1. Agama Islam dibangun di atas wahyu dan dalil yang shahih, bukan akal dan pendapat
Maka jika datang suatu perintah ataupun larangan dari Kitabullah atau sunnah (hadits) Rasul-Nya
Shallallahu’alaihi Wasallam,
wajib bagi menerimanya dan bersegera untuk menerapkannya dengan
melaksanakan perintah atau menjauhi larangan. Oleh karena itu dahulu
para salaf
rahimahumullah berjalan mengikuti nash-nash. Mereka menghukumi seseorang di atas jalan yang benar selama dia mengikuti atsar.[1]
Zuhri berkata, “Risalah datangnya dari Allah, kewajiban Rasul
Shallallahu’alaihi Wasallam adalah menyampaikan dan kewajiban kita adalah menerimanya.”[2]
Ketika menjelaskan perkataan Ath-Thahawi, “Telapak kaki Islam tidak
akan tegak kecuali di atas permukaan menerima dan pasrah.” Ibnu Abil
‘Izz berkata, “Yaitu tidak akan kokoh keislaman seseorang yang tidak
menerima dan tunduk kepada nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah, tidak
menolaknya dan tidak mempertentangkannya dengan pendapat, akal dan
logikanya.”[3]
2. Wajib bagi seorang Muslim untuk mencari tahu tentang hukum syar’i
dan memastikannya sebelum mengamalkannya di dalam semua urusan hidupnya
Karena Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
(( مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ))
“
Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perkara (tuntunan-pen) kami padanya maka tertolak.”[4]
Asy-Syathibi berkata, “Setiap orang yang mencari sesuatu yang tidak
disyariatkan di dalam beban-beban syariat (ibadah-pen), berarti dia
telah menyelisihi syariat. Dan setiap orang yang menyelisihi syariat,
amalan dia di dalam penyelisihan itu adalah batil (sia-sia). Maka
barangsiapa mencari sesuatu yang tidak disyariatkan di dalam beban-beban
syariat, berarti amalannya juga batil.”[5]
Alangkah indahnya perkataan seorang khalifah yang lurus, Ali
radhiallahu’anhu,
ketika dia berkata, “Janganlah kalian mengikuti sunnahnya orang-orang
(yang masih hidup –pen). Karena sesungguhnya ada seseorang yang
melakukan amalan ahli surga kemudian dia berbalik lalu melakukan amalan
ahli neraka sehingga dia mati dan termasuk ahli neraka. Dan sesungguhnya
ada seseorang yang melakukan amalan ahli neraka kemudian dia berbalik –
karena Allah mengetahui tentangnya – lalu dia melakukan amalan ahli
surga sehingga dia mati dan termasuk ahli surga. Dan jika kalian memang
harus melakukannya (mengikuti suatu sunnah –pen), maka hendaknya
terhadap orang-orang yang telah wafat, bukan yang masih hidup.” Beliau
mengisyaratkan kepada Rasul
Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabat beliau yang mulia.[6]
Dan juga perkataan Abu Zinad, “Sesungguhnya sunnah-sunnah dan
sisi-sisi kebenaran banyak yang datang menyelisihi akal. Maka mau tidak
mau kaum muslimin harus mengikutinya. Di antaranya, bahwa
seorang wanita haidh mengganti puasa namun tidak mengganti shalat.”[7]
3. Maksud dari ittiba’ kepada Rasul Shallallahu’alaihi Wasallam adalah mengamalkan segala ajaran yang beliau bawa
Baik yang ada di dalam Al-Qur’an sebagai wahyu dari Allah
Ta’ala kepada beliau, maupun berupa perintah maupun larangan, dan juga mengamalkan sunnah yang suci. Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
أَلاَ إِنِّي أُوتِيتُ الْكِتَابَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ أَلاَ إِنِّي أُوتِيتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ
“
Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi al-Kitab bersama dengan yang
semisalnya. Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi al-Kitab bersama dengan
yang semisalnya.”[8]
‘Atha berkata, “Mentaati Rasul adalah dengan mengikuti al-Kitab dan as-Sunnah.”[9]
Al-‘allamah As-Sa’di berkata, “Sesungguhnya wajib bagi seluruh hamba untuk berpegang dan mengikuti apa yang dibawa oleh Rasul
Shallallahu’alaihi Wasallam, tidak halal menyelisihinya. Dan sesungguhnya pernyataan Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam sama dengan pernyataan Allah
Ta’ala di
dalam memberikan hukum. Maka tidak ada keringanan ataupun alasan bagi
seorangpun untuk meninggalkannya. Dan tidak boleh mendahulukan perkataan
seseorang atas perkataan beliau
Shallallahu’alaihi Wasallam.”[10]
4. Ibadah-ibadah yang ditinggalkan oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan
tidak beliau lakukan padahal ada sebab yang menuntutnya pada zaman
beliau, maka melakukannya adalah bid’ah sedangkan meninggalkannya adalah
sunnah
Seperti perayaan maulid Nabi, menghidupkan malam Isra’ Mi’raj,
merayakan tahun baru hijrah serta yang semisalnya. Hal ini ditunjukkan
oleh sabda Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam,
(( مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ ))
“
Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perkara (tuntunan-pen) kami padanya maka tertolak.”[11]
Imam Malik
rahimahullah berkata, “Apa saja yang bukan merupakan agama pada hari itu, maka pada hari ini juga bukan merupakan agama.”[12]
Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata, “Meninggalkan sesuatu secara terus-menerus adalah sunnah, sebagaimana perbuatan yang terus-menerus adalah sunnah.”[13]
Ibnu Katsir
rahimahullah berkata, “Adapun ahlussunnah wal
jama’ah, mereka berkata bahwa setiap perkataan dan perbuatan yang tidak
tetap dari para sahabat
radhiallahu’anhum adalah bid’ah. Karena seandainya baik, tentunya mereka telah mendahului kita melakukannya.”[14]
5. Segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia di dalam pokok-pokok
dan cabang-cabang agama, di dalam urusan dunia dan akhirat, yang
berupa ibadah dan muamalah, dalam keadaan damai ataupun perang, dalam
masalah politik atau ekonomi, dan seterusnya, maka syariat telah
menjelaskan dan menerangkannya
Allah
Ta’ala berfirman.
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ
“
Dan telah Kami turunkan suatu kitab kepadamu sebagai penjelas
terhadap segala sesuatu, sebagai petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi
kaum muslimin.” (QS. An-Nahl: 89)
Allah
Ta’ala berfirman,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا
“
Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu dan telah Aku
cukupkan nikmat-Ku atasmu dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama.” (QS. Al-Maidah: 3)
Seorang dari kaum musyrikin berkata kepada Salman Al-Farisi, “Apakah
Nabimu mengajarkan segala sesuatu kepada kalian sampai pun pada masalah
buang air?” Maka Salman menjawab, “Benar, beliau telah melarang kami
dari menghadap kiblat ketika buang air besar maupun kecil … – sampai
akhir hadits.”[15]
- Sebab. Jika seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala dengan
satu ibadah yang disertai dengan sebab yang tidak syar’i maka ibadah
ini tertolak kepada pelakunya. Contohnya, menghidupkan malam ke duapuluh
tujuh bulan Rajab dengan shalat tahajjud, dengan anggapan bahwa malam
itu adalah malam isra’ mi’raj.[16] Maka shalat tahajjud pada asalnya
adalah ibadah, namun ketika dikaitkan dengan sebab ini, maka menjadi
bid’ah karena dibangun di atas sebab yang tidak ditetapkan secara
syar’i.
- Jenis. Jika seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala dengan
suatu ibadah yang jenisnya tidak disyariatkan, maka ibadah itu tidak
diterima. Contohnya, menyembelih kuda sebagai hewan kurban. Karena hewan
kurban hanya dari jenis binatang ternak onta, sapi dan kambing.
- Ukuran. Seandainya ada seseorang yang ingin
menambah satu shalat sebagai shalat wajib atau menambah satu raka’at
dalam shalat wajib, maka amalannya ini adalah bid’ah dan tertolak.
Karena amalan (shalat) itu menyelisihi syari’at di dalam ukuran dan
bilangannya.
- Tata cara. Jika seseorang membolak-balik wudhu dan
shalat, maka wudhu dan shalatnya tidak akan sah. Karena amalannya
menyelisihi syari’at di dalam kaifiyah (tatacara).
- Waktu. Seandainya seseorang menyembelih hewan
kurban di bulan Rajab atau puasa Ramadhan di bulan syawwal atau wukuf di
Arafah pada tanggal sembilan Dzulqa’idah, maka itu semua tidak akan sah
karena menyelisihi syari’at di dalam waktu.
- Tempat. Jika seseorang melakukan i’tikaf di
rumahnya, tidak di masjid atau dia wukuf pada tanggal sembilan
Dzulhijjah di Muzdalifah, maka hal itu tidak sah karena menyelisihi
syari’at di dalam tempat.[17]
7. Asal di dalam ibadah bagi mukallaf adalah ta’abbud (merendahkan diri dan tunduk –pen) dan imtitsal (mewujudkan
ketaatan –pen) tanpa melihat kepada hikmah-hikmah atau amalan-amalan
yang dikandungnya, meskipun kadang nampak jelas pada sebagian banyak
darinya
Syaikh Ibnu Utsaimin
rahimahullah berkata menetapkan hal
ini, “Wajib kita ketahui bahwa hikmah adalah perintah-perintah dan
larangan-larangan Allah dan Rasul-Nya
Shallallahu’alaihi Wasallam,
maka kita wajib menerimanya. Jika ada seseorang yang bertanya kepada
kita tentang hikmah di dalam suatu perkara, kita jawab bahwa
sesungguhnya hikmah adalah perintah-perintah dan larangan-larangan Allah
dan Rasul-Nya
Shallallahu’alaihi Wasallam. Dalilnya dari al-Qur’an al-Karim adalah firman Allah
Ta’ala,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ
“
Tidak pantas bagi seorang laki-laki atau perempuan yang beriman
memiliki pilihan di dalam urusan mereka jika Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan satu urusan.” (QS. Al-Ahzaab: 36) Aisyah
radhiallahu’anha pernah
ditanya, kenapa seorang wanita yang haidh mengganti puasanya tetapi
tidak mengganti shalat? Maka beliaupun menjawab, “Dahulu hal itu juga
menimpa kita, lalu kami diperintah untuk mengganti puasa tapi tidak
diperintah untuk mengganti shalat.[18] Maka beliau berdalil
dengan sunnah dan tidak menyebutkan
‘illah (alasannya). Inilah hakikat
taslim dan
ibadah, yaitu menerima perintah Allah dan Rasul-Nya baik diketahui
hikmahnya ataupun tidak. Jika seseorang tidak mau beriman terhadap
sesuatu kecuali jika dia mengetahui hikmahnya, kita katakan,
sesungguhnya engkau adalah orang yang mengikuti hawa nafsu, engkau tidak
mau melaksanakan ketaatan kecuali jika nampak bagimu bahwa hal itu
adalah baik.”[4] Alangkah menakjubkan Al-Faruq Umar
radhiallahu’anhu ketika
berkata, “Kenapa tetap berlari-lari kecil dan membuka bahu kanan (yakni
ketika thawaf dalam haji dan umrah –pen) padahal Allah telah
mengokohkan Islam, menghilangkan kekafiran dan orang-orangnya? Meskipun
demikian kita tidak akan meninggalkan sesuatupun yang dulu kita lakukan
pada zaman Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam.”[19] Akan
tetapi, dari penjelasan yang telah lalu, tidak boleh dipahami oleh
seorang pun bahwa tidak ada tuntutan untuk membahas tentang hikmah dan
makna yang terkandung di dalam ibadah-ibadah yang ditunjukkan oleh
beberapa indikasi. Bagaimana tidak, sedangkan Allah
Ta’ala dan Rasul-Nya
Shallallahu’alaihi Wasallam telah menyebutkan sebagian darinya. Misalnya, firman Allah
Ta’ala,
لَعَلَّكُمْ تَتَفَكَّرُونَ
“
Agar kalian berfikir”
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“
Agar kalian beruntung”
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“
Agar kalian bertakwa” Dan sabda Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam,
إِنَّمَا جُعِلَ الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ وَرَمْيُ الْجِمَارِ ِلإِقَامَةِ ذِكْرِ اللَّهِ
“
Sesungguhnya, diadakannya thawaf di Ka’bah, sa’i antara Shafa dan Marwa dan melempar jumrah, adalah untuk mengingat Allah.”[20] Akan
tetapi, yang dimaksudkan adalah untuk memberi peringatan agar tidak
berlebih-lebihan di dalam membahasnya dan agar tidak menggantungkan
pelaksanaan suatu ibadah dengan pengetahuan terhadap hikmahnya.
Adapun kaidah di dalam masalah adat, kebiasaan dan mu’amalah, adalah
melihat dan menyelidiki hikmah-hikmah dan makna-maknanya, meskipun
kadang tidak nampak jelas pada sebagian darinya.[21]
8. Kesusahan bukanlah tujuan syariat
Oleh karenanya, Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda kepada seorang tua yang dipapah oleh kedua anaknya karena telah bernadzar untuk berjalan,
(( إِنَّ اللهَ عَنْ تَعْذِيبِ هَذَا نَفْسَهُ لَغَنِيٌّ ))
“
Sesungguhnya Allah tidak butuh kepada penyiksaan orang ini terhadap dirinya.”[22] Al-‘Izz
bin Abdis Salaam menguatkan hal ini, “Tidak benar mendekatkan diri
(kepada Allah) dengan perkara-perkara yang menyusahkan. Karena seluruh
pendekatan diri kepada Allah adalah pengagungan terhadap-Nya, sedangkan
perkara-perkara yang menyusahkan itu bukanlah suatu pengagungan atau
penghormatan.”[23] Dan yang dituntut dari seorang hamba adalah menjauhi
larangan dan melaksanakan perintah sesuai dengan batas kemampuan. Dengan
dalil sabda Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam,
(( فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَ أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ ))
“
Jika aku larang kalian dari sesuatu, maka jauhilah. Dan jika aku
perintahkan kalian dengan sesuatu, maka lakukanlah semampu kalian.”[24] Dasar dan landasan syariat adalah memberikan kemudahan dan menghilangkan kesusahan dari hamba-hamba. Dalilnya firman Allah,
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ
“
Allah tidak menghendaki membuat kesusahan kepada kalian.” (QS.
Al-Maidah: 6) Oleh karena itu, perbedaan pahala dan balasan mengikuti
tingkatan amal dan ukuran kemuliaannya, baik besar ataupun kecil tingkat
kesusahannya.[25] Tapi tidak diragukan bahwa kesusahan – yang bukan
merupakan tujuan – yang didapati oleh seorang
mukallaf karena melaksanakan amalan yang disyariatkan, akan menambah pahala baginya. Allah
Ta’ala berfirman,
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ لاَ يُصِيبُهُمْ
ظَمَأٌ وَلاَ نَصَبٌ وَلاَ مَخْمَصَةٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلاَ يَطَئُونَ
مَوْطِئًا يَغِيظُ الْكُفَّارَ وَلاَ يَنَالُونَ مِنْ عَدُوٍّ نَيْلاً
إِلاَّ كُتِبَ لَهُمْ بِهِ عَمَلٌ صَالِحٌ
“
Yang demikian itu ialah karena mereka tidak ditimpa kesusahan,
kepayahan dan kelaparan di jalan Allah, dan tidak (pula) menginjak suatu
tempat yang membangkitkan amarah orang-orang kafir dan tidak menimpakan
suatu bencana kepada musuh, melainkan dituliskan suatu amal shalih bagi
mereka dengan sebab yang demikian itu.” (QS. At-Taubah: 120) Dari Jabir
radhiallahu’anhu berkata,
“Dahulu, rumah-rumah kami jauh dari masjid. Maka kami berniat menjual
rumah-rumah kami dan mendekat menuju masjid. Lalu Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam melarang kami dan bersabda,
(( إِنَّ لَكُمْ بِكُلِّ خُطْوَةٍ دَرَجَةً ))
“
Sesungguhnya kalian mendapatkan satu derajat pada setiap langkah.”[26] Ketika Aisyah
radhiallahu’anha berkata,
“Wahai Rasulullah, orang-orang keluar untuk melakukan dua ibadah
sekaligus (haji dan umrah –pen), sedangkan aku hanya melakukan satu
ibadah (haji –pen)?” Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda kepadanya,
(( انتظري فإذا طهرت فاخرجي إلى التنعيم فأهلي ثم ائْتِنَا بمكان كذا ، ولكنها على قدر نفقتك أو نصبك ))
“
Tunggulah, jika engkau telah suci maka pergilah ke Tan’im lalu
serukan talbiyah, kemudian datangilah kami di tempat anu. Akan tetapi
hal itu sesuai dengan harta atau tenagamu.”[27] Al-‘Izz bin Abdis
Salaam berkata tentang hal ini di dalam perkataan yang berharga, “Jika
ditanyakan, apa ketentuan dari amalan susah yang diberi balasan lebih
banyak dari amalan yang ringan? Aku katakan, jika ada dua perbuatan yang
memiliki kesamaan di dalam kemuliaan, syarat-syarat, sandaran dan
rukun-rukunnya, sedangkan salah satunya adalah amalan yang berat, maka
pahala kedua amalan itu sama saja, karena keduanya memiliki kesamaan di
dalam seluruh ketentuannya. Hanya saja yang satu berbeda dari yang lain
karena ada penahanan diri terhadap perkara yang susah karena Allah
Ta’ala, sehingga diberi pahala karena menahan perkara yang susah itu, bukan karena dzat kesusahan itu sendiri.”[28]
___
Catatan Kaki
1 Lihat perkataan Ibnu Sirin yang semisal dengan ini di dalam sunan Ad-Darimi no. 140.
2 Shahih Bukhari, Fathul Bari (13/504).
3 Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah (1/219).
4 Riwayat Muslim (3/1343) no: 1718.
5 Al-I’tisham karya Asy-Syathibi (2/358).
7 Riwayat al-Bukhari, lihat Fathul Bari (4/192).
Ibnu Hajar berkata, “Dan perkataan Abu Zinad, ‘sesungguhnya
sunnah-sunnah banyak yang datang menyelisihi akal’, seakan-akan beliau
mengisyaratkan kepada perkataan Ali, ‘seandainya agama ini (bersandar)
dengan akal, tentunya bagian bawah sepatu lebih berhak untuk diusap dari
pada bagian atasnya.’ Riwayat ini dikeluarkan oleh Ahmad (1267), Abu
Daud (162), Ad-Daruquthni (1/199) dan para perawinya adalah tsiqaat
(orang-orang yang terpercaya). Dan banyak yang semakna dengan ini di
dalam Asy-Syar’iyat”.
8 Riwayat Ahmad (4/131) dishahihkan oleh al-Albani di dalam Shahihul Jami’ (1/516) no: 2643.
9 Riwayat Ad-Darimi (1/77) no: 223.
10 Tafsir as-Sa’di (7/333).
11 Riwayat Muslim (3/1343) no: 1718.
12 Al-I’tisham karya Asy-Syathibi (1/49).
13 Majmu’ Al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah (26/172).
14 Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim (4/156).
15 Riwayat Muslim (1/223) no. 262, lihat Tafsir As-Sa’di (4/230, 231)
16 Penetapan malam isra’ mi’raj telah dipeselisihkan
oleh para ulama dan muncul lebih dari sepuluh pendapat. Lihat Fathul
Bari karya Ibnu Hajar (7/203). Dan Syaikh Ibnu Baaz memiliki perkataan
yang berharga tentang hal ini. Beliau berkata, “Malam terjadinya isra’
dan mi’raj ini tidak ada penentuannya di dalam hadits-hadits yang
shahih. Semua riwayat yang datang tentang penentuannya, tidak ada yang
shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam menurut ulama
ahli hadits. Dan Allah memiliki hikmah yang dalam dimana Allah
menjadikan manusia lupa terhadapnya. Seandainya penentuan malam itu
benar, kaum muslimin tidak boleh mengkhususkannya dengan
suatu ibadah apapun dan mereka tidak boleh merayakannya. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan
para sahabat beliau tidak merayakannya dan tidak mengkhususkannya
dengan sesuatu apapun. Seandainya perayaan itu adalah perkara yang
disyariatkan, tentunya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah
menjelaskannya kepada umat ini dengan perkataan dan perbuatan. Dan
seandainya hal itu terjadi, tentunya telah diketahui, dikenal dan para
sahabat tentunya telah menukilkannya kepada kita. Sesungguhnya mereka
telah menukilkan dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam segala
sesuatu yang dibutuhkan umat ini dan mereka tidak akan meremehkan
sesuatupun dari agama ini. Bahkan mereka adalah orang-orang yang pertama
kali menuju kebaikan. Maka seandainya perayaan malam ini disyariatkan,
pasti mereka adalah orang-orang yang paling pertama melakukannya. Dan
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam adalah orang yang paling
menghendaki kebaikan bagi manusia. Beliau telah menyampaikan risalah
dengan sungguh-sungguh dan telah menunaikan amanah. Maka seandainya
pengagungan terhadap malam ini termasuk di dalam agama Islam, tentunya
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak akan lalai atau
menyembunyikannya. Maka tatkala hal ini tidak terjadi sama sekali,
diketahuilah bahwa perayaan dan pengagungan terhadap malam itu bukan
dari agama Islam sama sekali.” (Lihat Fatwa Lajnah Daimah, 3/65).
16 Lihat Al-Ibda’ fii Bayaani Kamaalisy Syar’i wa Khatharil Ibtida’ karya Syaikh Ibnu Utsaimin halaman 21, 22.
17 Lihat Shahih Bukhari dengan Fathul Bari (1/501) no. 321.
18 Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zaadil Mustaqni’ (4/165, 166).
19 Sunan Abi Daud no. 1887. Al-Albani berkata di dalam Shahih Sunan Abi Daud no. 2662, “Hasan Shahih.”
20 Sunan Abi Daud no. 1888. Di hasankan oleh Al-Arnauth di dalam takhrijnya terhadap Jami’ul Ushul no. 1505.
21 Lihat pembahasan Imam Asy-Syathibi tentang hal ini di dalam Al-Muwafaqaat (2/300-310).
22 Riwayat Muslim (3/1263) no. 1642.
23 Qawa’idul Ahkam fii Mashalihul Anam (1/30).
24 Al-Bukhari dengan Fathul Bari (13/264) no. 7288.
25 Lihat Qawa’idul Ahkam fii Mashalihul Anam (1/29, 30).
26 Riwayat Muslim (1/461) no. 664.
27 Al-Bukhari dengan Fathul Bari (13/264) no. 7288.
28 Qawa’idul Ahkam fii Mashalihul Anam (1/30).
—
Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.