bismillahirahmanirahmi
kawanku semua yang dirahmati Allah, siapa yang tidak kenal syeikh
kholil bangkalan dari madura ini, seorang ulama yang banyak diberi
kemulyaan oleh Allah, to kawanku semua ada yang belum tahu cerita-cerita
semasa beliau masih hidup, jika belum, bacalah berberapa kisah yang
bisa kita ambil manfaatnya ini, sungguh sangat disayangkan ulama seperti
beliau harus dulu menghadap kehadirat Allah swt. namun saya yakin
sungguh betapa bahagianya beliau bisa menghadap lebih dahulu kepada yang
sangat ia cintai yaitu Allah swt…? kawan siapakah yang cinta kepada
Allah? siapa yang ingin bertemu Allah? siapkah jika Allah memanggilmu
kehadiratnya, menguji cintamu?
sebuah kisah menarik, semoga bisa diambil manfaatnya..
Berguru Dalam Mimpi
Pada waktu Syeikh Kholil masih muda, ada seorang Kiai yang terkenal
di daerah Wilungan, Pasuruan bernama Abu Darrin. Kealimannya tidak hanya
terbatas di lingkungan Pasuruan, tetapi sudah menyebar ke berbagai
daerah lain, termasuk Madura. Kholil muda yang mendengar ada ulama yang
mumpuni itu, terbetik di hatinya ingin menimba ilmunya. Setelah segala
perbekalan dipersiapkan, maka berangkatlah Kholil muda ke pesantren Abu
Darrin dengan harapan dapat segera bertemu dengan ulama yang dikagumi
itu.Tetapi alangkah sedihnya ketika dia sampai di Pesantren Wilungan,
ternyata Kiai Abu Darrin telah meninggal dunia beberapa hari sebelumnya.
Hatinya dirundung duka dengan kepergian Kiai Abu Darrin.
Namun karena tekad belajarnya sangat menggelora maka Kholil segera
sowan ke makam Kiai Abu Darrin. Setibanya di makam Abu Darrin, Kholil
lalu mengucapkan salam lalu berkata: bagaimana saya ini Kiai, saya masih
ingin berguru pada Kiai, tetapi Kiai sudah meninggal desah Kholil
sambil menangis. Kholil lalu mengambil sebuah mushaf Al Quran. Kemudian
bertawassul dengan membaca Al Quran terus menerus sampai 41 hari
lamanya. Pada hari ke-41 tiba-tiba datanglah Kiai Abu Darrin dalam
mimpinya. Dalam mimpi itu, Kiai Abu Darrin mengajarkan beberapa ilmunya
kepada Kholil. Setelah dia bangun dari tidurnya, lalu Kholil serta merta
dapat menghafal kitab Imriti, Kitab Asmuni dan Alfiyah.
Di Datangi Macan
Suatu hari di bulan Syawal. Kiai Kholil tiba-tiba memanggil
santrinya. Anak-anakku, sejak hari ini kalian harus memperketat
penjagaan pondok pesantren. Pintu gerbang harus senantiasa dijaga,
sebentar lagi akan ada macan masuk ke pondok kita ini.” Kata Syeikh
Kholil agak serius. Mendengar tutur guru yang sangat dihormati itu,
segera para santri mempersiapkan diri. Waktu itu sebelah timur Bangkalan
memang terdapat hutan-hutan yang cukup lebat dan angker. Hari demi
hari, penjagaan semakin diperketat, tetapi macan yang ditungu-tunggu itu
belum tampak juga. Memasuki minggu ketiga, datanglah ke pesantren
pemuda kurus, tidak berapa tinggi berkulit kuning langsat sambil
menenteng kopor seng.
Sesampainya di depan pintu rumah SyeikhKholil, lalu mengucap salam.
Mendengar salam itu, bukan jawaban salam yang diterima, tetapi Kiai
malah berteriak memanggil santrinya ; Hey santri semua, ada
macan….macan.., ayo kita kepung. Jangan sampai masuk ke pondok.” Seru
Syeikh Kholil bak seorang komandan di medan perang. Mendengar teriakan
Syeikh kontan saja semua santri berhamburan, datang sambil membawa apa
yang ada, pedang, clurit, tongkat, pacul untuk mengepung pemuda yang
baru datang tadi yang mulai nampak kelihatan pucat. Tidak ada pilihan
lagi kecuali lari seribu langkah. Namun karena tekad ingin nyantri ke
Syeikh Kholil begitu menggelora, maka keesokan harinya mencoba untuk
datang lagi. Begitu memasuki pintu gerbang pesantren, langsung
disongsong dengan usiran ramai-ramai. Demikian juga keesokan harinya.
Baru pada malam ketiga, pemuda yang pantang mundur ini memasuki
pesantren secara diam-diam pada malam hari. Karena lelahnya pemuda itu,
yang disertai rasa takut yang mencekam, akhirnya tertidur di bawah
kentongan surau. Secara tidak diduga, tengah malam Syeikh Kholil datang
dan membantu membangunkannya. Karuan saja dimarahi habis-habisan. Pemuda
itu dibawa ke rumah Syeikh Kholil. Setelah berbasa-basi dengan seribu
alasan. Baru pemuda itu merasa lega setelah resmi diterima sebagai
santri Syeikh Kholil. Pemuda itu bernama Abdul Wahab Hasbullah. Kelak
kemudian hari santri yang diisyaratkan macan itu, dikenal dengan nama
KH. Wahab Hasbullah, seorang Kiai yang sangat alim, jagoan berdebat,
pembentuk komite Hijaz, pembaharu pemikiran. Kehadiran KH Wahab
Hasbullah di mana-mana selalu berwibawa dan sangat disegani baik kawan
maupun lawan bagaikan seekor macan, seperti yang diisyaratkan Syeikh
Kholil.
SANTRI MIMPI DENGAN WANITA
Dan diantara karomahnya, pada suatu hari menjelang pagi, santri
bernama Bahar dari Sidogiri merasa gundah, dalam benaknya tentu pagi itu
tidak bisa sholat subuh berjamaah. Ketidak ikutsertaan Bahar sholat
subuh berjamaah bukan karena malas, tetapi disebabkan halangan junub.
Semalam Bahar bermimpi tidur dengan seorang wanita. Sangat dipahami
kegundahan Bahar. Sebab wanita itu adalah istri Kiai Kholil, istri
gurunya. Menjelang subuh, terdengar Kiai Kholil marah besar sambil
membawa sebilah pedang seraya berucap:“Santri kurang ajar.., santri
kurang ajar…..Para santri yang sudah naik ke masjid untuk sholat
berjamaah merasa heran dan tanda tanya, apa dan siapa yang dimaksud
santri kurang ajar itu.
Subuh itu Bahar memang tidak ikut sholat berjamaah, tetapi
bersembunyi di belakang pintu masjid. Seusai sholat subuh berjamaah,
Kiai Kholil menghadapkan wajahnya kepada semua santri seraya bertanya ;
Siapa santri yang tidak ikut berjamaah?” Ucap Kiai Kholil nada
menyelidik. Semua santri merasa terkejut,
tidak menduga akan
mendapat pertanyaan seperti itu. Para santri menoleh ke kanan-kiri,
mencari tahu siapa yang tidak hadir. Ternyata yang tidak hadir waktu itu
hanyalah Bahar. Kemudian Kiai Kholil memerintahkan mencari Bahar dan
dihadapkan kepadanya. Setelah diketemukan lalu dibawa ke masjid. Kiai
Kholil menatap tajam-tajam kepada bahar seraya berkata ; Bahar, karena
kamu tidak hadir sholat subuh berjamaah maka harus dihukum. Tebanglah
dua rumpun bambu di belakang pesantren dengan petok ini Perintah Kiai
Kholil. Petok adalah sejenis pisau kecil, dipakai menyabit rumput.
Setelah menerima perintah itu, segera Bahar melaksanakan dengan tulus.
Dapat diduga bagaimana Bahar menebang dua rumpun bambu dengan suatu alat
yang sangat sederhana sekali, tentu sangat kesulitan dan memerlukan
tenaga serta waktu yang lama sekali. Hukuman ini akhirnya diselesaikan
dengan baik. Alhamdulillah, sudah selesai, Kiai Ucap Bahar dengan sopan
dan rendah hati. Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang ada di
nampan itu sampai habis, Perintah Kiai kepada Bahar.Sekali lagi santri
Bahar dengan patuh menerima hukuman dari Kiai Kholil. Setelah Bahar
melaksanakan hukuman yang kedua, santri Bahar lalu disuruh makan
buah-buahan sampai habis yang ada di nampan yang telah tersedia.
Mendengar perintah ini santri Bahar melahap semua buah-buahan yang ada
di nampan itu. Setelah itu santri Bahar diusir oleh Kiai Kholil seraya
berucap ; Hai santri, semua ilmuku sudah dicuri oleh orang ini ucap Kiai
Kholil sambil menunjuk ke arah Bahar. Dengan perasaan senang dan mantap
santri Bahar pulang meninggalkan pesantren Kiai Kholil menuju kampung
halamannya. Memang benar, tak lama setelah itu, santri yang mendapat
isyarat mencuri ilmu Kiai Kholil itu, menjadi Kiai yang sangat alim,
yang memimpin sebuah pondok pesantren besar di Jawa Timur. Kia beruntung
itu bernama Kiai Bahar, seorang Kiai besar dengan ribuan santri yang
diasuhnya di Pondok Pesantren Sido Giri, Pasuruan, Jawa Timur.
Orang Arab Dan Macan Tutul
Suatu hari menjelang sholat magrib. Seperti biasanya Kiai Kholil
mengimami jamaah sholat bersama para santri Kedemangan. Bersamaan dengan
Kiai Kholil mengimami sholat, tiba-tiba kedatangan tamu berbangsa Arab.
Orang Madura menyebutnya Habib. Seusai melaksanakan sholat, Kiai Kholil
menemui tamunya, termasuk orang Arab yang baru datang itu. Sebagai
orang Arab yang mengetahui kefasihan Bahasa Arab. Habib menghampiri Kiai
Kholil seraya berucap ; Kiai, bacaan Al- Fatihah antum (anda) kurang
fasih tegur Habib. Setelah berbasa-basi beberapa saat. Habib
dipersilahkan mengambil wudlu untuk melaksanakan sholat magrib. Tempat
wudlu ada di sebelah masjid itu. Silahkan ambil wudlu di sana ucap Kiai
sambil menunjukkan arah tempat wudlu.
Baru saja selesai wudlu, tiba-tiba sang Habib dikejutkan dengan
munculnya macan tutul. Habib terkejut dan berteriak dengan bahasa
Arabnya, yang fasih untuk mengusir macan tutul yang makin mendekat itu.
Meskipun Habib mengucapkan Bahasa Arab sangat fasih untuk mengusir macan
tutul, namun macan itu tidak pergi juga. Mendengar ribut-ribut di
sekitar tempat wudlu Kiai Kholil datang menghampiri. Melihat ada macan
yang tampaknya penyebab keributan itu, Kiai Kholil mengucapkan sepatah
dua patah kata yang kurang fasih. Anehnya, sang macan yang mendengar
kalimat yang dilontarkan Kiai Kholil yang nampaknya kurang fasih itu,
macan tutul bergegas menjauh. Dengan kejadian ini, Habib paham bahwa
sebetulnya Kiai Kholil bermaksud memberi pelajaran kepada dirinya, bahwa
suatu ungkapan bukan terletak antara fasih dan tidak fasih, melainkan
sejauh mana penghayatan makna dalam ungkapan itu.
Jawaban Syeikh Kholil kepada tamunya
Suatu Ketika Habib Jindan bin Salim berselisih pendapat dengan
seorang ulama, manakah pendapat yang paling sahih dalam ayat ‘Maliki
yaumiddin’, maliki-nya dibaca ‘maaliki’ (dengan memakai alif setelah
mim), ataukah ‘maliki’ (tanpa alif).Setelah berdebat tidak ada titik
temu. Akhirnya sepakat untuk sama-sama datang ke Kiyahi Keramat; Kiyahi
Khalil bangkalan.
Ketika itu Kiyahi yang jadi maha guru para kiyahi pulau Jawa itu
sedang duduk didalam mushala, saat rombongan Habib Jindan sudah dekat ke
Mushola sontak saja kiyahi Khalil berteriak. Maaliki yaumiddin ya
Habib, Maaliki yaumiddin Habib, teriak Kiyahi Khalil bangkalan menyambut
kedatangan Habib Jindan.
Tentu saja dengan ucapan selamat datang yang aneh itu, sang Habib tak
perlu bersusah payah menceritakan soal sengketa Maliki yaumiddin
ataukah maaliki yaumiddin itu.
Demikian cerita Habib Lutfi bin Yahya ketika menjelaskan perbendaan pendapat ulama dalam bacaan ayat itu pada Tafsir Thabari.
Tongkat Syeikh Kholil Dan Sumber Mata Air
Suatu hari Kiai Kholil berjalan ke arah selatan Bangkalan. Beberapa
santri menyertainya. Setelah berjalan cukup jauh, tepatnya sampai di
desa Langgundi, tiba-tiba Kiai Kholil menghentikan perjalanannya.
Setelah melihat tanah di hadapannya, dengan serta merta Kiai Kholil
menancapkan tongkatnya ke tanah. Dari arah lobang bekas tancapan Kiai
Kholil, memancarlah sumber air yang sangat jernih. Semakin lama semakin
besar. Bahkan karena terus membesar, sumber air tersebut akhirnya
menjadi kolam yang bisa dipakai untuk minum dan mandi. Kolam yang
bersejarah itu sampai sekarang masih ada. Orang Madura menamakannya
Kolla Al-Asror Langgundi. Letaknya sekitar 1 km sebelah selatan kompleks
pemakaman Kiai Kholil Bangkalan.
Ikhlas
Di Bangkalan Madura, hidup sepasang
suami-isteri yang cukup bahagia. Pada suatu hari, sang suami berkata
kepada isterinya. “Bu, saya ingin sekali sowan (berkunjung) ke Kyai
Kholil,” katanya pada suatu pagi.
“Itu bagus sekali Pak, tetapi apa yang akan kita bawa sebagai
oleh-oleh kepada Kyai Kholil, kita tidak mempunyai apa-apa kecuali
sebuah bentul,” jawab isterinya.
“Tidak apa-apa, bentul itu saja yang kita bawa. Asalkan kita ikhlas,
Insya Allah akan diterima,” tegas sang suami meyakinkan isterinya.
Maka berangkatlah suami isteri tersebut ke Kyai Kholil. Dengan
berbekal tawakkal dan sebuah bentul, mereka yakin akan diterima Kyai
Kholil dengan baik. Bentul adalah makanan sangat sederhana sejenis
talas. Sesampainya di kediaman Kyai Kholil kedatangannya sudah ditunggu.
Mereka disambut dengan hangat.
“Kyai, saya tidak membawa apa-apa, hanya sebuah bentul ini yang bisa kami haturkan untuk Kyai.” ucap sang suami rada malu-malu.
“Wah kebetulan, saya memang ingin makan bentul,” jawab Kyai Kholil menghibur.
Kemudian Kyai Kholil memanggil beberapa santri dan menyuruhnya untuk
merebus bentul yang baru diterimanya itu. Tak lama setelah itu, santri
datang membawa bentul yang sudah direbus itu. Kyai Kholil kelihatan
sangat senang dan suka terhadap bentul itu, lalu dimakannya sampai
habis.
Suami-isteri yang sowan ke Kyai Kholil itu merasa senang, sebab apa yang dikhawatirkan selama ini menjadi kegembiraan.
Beberapa hari kemudian, suami-isteri itu ingin sowan kembali ke kyai
Kholil. Masih segar di ingatan suami isteri itu akan kesukaan Kyai
Kholil. Kali ini, tidak seperti terdahulu. Mereka membawa oleh-oleh
bentul sebanyak-banyaknya dengan harapan Kyai Kholil sangat senang
menerimanya. Maka berangkatlah suami isteri tersebut ke ulama karismatik
itu. Tidak seperti dahulu, dugaan mereka meleset. Mereka disambut
dingin. Begitu juga dengan oleh-oleh yang banyak itu. Kyai Kholil tidak
menerima oleh-olehnya dan disuruh bawa pulang kembali.
Pada saat mereka pulang disadarinya apa yang telah mereka lakukan
selama ini. Ternyata, oleh-oleh bentul yang pertama diniatkan
semata-mata karena keikhlasan dan tawakkal kepada Allah, sedangkan sowan
yang kedua tidak dilanda ikhlas, tetapi rasa pamrih. Mereka meyakini
atas kekuatannya sendiri dan merasa dirinya mampu membawa oleh-oleh
kepada kyai. Dan itu sangat tidak disukai Kyai Kholil.
Satu Macam Doa untuk Tiga Masalah
Suatu hari Kyai Kholil kedatangan tiga tamu yang menghadap secara bersamaan. Sang kyai bertanya kepada tamu yang pertama:
“Sampeyan ada keperluan apa?”
“Saya pedagang, Kyai. Tetapi hasil tidak didapat, malah rugi terus-menerus,” ucap tamu pertama.
Beberapa saat Kyai Kholil menjawab, “Jika kamu ingin berhasil dalam berdagang, perbanyak baca istighfar,” pesan kyai mantap.
Kemudian kyai bertanya kepada tamu kedua:
“Sampeyan ada keperluan apa?”
“Saya sudah berkeluarga selama 18 tahun, tapi sampai saat ini masih belum diberi keturunan,” kata tamu kedua.
Setelah memandang kepada tamunya itu, Kyai Kholil menjawab, “Jika
kamu ingin punya keturunan, perbanyak baca istighfar,” tandas kyai.
Kini, tiba giliran pada tamu yang ketiga. Kyai juga bertanya, “Sampeyan ada keperluan apa?”
“Saya usaha tani, Kyai. Namun, makin hari hutang saya makin banyak,
sehingga tak mampu membayarnya, ” ucap tamu yang ketiga, dengan raut
muka serius.
“Jika kamu ingin berhasil dan mampu melunasi hutangmu, perbanyak baca istighfar,” pesan kyai kepada tamu yang terakhir.
Berapa murid Kyai Kholil yang melihat peristiwa itu merasa heran.
Masalah yang berbeda, tapi dengan jawaban yang sama, resep yang sama,
yaitu menyuruh memperbanyak membaca istighfar.
Kyai Kholil mengetahui keheranan para santri. Setelah tamunya pulang,
maka dipanggillah para santri yang penuh tanda tanya itu. Lalu, Kyai
Kholil membacakan al-Qur’an Surat Nuh ayat 10-12 yang artinya: “Mohonlah
ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan
mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat dan membanyakkan harta dan
anak-anakmu. dan Mengadakan untukmu kebun-kebun dan Mengadakan (pula di
dalamnya) untukmu sungai-sungai.”
Mendengar jawaban kyai ini, para santri mengerti bahwa jawaban itu
memang merupakan janji Allah bagi siapa yang memperbanyak baca
istighfar. Memang benar. Tak lama setelah kejadian itu, ketiga tamunya
semuanya berhasil apa yang dihajatkan.
bagaimana kawan.. pengen baca kemulyaan lainnya gak?
KH Muhammad Khalil bin Kiyai Haji Abdul Lathif
bin Kiyai Hamim bin Kiyai Abdul Karim bin Kiyai Muharram bin Kiyai
Asrar Karamah bin Kiyai Abdullah bin Sayid Sulaiman.
Sayid Sulaimanadalah
cucu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Syarif
Hidayatullah itu putera Sultan Umdatuddin Umdatullah Abdullah yang
memerintah di Cam (Campa). Ayahnya adalah Sayid Ali Nurul Alam bin Sayid
Jamaluddin al-Kubra. KH. Muhammad Kholildilahirkan
pada 11 Jamadilakhir 1235 Hijrahatau 27 Januari 1820 Masihi di Kampung
Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau
Madura, Jawa Timur. Beliau berasal dari keluarga Ulama dan digembleng
langasung oleh ayah Beliau. Setelah menginjak dewasa beliau ta’lim
diberbagai pondok pesantren. Sekitar 1850-an, ketika usianya menjelang
tiga puluh, Kiyai Muhammad Khalil belajar kepada Kiyai Muhammad Nur di
Pondok-pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau
pindah ke Pondok-pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau
pindah ke Pondok-pesantren Keboncandi. Selama belajar di
pondok-pesantren ini beliau belajar pula kepada Kiyai Nur Hasan yang
menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kiyai Nur Hasan ini,
sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya.Sewaktu
menjadi Santri KH Muhammad Kholil telah menghafal beberapa matan,
seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). disamping itu juga
beliau juga seorang hafiz al-Quran . Beliau mampu membaca alqur’an dalam
Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca al-Quran).
Pada 1276 Hijrah/1859
Masihi, KH Muhammad Khalil Belajar di Mekah. Di Mekah KH Muhammad
Khalil al-Maduri belajar dengan Syeikh Nawawi al-Bantani(Guru Ulama
Indonesia dari Banten). Di antara gurunya di Mekah ialah Syeikh Utsman
bin Hasan ad-Dimyathi, Saiyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin
Muhammad al-Afifi al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud asy-Syarwani.
Beberapa sanad hadis yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi
al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima,
Sumbawa). KH.Muhammad Kholil Sewaktu Belajar di Mekkah Seangkatan dengan
KH.Hasym Asy’ari,KH.Wahab
Hasbullah dan KH.Muhammad Dahlan namum Ulama-ulama Dahulu punya
kebiasaan Memanggil Guru sesama Rekannya, dan KH.Muhammad KHolil yang
dituakan dan dimuliakan di antara mereka.
Sewaktu berada di Mekah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari,
KH.Muhammad Khalil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab
yang diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah
timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu: Syeikh Nawawi al-Bantani,
Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri dan Syeikh Saleh as-Samarani (Semarang)
menyusun kaidah penulisan huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan
Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda.
Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk
penulisan bahasa Melayu.
Kiyai Muhammad Khalil
cukup lama belajar di beberapa pondok-pesantren di Jawa dan Mekah, maka
sewaktu pulang dari Mekah, beliau terkenal sebagai ahli/pakar nahwu,
fiqih, thariqat ilmu-ilmu lainnya.
Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya,
Kiyai Muhammad Khalil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa
Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya.
KH. Muhammad Khalil al-Maduri adalah seorang ulama yang bertanggungjawab
terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan
bangsanya. Beliau sadar benar bahwa pada zamannya, bangsanya adalah
dalam suasana terjajah oleh bangsa asing yang tidak seagama dengan yang
dianutnya.
Beliau dan keseluruhan suku bangsa Madura seratus persen memeluk
agama Islam, sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah itu memeluk
agama Kristian. Sesuai dengan keadaan beliau sewaktu pulang dari Mekah
telah berumur lanjut, tentunya Kiyai Muhammad Khalil tidak melibatkan
diri dalam medan perang, memberontak dengan senjata tetapi mengkaderkan
pemuda di pondok pesantren yang diasaskannya. Kiyai Muhammad Khalil
sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda kerana dituduh melindungi
beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya.
beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaan lainnya yang terlibat
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat
pendidikan dari Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri.
KH.Ghozi menambahkan, dalam
peristiwa 10 November, Mbah Kholil, sapan KH Kholill bersama kiai-kiai
besar seperti Bisri Syansuri, Hasyim Asy’ari, Wahab Chasbullah dan Mbah
Abas Buntet Cirebon, mengerahkan semua kekuatan gaibnya untuk melawan
tentara Sekutu.
Hizib-hizib yang mereka miliki, dikerahkan semua
untuk menghadapi lawan yang bersenjatakan lengkap dan modern. Sebutir
kerikil atau jagung pun, di tangan kiai-kiai itu bisa difungsikan
menjadi bom berdaya ledak besar.
Tak ketinggalan, Mbah Kholil
mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan lebah
gaib piaraannya. Di saat ribuan ekor lebah menyerang, konsentrasi lawan
buyar.
Saat konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita gantian menghantam
lawan. ”Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana, kita bisa
mengusir tentara lawan yang senjatanya super modern. Tapi sayang, peran
ulama yang mengerahkan kekuatan gaibnya itu, tak banyak dipublikasikan,”
papar Kiai Ghozi, cucu KH Wahab Chasbullah ini.
Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan.
Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat
berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata.
”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyub,” cerita kh Ghozi.
Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngloyor masuk rumah, ganti baju.
Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang
nelayan sowan Mbah Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat
perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah Kholil.
”Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi
pengajian, Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk
menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang
dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan
itu,” papar kh Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman
ini.
di antara sekian banyak murid Kh Muhammad Khalil al-Maduri yang
cukup menonjol dalam sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa
Indonesia ialah Kh Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok-pesantren Tebuireng,
Jombang, dan pengasas Nahdhatul Ulama / NU) Kiyai Haji Abdul Wahhab
Hasbullah (pendiri Pondok-pesantren Tambakberas, Jombang); Kiyai Haji
Bisri Syansuri (pendiri Pondok-pesantren Denanyar); Kiyai Haji Ma’shum
(pendiri Pondok-pesantren Lasem, Rembang, adalah ayahanda Kiyai Haji Ali
Ma’shum), Kiyai Haji Bisri Mustofa (pendiri Pondok-pesantren Rembang);
dan Kiyai Haji As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok-pesantren
Asembagus, Situbondo).
Karomah syehk Kholil Bangkalan
Istilah karomah berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa berarti
mulia, Syaikh Thohir bin Sholeh Al-Jazairi mengartikan kata karomah
adalah perkara luar biasa yang tampak pada seorang wali yang tidak
disertai dengan pengakuan seorang Nabi. [Thohir bin Sholeh Al-Jazairi,
Jawahirul Kalamiyah, terjemahan Jakfar Amir, Penerbit Raja Murah
Pekalongan, hal. 40].
Sementara ini ada dua kisah yang bisa saya cuplikkan yaitu:
1. KISAH PENCURI TIMUN TIDAK BISA DUDUK
Diantara karomah KH. Kholil adalah pada suatu hari petani timun di
daerah Bangkalan sering mengeluh. Setiap timun yang siap dipanen selalu
kedahuluan dicuri maling. Begitu peristiwa itu terus menerus. Akhirnya
petani timun itu tidak sabar lagi, setelah bermusuyawarah, maka
diputuskan untuk sowan ke Kiai Kholil. Sesampainya di rumah Kiai Kholil,
sebagaimana biasanya Kiai sedang mengajarkan kitab nahwu Kitab tersebut
bernama Jurumiyah, suatu kitab tata bahasa Arab tingkat pemula.
“Assalamu’alaikum, Kiai,” ucap salam para petani serentak.
“Wa’alaikum salam wr.wb., “ Jawab Kiai Kholil.
Melihat banyaknya petani yang datang. Kiai bertanya :
“Sampean ada keperluan, ya?”
“Benar, Kiai. Akhir-akhir ini ladang timun kami selalu dicuri maling,
kami mohon kepada Kiai penangkalnya.” Kata petani dengan nada memohon
penuh harap. Ketika itu, kitab yang dikaji oleh Kiai kebetulan sampai
pada kalimat “qoma zaidun” yang artinya “zaid telah berdiri”. Lalu serta
merta Kiai Kholil berbicara sambil menunjuk kepada huruf “qoma zaidun”.
“Ya.., Karena pengajian ini sampai ‘qoma zaidun’, ya ‘qoma zaidun’ ini
saja pakai penangkal.” Seru Kiai dengan tegas dan mantap. “Sudah, pak
Kiai?” Ujar para petani dengan nada ragu dan tanda Tanya. “Ya sudah.”
Jawab Kiai Kholil menandaskan. Mereka puas mendapatkan penangkal dari
Kiai Kholil. Para petani pulang ke rumah mereka masing-masing dengan
keyakinan kemujaraban penangkal dari Kiai Kholil. Keesokan harinya,
seperti biasanya petani ladang timun pergi ke sawah masing-masing.
Betapa terkejutnya mereka melihat pemandangan di hadapannya. Sejumlah
pencuri timun berdiri terus menerus tidak bisa duduk. Maka tak ayal
lagi, semua maling timun yang selama ini merajalela diketahui dan dapat
ditangkap. Akhirnya penduduk berdatangan ingin melihat maling yang tidak
bisa duduk itu, semua upaya telah dilakukan, namun hasilnya sis-sia.
Semua maling tetap berdiri dengan muka pucat pasi karena ditonton orang
yang semakin lama semakin banyak. Satu-satunya jalan agar para maling
itu bisa duduk, maka diputuskan wakil petani untuk sowan ke Kiai Kholil
lagi. Tiba di kediaman Kiai Kholil, utusan itu diberi obat penangkal.
Begitu obat disentuhkan ke badan maling yang sial itu, akhirnya dapat
duduk seperti sedia kala. Dan para pencuri itupun menyesal dan berjanji
tidak akan mencuri lagi di ladang yang selama ini menjadi sasaran empuk
pencurian. Maka sejak saat itu, petani timun di daerah Bangkalan menjadi
aman dan makmur. Sebagai rasa terima kasih kepada Kiai kholil, mereka
menyerahkan hasil panenannya yaitu timun ke pondok pesantren
berdokar-dokar. Sejak itu, berhari-hari para santri di pondok kebanjiran
timun, dan hampir-hampir di seluruh pojok-pojok pondok pesantren
dipenuhi dengan timun.
2. KISAH KETINGGALAN KAPAL LAUT
Kejadian ini pada musim haji.
Kapal laut pada waktu itu, satu-satunya angkutan menuju Makkah, semua
penumpang calon haji naik ke kapal dan bersiap-siap, tiba-tiba seorang
wanita berbicara kepada suaminya :
“Pak, tolong saya belikan anggur, saya ingin sekali,” ucap istrinya dengan memelas.
“Baik, kalau begitu. Mumpung kapal belum berangkat, saya akan turun
mencari anggur,” jawab suaminya sambil bergegas di luar kapal.
Setelah suaminya mencari anggur di sekitar ajungan kapal, nampaknya
tidak ditemui penjual anggur seorangpun. Akhirnya dicobanya masuk ke
pasar untuk memenuhi keinginan istrinya tercinta. Dan meski agak lama,
toh akhirnya anggur itu didapat juga. Betapa gembiranya sang suami
mendapatkan buah anggur itu. Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke
kapal untuk menemui isterinya. Namun betapa terkejutnya setelah sampai
ke ajungan kapal yang akan ditumpangi semakin lama semakin menjauh.
Sedih sekali melihat kenyataan ini. Duduk termenung tidak tahu apa yang
mesti diperbuat.
Disaat duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba ada
seorang laki-laki datang menghampirinya. Dia memberikan nasihat:
“Datanglah kamu kepada Kiai Kholil Bangkalan, utarakan apa musibah yang
menimpa dirimu !” ucapnya dengan tenang.
“Kiai Kholil?” pikirnya.
“Siapa dia, kenapa harus kesana, bisakah dia menolong ketinggalan saya
dari kapal?” begitu pertanyaan itu berputar-putar di benaknya.
“Segeralah ke Kiai kholil minta tolong padanya agar membantu kesulitan
yang kamu alami, insya Allah.” Lanjut orang itu menutup pembiocaraan.
Tanpa pikir panjang lagi, berangkatlah sang suami yang malang itu ke
Bangkalan. Setibanya di kediaman Kiai Kholil, langsung disambut dan
ditanya :
“Ada keperluan apa?”
Lalu suami yang malang itu menceritakan apa yang dialaminya mulai awal hingga datang ke Kiai Kholil.
Tiba-tiba Kiai berkata :
“Lho, ini bukan urusan saya, ini urusan pegawai pelabuhan. Sana pergi!”
Lalu suami itu kembai dengan tangan hampa.
Sesampainya di pelabuhan sang suami bertemu lagi dengan orang laki-laki
tadi yang menyuruh ke Kiai Kholil lalu bertanya: ”Bagaimana? Sudah
bertemu Kiai Kholil ?”
“Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan” katanya dengan nada putus asa.
“Kembali lagi, temui Kiai Kholil !” ucap orang yang menasehati dengan
tegas tanpa ragu. Maka sang suami yang malang itupun kembali lagi ke
Kiai Kholil. Begitu dilakukannya sampai berulang kali. Baru setelah ke
tiga kalinya, Kiai Kholil berucap, “Baik kalau begitu, karena sampeyan
ingin sekali, saya bantu sampeyan.”
“Terima kasih Kiai,” kata sang suami melihat secercah harapan.
“Tapi ada syaratnya.” Ucap Kiai Kholil.
“Saya akan penuhi semua syaratnya.” Jawab orang itu dengan sungguh-sungguh.
Lalu Kiai berpesan: “Setelah ini, kejadian apapun yang dialami sampeyan
jangan sampai diceritakan kepada orang lain, kecuali saya sudah
meninggal. Apakah sampeyan sanggup?” pesan dan tanya Kiai seraya menatap
tajam.
“Sanggup, Kiai, “ jawabnya spontan.
“Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu pejamkan matamu rapat-rapat,” Kata Kiai Kholil.
Lalu sang suami melaksanakan perintah Kiai Kholil dengan patuh. Setelah
beberapa menit berlalu dibuka matanya pelan-pelan. Betapa terkejutnya
dirinya sudah berada di atas kapal lalu yang sedang berjalan. Takjub
heran bercampur jadi satu, seakan tak mempercayai apa yang dilihatnya.
Digosok-gosok matanya, dicubit lengannya. Benar kenyataan, bukannya
mimpi, dirinya sedang berada di atas kapal. Segera ia temui istrinya di
salah satu ruang kapal.
“Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur jauh
sekali” dengan senyum penuh arti seakan tidak pernah terjadi apa-apa dan
seolah-olah datang dari arah bawah kapal. Padahal sebenarnya dia baru
saja mengalami peristiwa yang dahsyat sekali yang baru kali ini dialami
selam hidupnya. Terbayang wajah Kiai Kholil. Dia baru menyadarinya bahwa
beberapa saat yang alalu, sebenarnya dia baru saja berhadapan dengan
seseorang yang memiliki karomah yang sangat luar biasa.
Beliau berangkat ke Makkah dalam tahun 1859, ketika berusia 24 tahun.
Sepanjang perjalanan ke Makkah dan semasa di sana, beliau lebih gemar
berpuasa dan melakukan riyadhah kerohanian. Dikisahkan bahawa selama di
Makkah, kebiasaannya beliau hanya makan kulit tembikai berbanding
makanan lain. Setelah pulang ke tanahairnya, beliau mendirikan pesantren
di Desa Cengkebuan. Pesantren ini akhirnya beliau serahkan kepada
menantunya Kiyai Muntaha, dan beliau sendiri membuka sebuah lagi
pesantren di Desa Kademangan, Bangkalan. Antara ulama yang menjadi
santri beliau adalah Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, Kiyai Wahhab
Hasbullah, Kiyai Ahmad Qusyairi dan Kiyai Bisri Syansuri.
Kiyai Kholil selain terkenal sebagai ulama, juga dikenali sebagai
seorang waliyullah yang mempunyai berbagai karamah dan kasyaf. Murid
beliau, Kiyai Ahmad Qusyairi bin Shiddiq dalam karyanya “al-Wasiilatul
Hariyyah” mensifatkan gurunya ini sebagai ” beliau yang dalam ilmu
nahwunya seperti Sibawaih, dalam ilmu fiqh seperti Imam an-Nawawi dan
dari segi banyak kasyaf dan karamah seperti al-Quthub al-Jilani.” Maka
tidak heran, makamnya sehingga kini diziarahi ramai untuk menjalankan
sunnah ziarah kubur dan ngalap berkat. Beliau meninggal dunia pada 29
Ramadhan 1343H. Selain meninggalkan ramai santri yang menjadi ulama dan
kiyai besar, beliau turut meninggalkan beberapa karangan antaranya
“ash-Shilah fi bayanin nikah” dan “al-Matnusy-Syarif“. Moga Allah
sentiasa mencucuri rahmat dan kasih-sayangNya kepada Embah Kiyai Kholil
serta para leluhurnya juga sekalian ulama dan umat yang mentawhidkan
Allah s.w.t. ..
KH. Muhammad Khalil al-Maduri, wafat dalam usia yang lanjut 106 tahun, pada 29 Ramadan 1341 Hijrah/14 Mei 1923 Masihi
[SHOLAWAT SYEIKHUNA KH. KHOLIL BANGKALAN]
“Allahumma sholli ’alaa sayyidinaa Muhammadin taj’alunaa bihaa min
ahlil ’ilmi dzoohiron wabaathinan. Watahsyurunaa bi’ibaadiKAs
shoolihiina fii dunyaanaa wa ukhroonaa wa’alaa aalihii washohbihii
wasallim.”
Yang Artinya :Semoga rahmat ta’dzim dan salam senantiasa atas
junjungan kita sayyidina Muhammad yang dg shalawat trsebut semoga Engkau
jadikan kami termasuk dari golongn ahli ilmu baik dzohir maupun bathin.
Dan semoga Engkau kumpulkan kami bersama hamba-hambaMu yg sholeh baik
di dunia maupun di akhirat. Dan semoga shalawat senantiasa atas para
keluarga Nabi dan para sahabatnya.
ya Allah mulyakanlah beliau, lapangkanlah kuburnya, dan tempatkanlah di tempat terindah disisimu…
biridhoillah wabisyafaati Rosulilllah saw, alfatihah….
semoga bermanfaat