Oleh : Ustadz Dzulqarnain
Pertanyaan :
Salah satu masalah kontraversial di tengah masyarakat adalah qunut
Shubuh. Sebagian menganggapnya sebagai amalan sunnah, sebagian lain
menganggapnya pekerjaan bid’ah. Bagaimanakah hukum qunut Shubuh
sebenarnya ?
Jawab :
Dalam masalah ibadah, menetapkan suatu amalan bahwa itu adalah
disyariatkan (wajib maupun sunnah) terbatas pada adanya dalil dari
Al-Qur’an maupun As-sunnah yang shohih menjelaskannya. Kalau tidak ada
dalil yang benar maka hal itu tergolong membuat perkara baru dalam agama
(bid’ah), yang terlarang dalam syariat Islam sebagaimana dalam hadits
Aisyah riwayat Bukhary-Muslim :
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَد ٌّ. وَ فِيْ رِوَايَةِ مُسْلِمٍ : ((مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمُرُنَا فَهُوَ رَدَّ
“Siapa yang yang mengadakan hal baru dalam perkara kami ini
(dalam Agama-pent.) apa yang sebenarnya bukan dari perkara maka hal itu
adalah tertolak”. Dan dalam riwayat Muslim
:
“Siapa yang berbuat satu amalan yang tidak di atas perkara kami maka ia (amalan) adalah tertolak”.
Dan ini hendaknya dijadikan sebagai kaidah pokok oleh setiap muslim dalam menilai suatu perkara yang disandarkan kepada agama.
Setelah mengetahui hal ini, kami akan berusaha menguraikan pendapat-pendapat para ulama dalam masalah ini.
Uraian Pendapat Para Ulama
Ada tiga pendapat dikalangan para ulama, tentang disyariatkan atau tidaknya qunut Shubuh.
Pendapat pertama : Qunut shubuh disunnahkan secara
terus-menerus, ini adalah pendapat Malik, Ibnu Abi Laila, Al-Hasan bin
Sholih dan Imam Syafi’iy.
Pendapat kedua : Qunut shubuh tidak disyariatkan karena qunut itu sudah
mansukh (terhapus hukumnya). Ini pendapat Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsaury dan lain-lainnya dari ulama Kufah.
Pendapat ketiga : Qunut pada sholat shubuh
tidaklah disyariatkan kecuali pada qunut nazilah maka boleh dilakukan
pada sholat shubuh dan pada sholat-sholat lainnya. Ini adalah pendapat
Imam Ahmad, Al-Laits bin Sa’d, Yahya bin Yahya Al-Laitsy dan ahli fiqh
dari para ulama ahlul hadits.
Dalil Pendapat Pertama
Dalil yang paling kuat yang dipakai oleh para ulama yang menganggap qunut subuh itu sunnah adalah hadits berikut ini :
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا
“Terus-menerus Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam qunut pada sholat Shubuh sampai beliau meninggalkan dunia”.
Dikeluarkan oleh ‘Abdurrozz
aq dalam
Al Mushonnaf 3/110 no.4964, Ahmad 3/162, Ath-Thoh
awy dalam
Syarah Ma’ani Al Atsar 1/244, Ibnu Sy
ah
in dalam
Nasikhul Hadits Wamansukhih no.220, Al-H
akim dalam kitab
Al-Arba’in sebagaimana dalam
Nashbur Royah 2/132, Al-Baihaqy 2/201 dan dalam
Ash-Shugro 1/273, Al-Baghawy dalam
Syarhus Sunnah 3/123-124 no.639, Ad-D
aruquthny dalam
Sunannya 2/39, Al-Maqdasy dalam
Al-Mukhtaroh 6/129-130 no.2127, Ibnul Jauzy dalam
At-Tahqiq no.689-690 dan dalam
Al-‘Ilal Al-Mutanahiyah no.753 dan Al-Khatib Al-Baghd
ady dalam
Mudhih Auwan Al Jama’ wat Tafriq 2/255 dan dalam kitab
Al-Qunut sebagaimana dalam
At-Tahqiq 1/463.
Semuanya dari jalan Abu Ja’far Ar-R
ozy dari Ar-Rob
i’ bin Anas dari Anas bin Malik.
Hadits ini dishohihkan oleh Muhammad bin ‘Ali Al-Balkhy dan Al-Hakim sebagaimana dalam
Khulashotul Badrul Munir 1/127 dan disetujui pula oleh Imam Al-Baihaqy. Namun Imam Ibnu Turkum
any dalam
Al-Jauhar An-Naqy berkata : “Bagaimana bisa sanadnya menjadi shohih sedang rowi yang meriwayatkannya dari Ar-Rob
i’ bin Anas adalah Abu Ja’far ‘
Isa bin M
ah
an Ar-R
ozy
mutakallamun fihi (dikritik)”. Berkata Ibnu Hambal dan An-Nas
a`i : “
Laysa bil qowy (bukan orang yang kuat)”. Berkata Abu Zur’ah : “
Yahimu katsiran (Banyak salahnya)”. Berkata Al-Fall
as : “
Sayyi`ul hifzh (Jelek hafalannya)”. Dan berkata Ibnu Hibb
an : “Dia bercerita dari rowi-rowi yang masyhur hal-hal yang mungkar”.”
Dan Ibnul Qoyyim dalam
Zadul Ma’ad
jilid I hal.276 setelah menukil suatu keterangan dari gurunya Ibnu
Taimiyah tentang salah satu bentuk hadits mungkar yang diriwayatkan oleh
Abu Ja’far Ar-R
ozy, beliau berkata : “Dan yang dimaksudkan bahwa Abu Ja’far Ar-R
ozy
adalah orang yang memiliki hadits-hadits yang mungkar, sama sekali
tidak dipakai berhujjah oleh seorang pun dari para ahli hadits
periwayatan haditsnya yang ia bersendirian dengannya”.
Dan bagi siapa yang membaca keterangan para ulama tentang Abu Ja’far Ar-R
ozy ini, ia akan melihat bahwa kritikan terhadap Abu Ja’far ini adalah
Jarh mufassar (Kritikan yang jelas menerangkan sebab lemahnya seorang rawi). Maka apa yang disimpulkan oleh Ibnu Hajar dalam
Taqrib-Tahdzib sudah sangat tepat. Beliau berkata : “
Shoduqun sayi`ul hifzh khususon ‘anil Mughiroh (Jujur tapi jelek hafalannya, terlebih lagi riwayatnya dari Mugh
irah).
Maka Abu Ja’far ini lemah haditsnya dan hadits qunut subuh yang ia
riwayatkan ini adalah hadits yang lemah bahkan hadits yang mungkar.
Dihukuminya hadits ini sebagai hadits yang mungkar karena 2 sebab :
Satu : Makna yang ditunjukkan oleh hadits ini bertentangan dengan hadits shohih yang menunjukkan bahwa Nabi
shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali qunut
nazilah, sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ كَانَ لاَ يَقْنُتُ إِلاَّ إِذَا دَعَا لِقَوْمٍ أَوْ عَلَى قَوْمٍ
“Sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam tidak melakukan qunut kecuali bila beliau berdo’a untuk (kebaikan) suatu kaum atau berdo’a (kejelekan atas suatu kaum)”. Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/314 no. 620 dan dan Ibnul Jauzi dalam
At-Tahqiq 1/460 dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam
Ash-Shahihah no. 639.
Kedua : Adanya perbedaan lafazh dalam riwayat Abu Ja’far Ar-R
ozy
ini sehingga menyebabkan adanya perbedaan dalam memetik hukum dari
perbedaan lafazh tersebut dan menunjukkan lemahnya dan tidak tetapnya ia
dalam periwayatan. Kadang ia meriwayatkan dengan lafazh yang disebut di
atas dan kadang meriwayatkan dengan lafazh :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ فٍي الْفَجْرِ
“Sesungguhnya Nabi shollahu ‘alahi wa alihi wa sallam qunut pada shalat Subuh”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam
Al Mushonnaf 2/104 no.7003 (cet. Darut T
aj) dan disebutkan pula oleh imam Al Maqdasy dalam
Al Mukhtarah 6/129.
Kemudian sebagian para ‘ulama syafi’iyah menyebutkan bahwa hadits ini
mempunyai beberapa jalan-jalan lain yang menguatkannya, maka mari kita
melihat jalan-jalan tersebut :
Jalan Pertama : Dari jalan Al-Hasan Al-Bashry dari Anas bin Malik, beliau berkata :
قَنَتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ
وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَأَبُوْ بَكْرٍ وَعُمْرَ وَعُثْمَانَ وَأَحْسِبُهُ
وَرَابِعٌ حَتَّى فَارَقْتُهُمْ
“Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa alihi wa Sallam, Abu Bakar, ‘Umar dan ‘Utsman, dan saya (rawi) menyangka “dan keempat” sampai saya berpisah denga mereka”.
Hadits ini diriwayatkan dari Al Hasan oleh dua orang rawi :
Pertama : ‘Amru bin ‘Ubaid. Dikeluarkan oleh Ath-Thohawy dalam
Syarah Ma’ani Al Atsar 1/243, Ad-D
araquthny 2/40, Al Baihaqy 2/202, Al Khat
ib dalam
Al Qunut dan dari jalannya Ibnul Jauzy meriwayatkannya dalam
At-Tahqiq no.693 dan Adz-Dzahaby dalam
Tadzkiroh Al Huffazh
2/494. Dan ‘Amru bin ‘Ubaid ini adalah gembong kelompok sesat
Mu’tazilah dan dalam periwayatan hadits ia dianggap sebagai rawi yang
matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya).
Kedua : Isma’
il bin Muslim Al Makky, dikeluarkan oleh Ad-D
araquthny dan Al Baihaqy. Dan Isma’
il ini dianggap
matrukul hadits oleh banyak orang imam. Baca :
Tahdzibut Tahdzib.
Catatan :
Berkata Al Hasan bin Sufyan dalam Musnadnya : Menceritakan kepada kami Ja’far bin Mihr
on, (ia berkata) menceritakan kepada kami ‘Abdul W
arits bin Sa’
id, (ia berkata) menceritakan kepada kami Auf dari Al Hasan dari Anas beliau berkata :
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ
الْغَدَاةِ حَتَّى فَارَقْتُهُ
“Saya sholat bersama Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa alihi wa Sallam maka beliau terus-menerus qunut pada sholat Subuh sampai saya berpisah dengan beliau”.
Riwayat ini merupakan kekeliruan dari Ja’far bin Mihr
on sebagaimana yang dikatakan oleh imam Adz-Dzahaby dalam
Mizanul I’tidal 1/418. Karena ‘Abdul W
arits
tidak meriwayatkan dari Auf tapi dari ‘Amru bin ‘Ubeid sebagaiman dalam
riwayat Abu ‘Umar Al Haudhy dan Abu Ma’mar – dan beliau ini adalah
orang yang paling kuat riwayatnya dari ‘Abdul Warits-.
Jalan kedua : Dari jalan Khal
id bin Da’laj dari Qot
adah dari Anas bin M
alik :
صَلَّيْتُ خَلْفَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَخَلْفَ عُمَرَ فَقَنَتَ وَخَلْفَ عُثْمَانَ فَقَنَتَ
“Saya sholat di belakang Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam lalu beliau qunut, dan dibelakang ‘umar lalu beliau qunut dan di belakang ‘Utsman lalu beliau qunut”.
Dikeluarkan oleh Al Baihaqy 2/202 dan Ibnu Sy
ah
in dalam
Nasikhul Hadits wa Mansukhih no.219. Hadits di atas disebutkan oleh Al Baihaqy sebagai pendukung untuk hadits Abu Ja’far Ar-R
ozy tapi Ibnu Turkum
any dalam
Al Jauhar An Naqy menyalahkan hal tersebut, beliau berkata : “Butuh dilihat keadaan Khal
id apakah bisa dipakai sebagai syahid (pendukung) atau tidak, karena Ibnu Hambal, Ibnu Ma’
in dan Ad-D
aruquthny melemahkannya dan Ibnu Ma’
in berkata di (kesempatan lain) :
laisa bi syay`in (tidak dianggap) dan An-Nas
a`i berkata :
laisa bi tsiqoh (bukan tsiqoh). Dan tidak seorangpun dari pengarang Kutubus Sittah yang mengeluarkan haditsnya. Dan dalam
Al-Mizan, Ad Daraquthny mengkategorikannya dalam rowi-rowi yang
matruk.
Kemudian yang aneh, di dalam hadits Anas yang lalu, perkataannya
“Terus-menerus beliau qunut pada sholat Subuh hingga beliau meninggalkan
dunia”, itu tidak terdapat dalam hadits Khal
id. Yang ada hanyalah “beliau (nabi)
‘alaihis Salam
qunut”, dan ini adalah perkara yang ma’ruf (dikenal). Dan yang aneh
hanyalah terus-menerus melakukannya sampai meninggal dunia. Maka di atas
anggapan dia cocok sebagai pendukung, bagaimana haditsnya bisa
dijadikan sebagai
syahid (pendukung)”.
Jalan ketiga : Dari jalan Ahmad bin Muhammad dari Dinar bin ‘Abdillah dari Anas bin Malik :
مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِيْ صَلاَةِ الْصُبْحِ حَتَّى مَاتَ
“Terus-menerus Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa alihi wa Sallam qunut pada sholat Subuh sampai beliau meninggal”.
Dikeluarkan oleh Al Khatib dalam
Al Qunut dan dari jalannya, Ibnul Jauzy dalam
At-Tahqiq no. 695.
Ahmad bin Muhammad yang diberi gelar dengan nama Ghul
am Khal
il adalah salah seorang pemalsu hadits yang terkenal. Dan Dinar bin ‘Abdillah, kata Ibnu ‘Ady : “
Mungkarul hadits (Mungkar haditsnya)”. Dan berkata Ibnu Hibb
an
: “Ia meriwayatkan dari Anas bin Malik perkara-perkara palsu, tidak
halal dia disebut di dalam kitab kecuali untuk mencelanya”.
Kesimpulan pendapat pertama:
Jelaslah dari uraian diatas bahwa seluruh dalil-dalil yang dipakai
oleh pendapat pertama adalah hadits yang lemah dan tidak bisa dikuatkan.
Kemudian anggaplah dalil mereka itu shohih bisa dipakai berhujjah,
juga tidak bisa dijadikan dalil akan disunnahkannya qunut subuh secara
terus-menerus, sebab qunut itu secara bahasa mempunyai banyak
pengertian. Ada lebih dari 10 makna sebagaimana yang dinukil oleh
Al-Hafidh Ibnu Hajar dari Al-Iraqi dan Ibnul Arabi.
- Doa
- Khusyu’
- Ibadah
- Taat
- Menjalankan ketaatan.
- Penetapan ibadah kepada Allah
- Diam
- Shalat
- Berdiri
- Lamanya berdiri
- Terus menerus dalam ketaatan
Dan ada makna-makna yang lain yang dapat dilihat dalam
Tafsir Al-Qurthubi 2/1022,
Mufradat Al-Qur’an karya Al-Ashbahany hal. 428 dan lain-lain.
Maka jelaslah lemahnya dalil orang yang menganggap qunut subuh terus-menerus itu sunnah.
Dalil Pendapat Kedua
Mereka berdalilkan dengan hadits Abu Hurairah riwayat Bukhary-Muslim :
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ
يَقُوْلُ حِيْنَ يَفْرَغُ مِنْ صَلاَةِ الفَجْرِ مِنَ الْقِرَاءَةِ
وَيُكَبِّرُ وَيَرْفَعُ رَأْسَهُ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا
وَلَكَ الْحَمْدُ ثُمَّ يَقُوْلُ وَهُوَ قَائِمٌ اَللَّهُمَّ أَنْجِ
اَلْوَلِيْدَ بْنَ الْوَلِيْدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ وَعَيَّاشَ بْنَ
أَبِيْ رَبِيْعَةَ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الْمُُؤْمِنِيْنَ
اَللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ وَاجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ
كَسِنِيْ يُوْسُفَ اَللَّهُمَّ الْعَنْ لِحْيَانَ وَرِعْلاً وَذَكْوَانَ
وَعُصَيَّةَ عَصَتِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ ثُمَّ بَلَغَنَا أَنَهُ تَرَكَ
ذَلِكَ لَمَّا أَنْزَلَ : (( لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ
يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُوْنَ ))
“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam ketika selesai membaca (surat dari rakaat kedua) di shalat Fajr dan kemudian bertakbir dan mengangkat kepalanya (I’tidal)
berkata : “Sami’allahu liman hamidah rabbana walakal hamdu, lalu beliau
berdoa dalaam keadaan berdiri. “Ya Allah selamatkanlah Al-Walid bin
Al-Walid, Salamah bin Hisyam, ‘Ayyasy bin Abi Rabi’ah dan orang-orang
yang lemah dari kaum mu`minin. Ya Allah keraskanlah pijakan-Mu
(adzab-Mu) atas kabilah Mudhar dan jadianlah atas mereka tahun-tahun
(kelaparan) seperti tahun-tahun (kelaparan yang pernah terjadi pada
masa) Nabi Yusuf. Wahai Allah, laknatlah kabilah Lihyan, Ri’lu, Dzakwan
dan ‘Ashiyah yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Kemudian
sampai kepada kami bahwa beliau meningalkannya tatkala telah turun ayat :
“Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah
menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka
itu orang-orang yang zalim”. (
HSR.Bukhary-Muslim)
Berdalilkan dengan hadits ini menganggap
mansukh-nya qunut adalah pendalilan yang lemah karena dua hal :
Pertama : ayat tersebut tidaklah menunjukkan
mansukh-nya
qunut sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Qurthuby dalam tafsirnya,
sebab ayat tersebut hanyalah menunjukkan peringatan dari Allah bahwa
segala perkara itu kembali kepada-Nya. Dialah yang menentukannya dan
hanya Dialah yang mengetahui perkara yang ghoib.
Kedua : Diriwayatkan oleh Bukhary – Muslim dari Abu Hurairah, beliau berkata :
وَاللهِ لَأَقْرَبَنَّ بِكُمْ صَلاَةَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَكَانَ أَبُوْ هُرَيْرَةَ يَقْنُتُ فِي
الظُّهْرِ وَالْعِشَاءِ الْآخِرَةِ وَصَلاَةِ الْصُبْحِ وَيَدْعُوْ
لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَيَلْعَنُ الْكُفَّارَ.
Dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu beliau berkata : “Demi
Allah, sungguh saya akan mendekatkan untuk kalian cara shalat Rasulullah
shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam. Maka Abu Hurairah melakukan
qunut pada shalat Dhuhur, Isya’ dan Shubuh. Beliau mendoakan kebaikan
untuk kaum mukminin dan memintakan laknat untuk orang-orang kafir”.
Ini menunjukkan bahwa qunut
nazilah belum
mansukh. Andaikata qunut
nazilah telah
mansukh tentunya Abu Hurairah tidak akan mencontohkan cara sholat Nabi
shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dengan qunut
nazilah.
Dalil Pendapat Ketiga
Satu : Hadits Sa’ad bin Th
oriq bin Asyam Al-Asyja’i
قُلْتُ لأَبِيْ : “يَا أَبَتِ إِنَّكَ صَلَّيْتَ خَلْفَ
رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وآله وسلم وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ
وَعُثْمَانَ وَعَلِيَ رَضِيَ الله عَنْهُمْ هَهُنَا وَبِالْكُوْفَةِ خَمْسَ سِنِيْنَ فَكَانُوْا بَقْنُتُوْنَ فيِ الفَجْرِ” فَقَالَ : “أَيْ بَنِيْ مُحْدَثٌ”.
“Saya bertanya kepada ayahku : “Wahai ayahku, engkau sholat di belakang Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dan di belakang Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu
‘anhum di sini dan di Kufah selama 5 tahun, apakah mereka melakukan
qunut pada sholat subuh ?”. Maka dia menjawab : “Wahai anakku hal
tersebut (qunut subuh) adalah perkara baru (bid’ah)”. Dikeluarkan oleh Tirmidzy no. 402, An-Nas
a`i no.1080 dan dalam
Al-Kubro no.667, Ibnu Majah no.1242, Ahmad 3/472 dan 6/394, Ath-Thoy
alisy no.1328, Ibnu Abi Syaibah dalam
Al Mushonnaf 2/101 no.6961, Ath-Thoh
awy 1/249, Ath-Thobarany 8/no.8177-8179, Ibnu Hibb
an sebagaimana dalam
Al-Ihsan no.1989, Baihaqy 2/213, Al-Maqdasy dalam
Al-Mukhtarah 8/97-98, Ibnul Jauzy dalam
At-Tahqiq no.677-678 dan Al-Mizzy dalam
Tahdzibul Kamal dan dishohihkan oleh syeikh Al-Albany dalam
Irwa`ul Gholil no.435 dan syeikh Muqbil dalam
Ash-Shohih Al-Musnad mimma laisa fi Ash-Shohihain.
Dua : Hadits Ibnu ‘Umar
عَنْ أَبِيْ مِجْلَزِ قَالَ : “صَلَّيْتُ مَعَ اِبْنِ عُمَرَ
صَلاَةَ الصُّبْحِ فَلَمْ يَقْنُتْ”. فَقُلْتُ : “آلكِبَرُ يَمْنَعُكَ”,
قَالَ : “مَا أَحْفَظُهُ عَنْ أَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِيْ”.
“ Dari Abu Mijlaz beliau berkata : saya sholat bersama Ibnu ‘Umar
sholat shubuh lalu beliau tidak qunut. Maka saya berkata : apakah
lanjut usia yang menahanmu (tidak melakukannya). Beliau berkata : saya
tidak menghafal hal tersebut dari para shahabatku”. Dikeluarkan oleh Ath-Thoh
awy 1\246, Al-Baihaqy 2\213 dan Ath-Thabar
any sebagaimana dalam
Majma’ Az-Zawa’id 2\137 dan Al-Haitsamy berkata :”rawi-rawinya tsiqoh”.
Ketiga : tidak ada dalil yang shohih menunjukkan disyari’atkannya mengkhususkan qunut pada sholat shubuh secara terus-menerus.
Keempat : qunut shubuh secara terus-menerus tidak
dikenal dikalangan para shahabat sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Umar
diatas, bahkan syaikul islam Ibnu Taimiyah dalam
Majmu’ Al-Fatawa
berkata : “dan demikian pula selain Ibnu ‘Umar dari para shahabat,
mereka menghitung hal tersebut dari perkara-perkara baru yang bid’ah”.
Kelima : nukilan-nukilan orang-orang yang
berpendapat disyari’atkannya qunut shubuh dari beberapa orang shahabat
bahwa mereka melakukan qunut, nukilan-nukilan tersebut terbagi dua :
1) Ada yang shohih tapi tidak ada pendalilan dari nukilan-nukilan tersebut.
2) Sangat jelas menunjukkan mereka melakukan qunut shubuh tapi nukilan tersebut adalah lemah tidak bisa dipakai berhujjah.
Keenam : setelah mengetahui apa yang disebutkan
diatas maka sangatlah mustahil mengatakan bahwa disyari’atkannya qunut
shubuh secara terus-menerus dengan membaca do’a qunut
“Allahummahdinaa fi man hadait…….sampai
akhir do’a kemudian diaminkan oleh para ma’mum, andaikan hal tersebut
dilakukan secara terus menerus tentunya akan dinukil oleh para shahabat
dengan nukilan yang pasti dan sangat banyak sebagaimana halnya masalah
sholat karena ini adalah ibadah yang kalau dilakukan secara terus
menerus maka akan dinukil oleh banyak para shahabat. Tapi kenyataannya
hanya dinukil dalam hadits yang lemah.
Demikian keterangan Imam Ibnul qoyyim Al-Jauziyah dalam
Zadul Ma’ad.
Kesimpulan
Jelaslah dari uraian di atas lemahnya dua pendapat pertama dan
kuatnya dalil pendapat ketiga sehinga memberikan kesimpulan pasti bahwa
qunut shubuh secara terus-menerus selain qunut
nazilah adalah bid’ah tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para shahabatnya.
Wallahu a’lam.
Silahkan lihat permasalahan ini dalam
Tafsir Al Qurthuby 4/200-201,
Al Mughny 2/575-576,
Al-Inshof 2/173,
Syarh Ma’any Al-Atsar 1/241-254,
Al-Ifshoh 1/323,
Al-Majmu’ 3/483-485,
Hasyiyah Ar-Raud Al Murbi’ : 2/197-198,
Nailul Author 2/155-158 (Cet. D
arul Kalim Ath Thoyyib),
Majmu’ Al Fatawa 22/104-111 dan
Zadul Ma’ad 1/271-285.