَحِ وَالاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ. وَأَوَّلُ مَنْ
أَحْدَثَ ذلِكَ صَاحِبُ إِرْبِل الْمَلِكُ الْمُظَفَّرُ أَبُوْ سَعِيْدٍ
كَوْكَبْرِيْ بْنُ زَيْنِ الدِّيْنِ ابْنِ بُكْتُكِيْن أَحَدُ الْمُلُوْكِ
الأَمْجَادِ وَالْكُبَرَاءِ وَالأَجْوَادِ، وَكَانَ لَهُ آثاَرٌ حَسَنَةٌ
وَهُوَ الَّذِيْ عَمَّرَ الْجَامِعَ الْمُظَفَّرِيَّ بِسَفْحِ قَاسِيُوْنَ.
“Menurutku: pada dasarnya peringatan maulid, berupa kumpulan
orang-orang, berisi bacaan beberapa ayat al-Qur’an, meriwayatkan
hadits-hadits tentang permulaan sejarah Rasulullah dan tanda-tanda yang
mengiringi kelahirannya, kemudian disajikan hidangan lalu dimakan oleh
orang-orang tersebut dan kemudian mereka bubar setelahnya tanpa ada
tambahan-tambahan lain, adalah termasuk bid’ah hasanah yang pelakunya
akan memperoleh pahala. Karena perkara semacam itu merupakan perbuatan
mengagungkan terhadap kedudukan Rasulullah dan merupakan penampakan akan
rasa gembira dan suka cita dengan kelahirannya yang mulia. Orang yang
pertama kali merintis peringatan maulid ini adalah penguasa Irbil, Raja
al-Muzhaffar Abu Sa'id Kaukabri Ibn Zainuddin Ibn Buktukin, salah
seorang raja yang mulia, agung dan dermawan. Beliau memiliki peninggalan
dan jasa-jasa yang baik, dan dialah yang membangun al-Jami’
al-Muzhaffari di lereng gunung Qasiyun”.
3. Fatwa
al-Imam al-Hafizh as-Sakhawi seperti disebutkan dalam
al-Ajwibah al-Mardliyyah, sebagai berikut:
لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ
الصَّالِحِ فِيْ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ الْفَاضِلَةِ، وَإِنَّمَا حَدَثَ
بَعْدُ، ثُمَّ مَا زَالَ أَهْـلُ الإِسْلاَمِ فِيْ سَائِرِ الأَقْطَارِ
وَالْمُـدُنِ الْعِظَامِ يَحْتَفِلُوْنَ فِيْ شَهْرِ مَوْلِدِهِ -صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ- يَعْمَلُوْنَ الْوَلاَئِمَ
الْبَدِيْعَةَ الْمُشْتَمِلَةَ عَلَى الأُمُوْرِ البَهِجَةِ الرَّفِيْعَةِ،
وَيَتَصَدَّقُوْنَ فِيْ لَيَالِيْهِ بِأَنْوَاعِ الصَّدَقَاتِ،
وَيُظْهِرُوْنَ السُّرُوْرَ، وَيَزِيْدُوْنَ فِيْ الْمَبَرَّاتِ، بَلْ
يَعْتَنُوْنَ بِقِرَاءَةِ مَوْلِدِهِ الْكَرِيْمِ، وَتَظْهَرُ عَلَيْهِمْ
مِنْ بَرَكَاتِهِ كُلُّ فَضْلٍ عَمِيْمٍ بِحَيْثُ كَانَ مِمَّا جُرِّبَ".
ثُمَّ قَالَ: "قُلْتُ: كَانَ مَوْلِدُهُ الشَّرِيْفُ عَلَى الأَصَحِّ
لَيْلَةَ الإِثْنَيْنِ الثَّانِيَ عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَبِيْع الأَوَّلِ،
وَقِيْلَ: لِلَيْلَتَيْنِ خَلَتَا مِنْهُ، وَقِيْلَ: لِثَمَانٍ، وَقِيْلَ:
لِعَشْرٍ وَقِيْلَ غَيْرُ ذَلِكَ، وَحِيْنَئِذٍ فَلاَ بَأْسَ بِفِعْلِ
الْخَيْرِ فِيْ هذِهِ الأَيَّامِ وَاللَّيَالِيْ عَلَى حَسَبِ
الاسْتِطَاعَةِ بَلْ يَحْسُنُ فِيْ أَيَّامِ الشَّهْرِ كُلِّهَا
وَلَيَالِيْهِ.
“Peringatan Maulid Nabi belum pernah dilakukan oleh seorang-pun dari
kaum Salaf Saleh yang hidup pada tiga abad pertama yang mulia, melainkan
baru ada setelah itu di kemudian. Dan ummat Islam di semua daerah dan
kota-kota besar senantiasa mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan
kelahiran Rasulullah. Mereka mengadakan jamuan-jamuan makan yang luar
biasa dan diisi dengan hal-hal yang menggembirakan dan baik. Pada malam
harinya, mereka mengeluarkan berbagai macam sedekah, mereka menampakkan
kegembiraan dan suka cita. Mereka melakukan kebaikan-kebaikan lebih dari
biasanya. Mereka bahkan meramaikan dengan membaca buku-buku maulid. Dan
nampaklah keberkahan Nabi dan Maulid secara merata. Dan ini semua telah
teruji”.
Kemudian as-Sakhawi berkata: “Aku Katakan: “Tanggal kelahiran Nabi
menurut pendapat yang paling shahih adalah malam Senin, tanggal 12 bulan
Rabi’ul Awwal. Menurut pendapat lain malam tanggal 2, 8, 10 dan masih
ada pendapat-pendapat lain. Oleh karenanya tidak mengapa melakukan
kebaikan kapanpun pada hari-hari dan malam-malam ini sesuai dengan
kesiapan yang ada, bahkan baik jika dilakukan pada hari-hari dan
malam-malam bulan Rabi'ul Awwal seluruhnya”[1].
Jika kita membaca fatwa-fatwa para ulama terkemuka ini dan
merenungkannya dengan hati yang jernih, kita akan mengetahui bahwa
sebenarnya sikap “sinis” yang timbul dari sebagian orang yang
mengharamkan Maulid Nabi tidak lain hanya didasarakan kepada hawa nafsu
belaka. Orang-orang semacam itu sama sekali tidak peduli dengan
fatwa-fatwa para ulama saleh terdahulu. Di antara pernyataan mereka yang
sangat merisihkan ialah bahwa mereka seringkali menyamakan peringatan
maulid Nabi ini dengan perayaan Natal yang dilakukan oleh orang-orang
Nasrani. Bahkan salah seorang dari mereka, karena sangat benci terhadap
perayaan Maulid Nabi ini, dengan tanpa malu dan tanpa risih sama sekali
berkata:
إِنَّ الذَّبِيْحَةَ الَّتِيْ تُذْبَحُ لإِطْعَامِ النَّاسِ فِيْ الْمَوْلِدِ أَحْرَمُ مِنَ الْخِنْزِيْرِ.
“Sesungguhnya binatang sembelihan yang disembelih untuk menjamu orang dalam peringatan maulid lebih haram dari daging babi”.
Orang-orang anti maulid ini menganggap bahwa perbuatan bid’ah semcam
Maulid Nabi ini adalah perbuatan yang mendekati syirik. Dengan demikian,
-menurut mereka-, lebih besar dosanya dari pada memakan daging babi
yang hanya haram saja dan tidak mengandung unsur syirik.
Jawab:
Na’udzu Billah. Sungguh sangat kotor dan buruk perkataan
orang semacam ini. Bagaimana ia berani dan tidak punya rasa malu sama
sekali mengatakan peringatan Maulid Nabi, -yang telah disetujui oleh
para ulama dan orang-orang saleh dan telah dianggap sebagai perkara baik
oleh para ahli hadits dan lainnya-, dengan perkataan seburuk seperti
ini?! Orang seperti ini benar-benar tidak tahu diri. Apakah dia merasa
telah menjadi seperti
al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani,
al-Hafzih as-Suyuthi atau
al-Hafizh
as-Sakhawi atau bahkan merasa lebih alim dari mereka?! Bagaimana ia
membandingkan makan daging babi yang telah nyata dan tegas hukum
haramnya di dalam al-Qur’an, lalu ia samakan dengan peringatan Maulid
Nabi yang sama sekali tidak ada pengharamannya dari
nash-nash syari’at?! Ini artinya, bahwa orang-orang semacam dia yang mengharamkan maulid ini tidak mengetahui
Maratib al-Ahkam;
tingkatan-tingkatan hukum. Mereka tidak mengetahui mana yang haram dan
mana yang mubah, mana yang haram dengan nash dan mana yang haram dengan
istinbath.
Tentunya orang-orang semacam ini sama sekali tidak layak untuk diikuti
dan dijadikan panutan atau ikutan dalam mengamalkan ajaran agama Allah
ini.
Pembacaan Buku-Buku Maulid
Di antara rangkaian acara peringatan Maulid Nabi adalah membaca kisah-kisah tentang kelahiran Rasulullah.
Al-Hafizh as-Sakhawi menuliskan sebagai berikut:
وَأَمَّا قِرَاءَةُ الْمَوْلِدِ فَيَنْبَغِيْ
أَنْ يُقْتَصَرَ مِنْهُ عَلَى مَا أَوْرَدَهُ أَئِمَّةُ الْحَدِيْثِ فِيْ
تَصَانِيْفِهِمْ الْمُخْتَصَّةِ بِهِ كَالْمَوْرِدِ الْهَنِيِّ
لِلْعِرَاقِيِّ – وَقَدْ حَدَّثْتُ بِهِ فِيْ الْمَحَلِّ الْمُشَارِ
إِلَيْهِ بِمَكَّةَ-، وَغَيْرِ الْمُخْتَصَّةِ بِهِ بَلْ ذُكِرَ ضِمْنًا
كَدَلاَئِلِ النُّـبُوَّةِ لِلْبَيْهَقِيِّ، وَقَدْ خُتِمَ عَلَيَّ
بِالرَّوْضَةِ النَّـبَوِيَّةِ، لأَنَّ أَكْثَرَ مَا بِأَيْدِيْ
الْوُعَّاظِ مِنْهُ كَذِبٌ وَاخْتِلاَقٌ، بَلْ لَمْ يَزَالُوْا
يُوَلِّدُوْنَ فِيْهِ مَا هُوَ أَقْبَحُ وَأَسْمَجُ مِمَّا لاَ تَحِلُّ
رِوَايَتُهُ وَلاَ سَمَاعُهُ، بَلْ يَجِبُ عَلَى مَنْ عَلِمَ بُطْلاَنُهُ
إِنْكَارُهُ، وَالأَمْرُ بِتَرْكِ قِرَائِتِهِ، عَلَى أَنَّهُ لاَ
ضَرُوْرَةَ إِلَى سِيَاقِ ذِكْرِ الْمَوْلِدِ، بَلْ يُكْتَفَى
بِالتِّلاَوَةِ وَالإِطْعَامِ وَالصَّدَقَةِ، وَإِنْشَادِ شَىْءٍ مِنَ
الْمَدَائِحِ النَّـبَوِيَّةِ وَالزُّهْدِيَّةِ الْمُحَرِّكَةِ
لِلْقُلُوْبِ إِلَى فِعْلِ الْخَيْرِ وَالْعَمَلِ لِلآخِرَةِ وَاللهُ
يَهْدِيْ مَنْ يَشَاءُ.
“Adapun pembacaan kisah kelahiran Nabi maka seyogyanya yang dibaca
hanya yang disebutkan oleh para ulama ahli hadits dalam
karangan-karangan mereka yang khusus berbicara tentang kisah kelahiran
Nabi, seperti al-Maurid al-Haniyy karya al-‘Iraqi (Aku juga
telah mengajarkan dan membacakannya di Makkah), atau tidak khusus
-dengan karya-karya tentang maulid saja- tetapi juga dengan menyebutkan
riwayat-riwayat yang mengandung tentang kelahiran Nabi, seperti kitab Dala-il an-Nubuwwah karya
al-Baihaqi. Kitab ini juga telah dibacakan kepadaku hingga selesai di
Raudlah Nabi. Karena kebanyakan kisah maulid yang ada di tangan para
penceramah adalah riwayat-riwayat bohong dan palsu, bahkan hingga kini
mereka masih terus memunculkan riwayat-riwayat dan kisah-kisah yang
lebih buruk dan tidak layak didengar, yang tidak boleh diriwayatkan dan
didengarkan, justru sebaliknya orang yang mengetahui kebatilannya wajib
mengingkari dan melarang untuk dibaca. Padahal sebetulnya tidak mesti
ada pembacaan kisah-kisah maulid dalam peringatan maulid Nabi, melainkan
cukup membaca beberapa ayat al-Qur’an, memberi makan dan sedekah,
didendangkan bait-bait Mada-ih Nabawiyyah (pujian-pujian
terhadap Nabi) dan syair-syair yang mengajak kepada hidup zuhud,
mendorong hati untuk berbuat baik dan beramal untuk akhirat. Dan Allah
memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki”.
Kerancuan Faham Kalangan Anti Maulid
1. Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi berkata:
“Peringatan
Maulid Nabi tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, juga tidak pernah
dilakukan oleh para sahabatnya. Seandainya hal itu merupakan perkara
baik niscaya mereka telah mendahului kita dalam melakukannya”.
Jawab:
Baik, Rasulullah tidak melakukannya, apakah beliau melarangnya?
Perkara yang tidak dilakukan oleh Rasulullah tidak sertamerta sebagai
sesuatu yang haram. Tapi sesuatu yang haram itu adalah sesuatu yang
telah nyata dilarang dan diharamkan oleh Rasulullah. Karena itu Allah
berfirman:
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا (الحشر: 7)
“Apa yang diberikan oleh Rasulullah kepadamu maka terimalah dan apa
yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”. (QS. al-Hasyr: 7)
Dalam firman Allah di atas disebutkan “Apa yang dilarang ole
Rasulullah atas kalian maka tinggalkanlah”, tidak mengatakan “Apa yang
ditinggalkan oleh Rasulullah maka tinggalkanlah”. Ini artinya bahwa
perkara haram adalah sesuatu yang dilarang dan diharamkan oleh
Rasulullah, bukan sesuatu yang ditinggalkannya. Suatu perkara itu tidak
haram hukumnya hanya dengan alasan tidak dilakukan oleh Rasulullah.
Melainkan ia menjadi haram ketika ada dalil yang melarang dan
mengharamkannya.
Lalu kita katakan kepada mereka: Apakah untuk mengetahui bahwa
sesuatu itu boleh atau sunnah harus ada nash dari Rasulullah langsung
yang secara khusus menjelaskannya?! Apakah untuk mengetahui boleh atau
sunnahnya perkara maulid harus ada nash khusus dari Rasulullah yang
berbicara tentang maulid itu sendiri?! Bagaimana mungkin Rasulullah
berbicara atau melakukan segala sesuatu secara khusus dalam umurnya yang
sangat singkat?! Bukankah jumlah nash-nash syari’at, baik ayat-ayat
al-Qur’an maupun hadits-hadits nabi, itu semua terbatas, artinya tidak
membicarakan setiap peristiwa, padahal peristiwa-peristiwa baru akan
terus bermunculan dan selalu bertambah?! Jika setiap perkara harus
dibicarakan oleh Rasulullah langsung, lalu dimanakah posisi ijtihad dan
apa fungsi ayat-ayat atau hadits-hadits yang memberikan pemahaman umum?!
Misalkan firman Allah:
وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (الحج: 77)
“Dan lakukan kebaikan oleh kalian supaya kalian beruntung” (QS. al Hajj: 77)
Apakah kemudian setiap bentuk kebaikan harus dikerjakan terlebih
dahulu oleh Rasulullah supaya dihukumi bahwa kebaikan tersebut boleh
dilakukan?! Tentunya tidak demikian. Dalam masalah ini Rasulullah hanya
memberikan kaedah-kaedah atau garis besarnya saja. Karena itulah dalam
setiap pernyataan Rasulullah terdapat apa yang disebut dengan
Jawami’ al-Kalim. Artinya bahwa dalam setiap ungkapan Rasulullah terdapat kandungan makna yang sangat luas.
Dalam sebuah hadits shahih Rasulullah bersabda:
مَنْ سَنَّ فيِ اْلإِسْـلاَمِ سُنَّةً
حَسَنـَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ
مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ (رواه الإمام مسلم
في صحيحه)
“Barang siapa yang memulai (merintis perkara baru) dalam Islam sebuah
perkara yang baik maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatannya
tersebut dan pahala dari orang-orang yang mengikutinya sesudah dia,
tanpa berkurang pahala mereka sedikitpun”. (HR. Muslim dalam
Shahih-nya).
Dalam hadits shahih lainnya, Rasulullah bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)
“Barang siapa merintis sesuatu yang baru dalam agama kita ini yang bukan berasal darinya maka ia tertolak”. (HR. Muslim)
Dalam hadits ini Rasulullah menegaskan bahwa sesuatu yang baru dan
tertolak adalah sesuatu yang “bukan bagian dari syari’atnya”. Artinya,
sesuatu yang baru yang tertolak adalah yang menyalahi syari’at Islam itu
sendiri. Inilah yang dimaksud dengan pernyataan Rasulullah dalam hadits
di atas:
“Ma Laisa Minhu”. Karena, seandainya semua perkara
yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah atau oleh para sahabatnya
adalah perkara yang pasti haram dan sesat dengan tanpa terkecuali, maka
Rasulullah tidak akan mengatakan
“Ma Laisa Minhu”, tapi mungkin akan berkata:
“Man Ahdatsa Fi Amrina Hadza Syai’an Fa Huwa Mardud”
(Siapapun yang merintis perkara baru dalam agama kita ini maka ia pasti
tertolak). Dan bila maknanya seperti ini maka berarti hal ini
bertentangan dengan hadits riwayat Imam Muslim di atas sebelumnya. Yaitu
hadits:
“Man Sanna Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan....”.
Padalah hadits riwayat Imam Muslim ini megandung isyarat anjuran bagi
kita untuk membuat suatu yang baru, yang baik, dan yang sejalan dengan
syari’at Islam.
Dengan demikian tidak semua perkara baru adalah sesat dan tertolak.
Namun setiap perkara baru harus dicari hukumnya dengan dilihat
persesuaiannya dengan dalil-dalil dan kaedah-kaedah syara’. Bila sesuai
maka boleh dilakukan, dan jika menyalahi maka tentu tidak boleh
dilakukan. Karena itulah
al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menuliskan sebagai berikut:
وَالتَّحْقِيْقُ أَنَّهَا إِنْ كَانَتْ مِمَّا
تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَحْسَنٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ حَسَنَةٌ، وَإِنْ
كَانَتْ مِمَّا تَنْدَرِجُ تَحْتَ مُسْتَقْبَحٍ فِيْ الشَّرْعِ فَهِيَ
مُسْتَقْبَحَةٌ
“Cara mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut
tahqiq (penelitian)
para ulama adalah; bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong
kepada hal yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan
jika tergolong kepada hal yang buruk dalam syara’ maka berarti termasuk
bid’ah yang buruk”.
Pantaskah dengan keagungan Islam dan keluasan kaedah-kaedahnya jika dikatakan bahwa setiap perkara baru adalah sesat?
2. Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi biasanya berkata:
“Peringatan maulid itu sering dibarengi dengan perkara-perkara haram dan maksiat”.
Jawab:
Apakah karena alasan tersebut lantas peringatan maulid menjadi haram
secara mutlak?! Pendekatannya; Apakah seseorang haram baginya untuk
masuk ke pasar, dengan alasan di pasar banyak yang sering melakukan
perbuatan haram, seperti membuka aurat, menggunjingkan orang, menipu dan
lain sebagainya?! Tentu tidak demikian. Maka demikian pula dengan
peringatan maulid, jika ada kesalahan-kesalahan atau perkara-perkara
haram dalam pelaksanaannya, maka kesalahan-kesalahan itulah yang harus
diperbaiki. Dan memperbaikinya tentu bukan dengan mengharamkan hukum
maulid itu sendiri. Karena itulah
al-Hafizh Ibn Hajar telah mengatakan:
أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ
تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ،
وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا،
فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ
بِدْعَةً حَسَنَةً
“Asal peringatan maulid adalah bid’ah yang belum pernah dinukil dari
kaum Salaf saleh pada tiga abad pertama, tetapi meski demikian
peringatan maulid mengandung kebalikan dan lawannya. Barangsiapa dalam
memperingati maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan
menjauhi lawannya (hal-hal buruk yang diharamkan), maka itu adalah
bid’ah hasanah”.
3. Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi berkata:
“Peringatan Maulid itu seringkali menghabiskan dana yang sangat besar. Hal itu adalah perbuatan
tabdzir. Mengapa tidak dialokasikan saja untuk kebutuhan ummat yang lebih penting?”.
Jawab:
Laa Hawla Walaa Quwwata Illa Billah. Perkara yang telah dianggap baik oleh para ulama disebutnya sebagai
tabdzir?! Orang yang berbuat baik, bersedekah, ia anggap telah melakukan perbuatan haram, yaitu perbuatan
tabdzir?! Mengapa orang-orang seperti ini selalu saja berprasangka buruk
(suuzhzhann)
terhadap umat Islam?! Mengapa harus mencari-cari dalih untuk
mengharamkan perkara yang tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya?!
Mengapa mereka selalu saja beranggapan bahwa peringatan maulid tidak ada
unsur kebaikannya sama sekali untuk ummat ini?! Bukankah peringatan
Maulid Nabi mengingatkan kita kepada perjuangan Rasulullah dalam
berdakwah sehingga membangkitkan semangat kita untuk berdakwah seperti
yang telah dicontohkan beliau?! Bukankah peringatan Maulid Nabi memupuk
kecintaan kita kepada Rasulullah dan menjadikan kita banyak bershalawat
kepadanya?! Sesungguhnya maslahat-maslahat besar semacam ini bagi orang
yang beriman tidak bisa diukur dengan harta.
4. Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi sering berkata:
“Peringatan
Maulid itu pertama kali diadakan oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi.
Tujuan beliau saat itu adalah memobilisasi ummat untuk berjihad. Berarti
orang yang melakukan peringatan maulid bukan dengan tujuan itu, telah
menyimpang dari tujuan awal maulid. Oleh karenanya peringatan maulid
tidak perlu”.
Jawab:
Pernyataan seperti ini sangat aneh. Ahli sejarah mana yang mengatakan
bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah
sultan Shalahuddin al-Ayyubi. Para ahli sejarah, seperti Ibn Khallikan,
Sibth Ibn al-Jauzi, Ibn Katsir,
al-Hafizh as-Sakhawi,
al-Hafizh
as-Suyuthi dan lainnya telah sepakat menyatakan bahwa orang yang
pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah Raja al-Muzhaffar,
bukan sultan Shalahuddin al-Ayyubi.
Orang yang mengatakan bahwa sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang pertama
kali mengadakan Maulid Nabi telah membuat “rekayasa jahat” terhadap
sejarah. Perkataan mereka bahwa sultan Shalahuddin membuat maulid untuk
tujuan mobilisasi umat untuk jihad dalam perang salib, maka jika
diadakan bukan untuk tujuan seperti ini berarti telah menyimpang, adalah
perkataan yang menyesesatkan. Target mereka yang berkata demikian
adalah hendak mengharamkan maulid, atau paling tidak hendak mengatakan
tidak perlu.
Kita katakan kepada mereka: Apakah jika orang hendak berjuang harus
bergabung dengan bala tentara sultan Shalahuddin? Apakah menurut mereka
yang berjuang untuk Islam hanya bala tentara sultan Shalahuddin saja?
Dan apakah dalam berjuang harus mengikuti metode dan strategi
Shalahuddin saja, dan jika tidak, berarti tidak berjuang namanya?!
Hal yang sangat mengherankan ialah kenapa bagi sebagian mereka yang
mengharamkan maulid ini, dalam keadaan tertentu, atau untuk kepentingan
tertentu, kemudian mereka mengatakan maulid boleh, istighotsah boleh,
bahkan ikut-ikutan tawassul, tapi kemudian terhadap orang lain mereka
mengharamkannya?!
Hasbunallah. Para ahli sejarah yang telah
kita sebutkan di atas, tidak ada seorangpun dari mereka yang
mengisyaratkan bahwa tujuan maulid adalah untuk memobilisasi ummat untuk
jihad dalam perang di jalan Allah. Lalu dari mana muncul pemikiran
seperti ini?! Tidak lain, pemikiran tersebut hanya muncul dari hawa
nafsu belaka. Benar, mereka selalu mencari-cari celah sekecil apapun
untuk mengungkapkan “kebencian” dan “sinisme” mereka terhadap peringatan
Maulid Nabi ini. Apa dasar mereka mengatakan bahwa peringatan maulid
baru boleh diadakan jika tujuannya mobilisasi massa untuk jihad?! Apa
dasar perkataan seperti ini?! Sama sekali tidak ada.
Al-Hafizh Ibn Hajar,
al-Hafizh as-Suyuthi,
al-Hafizh
as-Sakhawi dan para ulama lainnya yang telah menjelaskan tentang
kebolehan peringatan Maulid Nabi, sama sekali tidak mengaitkannya dengan
tujuan mobilisasi massa untuk berjihad. Kemudian dalil-dalil yang
mereka kemukakan dalam masalah maulid tidak menyebut prihal jihad sama
sekali, bahkan mengisyaratkan saja tidak. Dari sini kita tahu betapa
rancu dan tidak berdasar perkataan mereka bila sudah berkaitan dengan
hukum,
istinbath dan
istidlal.
Semoga Allah merahmati para ulama kita. Sesungguhnya mereka adalah
cahaya penerang bagi umat ini dan sebagai penuntun bagi kita semua
menuju jalan yang diridlai Allah.
Amin.
[1]
al-Ajwibah al-Mardliyyah, j. 3, h. 1116-1120
Gembok Makam Rasulullah bertuliskan Tawassul dengan Rasulullah
BACA JUGA SEJARAH MAULID BAG 1