Penguasa Negeri Seharusnya Mentaati Nasehat Ulil Amri yang sebenarnya
Kalau
kita belajar dari pergolakkan politik di Mesir, pertumpahan darah
ditimbulkan karena penguasa negeri tidak lagi mentaati nasehat ulil amri
yang sebenarnya
Pada hakikatnya partai politik berbasis muamalah yang sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah
Kalau
bermunculan banyak partai politik berbasis agama Islam maka
kecenderungannya adalah akan menjelma menjadi firqah-firqah dalam Islam
Pegangan kaum muslim adalah sama Al Qur’an dan As Sunnah yang berbeda adalah pemahaman terhadap Al Qur’an dan As Sunnah
Jadi
kalau ada partai berbasis agama Islam maka seharusnyalah hanya satu
yang muncul yang merupakan hasil musyawarah dan mufakat kaum muslim
untuk berhadapan dengan partai berbasis yang lain.
Rasulullah
bersabda :
“Tidak boleh bagi tiga orang berada dimanapun di bumi ini,
tanpa mengambil salah seorang diantara mereka sebagai amir (pemimpin) ”
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa memilih seseorang
menjadi pemimpin untuk suatu kelompok, yang di kelompok itu ada orang
yang lebih diridhai Allah dari pada orang tersebut, maka ia telah
berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.” (HR.
Hakim)
Cara bermusywarah dan mufakat sistem perwakilan
yang berkompetensi dan terpercaya atau ahlu a-halli wa al-‘aqdi telah
dicontohkan oleh para Khulafaur Rasyidin dalam menetapkan khalifah
pertama setelah wafatnya Sayyidina Muhammad shallallahu alaihi wasallam.
Setelah
Nabi wafat, berkumpullah orang Muhajirin dan Anshar di Madinah, guna
bermusyawarah siapa yang akan dibaiat (diakui) jadi Khalifah. Orang
Anshar menghendaki agar Khalifah itu dipilih dari golongan mereka,
mereka mengajukan Sa’ad bin Ubadah. Kehendak orang Anshar ini tidak
disetujui oleh orang Muhajirin. Maka terjadilah perdebatan diantara
keduanya, dan hampir terjadi fitnah diantara keduanya.
Sayyidina
Abu Bakar ra segera berdiri dan berpidato menyatakan dengan alasan yang
kuat dan tepat, bahwa soal Khalifah itu adalah hak bagi kaum Quraisy,
bahwa kaum Muhajirin telah lebih dahulu masuk Islam, mereka lebih lama
bersama bersama Rasulullah, dalam Al-Qur’an selalu didahulukan Muhajirin
kemudian Anshar.
Khutbah Abu Bakar ini dikenal dengan
Khutbah Hari Tsaqifah, setelah khutbah ini ummat Islam serta merta
membai’at Abu Bakar, didahului oleh Umar bin Khattab, kemudian diikuti
oleh para sahabat yang lain.
Adapun Abu Bakar Siddiq
adalah sahabat nabi yang tertua yang amat luas pengalamannya dan amat
besar ghirahnya kepada agama Islam. Dia adalah seorang bangsawan
Quraisy, berkedudukan tinggi dalam kaumnya, hartawan dan dermawan.
Jabatannya dikala Nabi masih hidup, selain dari seorang saudagar yang
kaya, diapun seorang ahli nasab Arab dan ahli hukum yang jujur. Dialah
yang menemani Nabi ketika hijrah dari Makkah ke Madinah. Dia telah
merasakan pahit getirnya hidup bersama Rasulullah sampai kepada hari
wafat beliau. Dialah yang diserahi nabi menjadi imam sembahyang ketika
beliau sakit. Oleh karena itu, ummat Islam memandang dia lebih berhak
dan utama menjadi Khalifah dari yang lainnya.
Jelaslah apa
yang telah dicontohkan bahwa pemilihan berdasarkan permusyawaratan dan
diwakili oleh orang-orang berkompeten untuk memilih atau dikenal sebagai
Ahlul Halli wal Aqdi
Jadi partai yang berhak menyandang
nama Islam adalah merupakan hasil musyawarah dan mufakat sistem
perwakilan yang berkompetensi dan terpercaya atau
ahlu a-halli wa
al-‘aqdi
Tidak boleh sembarang menyandang nama Islam
karena akan timbul firqah-firqah yang akan menimbulkan perselisihan dan
tercerai berai.
Asy-Syathibi mengatakan bahwa orang-orang
yang berbeda pendapat atau pemahaman sehingga menimbulkan perselisihan
seperti permusuhan, kebencian, saling membelakangi dan memutus hubungan.
maka mereka menjadi firqah-firqah dalam Islam sebagaimana yang Beliau
sampaikan dalam kitabnya, al-I’tisham yang kami arsip pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/11/27/ciri-aliran-sesat/
****** awal kutipan *****
Salah
satu tanda aliran atau firqoh sesat adalah terjadinya perpecahan di
antara mereka. Hal tersebut seperti telah diingatkan dalam firman Allah
subhanahu wa ta’ala:
“Dan janganlah kamu menyerupai
orang-orang yang bercerai berai dan berselisih sesudah datang keterangan
yang jelas kepada mereka”, (QS. 3 : 105).
“Dan Kami telah timbulkan permusuhan dan kebencian di antara mereka sampai hari kiamat”, (QS. 5 : 64).
Dalam
hadits shahih, melalui Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah ridha pada
kamu tiga perkara dan membenci tiga perkara. Allah ridha kamu
menyembah-Nya dan janganlah kamu mempersekutukannya, kamu berpegang
dengan tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai…”
Kemudian
Asy-Syathibi mengutip pernyataan sebagian ulama, bahwa para sahabat
banyak yang berbeda pendapat sepeninggal Nabi shallallahu alaihi
wasallam, tetapi mereka tidak bercerai berai. Karena perbedaan mereka
berkaitan dengan hal-hal yang masuk dalam konteks ijtihad dan istinbath
dari al-Qur’an dan Sunnah dalam hukum-hukum yang tidak mereka temukan
nash-nya.
Jadi, setiap persoalan yang timbul dalam Islam,
lalu orang-orang berbeda pendapat mengenai hal tersebut dan perbedaan
itu tidak menimbulkan permusuhan, kebencian dan perpecahan, maka kami
meyakini bahwa persoalan tersebut masuk dalam koridor Islam.
Sedangkan
setiap persoalan yang timbul dalam Islam, lalu menyebabkan permusuhan,
kebencian, saling membelakangi dan memutus hubungan, maka hal itu kami
yakini bukan termasuk urusan agama.
Persoalan tersebut
berarti termasuk yang dimaksud oleh Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam dalam menafsirkan ayat berikut ini. Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam bersabda kepada ‘Aisyah, “Wahai ‘Aisyah, siapa yang
dimaksud dalam ayat,
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah
agamanya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung
jawabmu terhadap mereka”, (QS. 6 : 159)?” ‘Aisyah menjawab: “Allah dan
Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Nabi shallallahu alaihi wasallam
bersabda:
“Mereka adalah golongan yang mengikuti hawa nafsu, ahli bid’ah
dan aliran sesat dari umat ini.”
******* akhir kutipan *******
Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/20/tetaplah-sebagai-ormas/ bahwa
Prof. Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA menyampaikan slogan “Muhammadiyah bukan
Dahlaniyah” artinya Muhammadiyah hanyalah sebuah organisasi
kemasyarakatan atau jama’ah minal muslimin bukan sebuah sekte atau
firqoh yang mengikuti pemahaman KH Ahmad Dahlan karena KH Ahmad Dahlan
sebagaimana mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham ) pada masa
sekarang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan
mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Prof.Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA , contohnya pada
http://www.sangpencerah.com/2013/08/profdr-yunahar-ilyas-lc-ma-ini.html bahwa
Kyai Haji Ahmad Dahlan pada masa hidupnya mengikuti fiqh mahzab
Syafi’i, termasuk mengamalkan qunut dalam shalat subuh dan shalat
tarawih 23 rakaat.
Namun, setelah berdiriya Majelis
Tarjih, ormas Muhammadiyah tidak lagi mengikuti apa yang telah
diteladani oleh pendirinya Kyai Haji Ahmad Dahlan
Jadi
ketika sebuah jama’ah minal muslimin atau sebuah kelompok kaum muslim
atau sebuah ormas menetapkan untuk mengikuti pemahaman seseorang atau
pemahaman sebuah majlis dari kelompok tersebut terhadap Al Qur’an dan As
Sunnah dan tidak berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak atau ahli
istidlal maka berubahlah menjadi sebuah sekte atau firqah.
Ketika
pemimpin yang terpilih menjadi penguasa negeri maka dia dalam
menjalankan roda pemerintahan seharusnya mentaati nasehat ulil amri
sebenarnya yakni para fuqaha yang faqih dalam memahami Al Qur’an dan As
Sunnah
Firman Allah ta’ala yang artinya “Hai orang-orang
yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (QS An Nisaa
[4]:59)
Bagaimanakah cara mentaati Allah dan RasulNya tanpa mentaati ulil amri?
Apakah
mentaati dengan mengikuti pemahaman sendiri terhadap Al Qur’an dan As
Sunnah atau mengikuti orang-orang yang “kembali kepada Al Qur’an dan As
Sunnah” dengan cara memahami Al Qur’an dan As Sunnah maupun perkataan
ulama terdahulu bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak
(shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri dan pemahamannya selalu
berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna
dzahir dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja?
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an
dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia
telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?
Syaikh
Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini:
“Orang yang hanya mengambil
ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa
berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada
distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka
menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai
orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi
yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang
mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para
ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam
riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan
semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Orang yang
berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan
menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa
menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi
kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya
sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Kalau dalam
berijtihad dan beristinbat atau menggali hukum dari Al Qur’an dan As
Sunnah tanpa ilmu maka akan sesat dan menyesatkan
Telah
menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwaisnberkata, telah
menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari
Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah
mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah
mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak
tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan
orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu,
mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).
Lalu siapakah ulil amri yang harus ditaati oleh kaum muslim ?
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam adalah sosok ulama dan umara sekaligus.
Begitu juga para khulafaur Rasyidin seperti Sayyidina Abu Bakar,
Sayyidina Umar, Sayyidina Ustman dan Sayyidina Ali radhiyallahuanhum,
begitu juga beberapa khalifah dari bani Umayah dan bani Abbas.
Namun
dalam perkembangan sejarah Islam selanjutnya, sangat jarang kita
dapatkan seorang pemimpin negara yang benar-benar paham terhadap Islam.
Dari sini, mulailah terpisah antara ulama dan umara.
Ibnu
Abbas ra sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thobari dalam tafsirnya
telah menyampaikan bahwa ulil amri yang ditaati adalah para pakar fiqih
atau para ulama yang menguasai hukum-hukum Allah.
Syarat
atau kompetensi yang harus dipenuhi sebagai seorang mufti adalah
sebagaimana yang disampaikan oleh KH. Muhammad Nuh Addawami
***** awal kutipan *****
Di
masa hidup Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menerima risalah
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut relatif mudah, tidak
sulit sesulit pada masa setelah wafatnya, apalagi setelah inqiradh para
Sahabatnya.
Di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam masih hidup di dunia, bagi yang ingin menerima risalahnya hanya
tinggal bertanya kepadanya dan mengikuti langsung apa-apa yang
dikatakan, dikerjakan dan direstuinya.
Sedangkan pada masa
setelah wafat beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terutama setelah
inqiradh para Sahabatnya apalagi dalam masalah baru seiring dengan
perkembangan zaman, kesulitan menerima risalah itu amat terasa sulit
sekali, sehingga para penerimanya memerlukan kecermatan yang kuat dalam
memahami al-Quran dan as-Sunnah, berijtihad dan beristinbath yang akurat
menurut metoda yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya menurut
ukuran prinsip-prinsip risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
itu sendiri dengan logika yang benar, berbekal perbendaharaan ilmu yang
cukup jumlah dan jenisnya, berlandaskan mental (akhlaq) dan niat
semata-mata mencari kebenaran yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hal
semacam itu diperlukan karena keadaan kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan kalam Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itu adalah kalam yang
balaghah sesuai dengan muqtadhal hal dan muqtadhal maqam, keadaan
lafadz-lafadznya beraneka ragam, ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada
lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada
yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz
kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain
sebagainya.
Oleh karena itu bagi setiap sang penerima
risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada masa setelah wafat
beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan setelah inqiradh para Sahabatnya
radhiallahu anhum memerlukan :
a. Mengetahui dan
menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya, karena al-quran dan as-sunnah
diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi,
pengertiannya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Yang
perlu diketahui dan dikuasainya bukan hanya arti bahasa tetapi juga
ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu seumpama nahwu,
sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
b. Mengetahui
dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin
menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah padahal
tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang
beraneka ragam yang masing-masing mempengaruhi hukum-hukum yang
terkandung di dalamnya seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada
lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada
yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz
kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain
sebagainya.
c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-masalah yaqiniyah qath’iyah.
d.
Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab an-nuzul
dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad, baik dalam
al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan yang lainnya
dan mengetahui para rawi as-Sunnah.
e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.
Bagi
yang tidak memiliki kemampuan, syarat dan sarana untuk menggali
hukum-hukum dari al-Quran dan as-Sunnah dalam masalah-masalah
ijtihadiyah padahal dia ingin menerima risalah Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam secara utuh dan kaffah, maka tidak ada jalan lain
kecuali taqlid kepada mujtahid yang dapat dipertanggungjawabkan
kemampuannya.
Diantara para mujtahid yang madzhabnya mudawwan adalah empat imam mujtahid, yaitu:
- Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;
- Imam Malik bin Anas;
- Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ; dan
- Imam Ahmad bin Hanbal.
Mengharamkan
taqlid dan mewajibkan ijtihad atau ittiba’ dalam arti mengikuti
pendapat orang disertai mengetahui dalil-dalilnya terhadap orang awam
(yang bukan ahli istidlal) adalah fatwa sesat dan menyesatkan yang akan
merusak sendi-sendi kehidupan di dunia ini.
Memajukan
dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan tidak memajukannya.
(lihat Hasyiyah ad-Dimyathi ‘ala syarh al- Waraqat hal 23 pada baris
ke-12).
Apabila si awam menerima fatwa orang yang
mengemukakan dalilnya maka dia sama saja dengan si awam yang menerima
fatwa orang yang tidak disertai dalil yang dikemukakan. Dalam artian
mereka sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan memerima pendapat orang
tanpa mengetahui dalilnya.
Yang disebut muttabi’ “bukan
muqallid” dalam istilah ushuliyyin adalah seorang ahli istidlal
(mujtahid) yang menerima pendapat orang lain karena dia selaku ahli
istidlal dengan segala kemampuannya mengetahui dalil pendapat orang itu.
Adapun
orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu fatwa dengan
mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang penerima itu
bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak termasuk
muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.
Pendek
kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam istilah ushuliyyin adalah
ijtihad seorang mujtahid mengikuti ijtihad mujtahid yang lain.
***** akhir kutipan *****
Oleh
karenanya setelah masa kehidupan Imam Madzhab yang empat, para mufti
yakni orang yang faqih untuk membuat fatwa selalu merujuk kepada salah
satu dari Imam Madzhab yang empat.
Kemurnian sanad ilmu
(sanad guru) seorang mufti tersambung kepada Imam Madzhab yang empat
perlu diperhatikan karena jangan sampai tercampur pemahaman-pemahaman
diluar mazhab yang empat, apalagi tercampur pemahaman non muslim yang
mempelajari Islam yang dapat bersifat ghazwul fikri (perang pemahaman)
Contohnya
saat ini mufti agung Mesir adalah Prof. Dr. Syauqi Ibrahim Abdul Karim
‘Allam. Salah satu syarat sebagai mufti Agung Mesir adalah lulusan Ph.D.
Al-Azhar -tulen Al-Azhar dari sekolah dasar hingga strata tiga-,
berpegang teguh kepada metode Al-Azhar.
Sanad talaqqi
dalam aqidah dan mazhab fikih yang sampai saat ini dilestarikan salah
satunya oleh ulama dan universitas Al-Azhar Asy-Syarif. Hal inilah yang
mengapa Al-Azhar menjadi sumber ilmu keislaman selama berabad-abad.
Karena manhaj yang di gunakan adalah manhaj shahih talaqqi (mengaji
dengan ulama) yang memiliki sanad yang jelas dan sangat sistematis.
Sehingga sarjana yang menetas dari Al-azhar adalah tidak hanya ahli
akademis semata tapi juga alim serta selalu terjaga kemutawatiran sanad,
kemurnian agama dan akidahnya.
Prof. Dr. Syauqi Ibrahim
bermazhab Maliki namun beliau menguasai ke empat Mazhab terlebih sejak
Januari 2012 sampai sekarang beliau telah diberi amanah sebagai Kepala
Jurusan (Kajur) bidang Fikih di Universitas Al Azhar, Thanta.
Ketaatan
umat Islam kepada ulil amri setempat yakni para fuqaha (mufti) yang
dipimpin oleh mufti agung lebih didahulukan dari pada ketaatan kepada
pemimpin ormas maupun penguasa negeri dalam rangka menyunjung persatuan
dan kesatuan kaum muslim sesuai semangat piagam Madinah yang memuat
keharusan mentaati Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam yang ketika
itu sebagai ulil amri dalam jama’atul muslimin
***** awal kutipan *****
Pasal 1
Sesungguhnya mereka satu bangsa negara (ummat), bebas dari (pengaruh dan kekuasaan) manusia.
Pasal 17
Perdamaian dari orang-orang beriman adalah satu
Tidak
diperkenankan segolongan orang-orang yang beriman membuat perjanjian
tanpa ikut sertanya segolongan lainnya di dalam suatu peperangan di
jalan Tuhan, kecuali atas dasar persamaan dan adil di antara mereka
Pasal 36 ayat 1
Tidak seorang pun diperbolehkan bertindak keluar, tanpa ijinnya Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
***** akhir kutipan *****
Kita
dapat memetik pelajaran dari provinsi Hadramaut dalam menghadapi krisis
di Yaman. Provinsi Hadramaut merupakan provinsi terbesar di Yaman yang
menjadi penentu bagi stabilitas ekonomi di mana tujuh puluh persen
devisa negara dihasilkan dari sumber daya alam Hadhramaut yang kaya
minyak dan laut yang luas. Salah satu solusinya adalah membentuk Dewan
Nasional di bawah pimpinan Profesor al-Habib Abdullah Baharun, Rektor
universitas al-Ahgaff dan mengeluarkan Deklarasi Hadhramaut dan salah
satu hal yang utama adalah menyunjung persatuan dan kesatuan.
Begitupula
kita dapat mengambil pelajaran dari kerajaan Islam Brunei Darussalam
berideologi Melayu Islam Beraja (MIB) dengan penerapan nilai-nilai
ajaran Agama Islam dirujuk kepada golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang
dipelopori oleh Imam Al Asyari dan mengikut Mazhab Imam Syafei. Sultan
Brunei disamping sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan merangkap
sebagai perdana menteri dan menteri pertahanan dengan dibantu oleh
dewan penasihat kesultanan dan beberapa menteri, juga bertindak sebagai
pemimpin tertinggi Agama Islam dimana dalam menentukan keputusan atas
sesuatu masalah dibantu oleh Mufti Kerajaan.
Negara
kitapun ketika awal berdirinya memiliki lembaga tinggi negara yang
bernama “Dewan Pertimbangan Agung” yang berunsurkan ulama yang sholeh
yang dapat memberikan pertimbangan dan usulan kepada pemerintah dalam
menyelenggarakan pemerintahan agar tidak bertentangan dengan Al Qur’an
dan As Sunnah.
Salah satu contoh ulama yang menjadi
anggota “Dewan Pertimbangan Agung” adalah Syaikh Muhammad Jamil Jambek
ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatera Barat awal abad ke-20 yang
pernah berguru dengan Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang merupakan
ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar
di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19
dan awal abad ke-20.
Namun dalam perjalanannya Dewan
Pertimbangan Agung perannya dalam roda pemerintahan di negara kita
“dikecilkan”. Bahkan pada zaman era Surharto, singkatan DPA mempunyai
arti sebagai “Dewan Pensiun Agung” karena keanggotaanya terdiri dari
pensiunan-pensiunan pejabat. Sehingga pada era Reformasi , Dewan
Pertimbangan Agung dibubarkan dengan alasan sebagai lembaga yang tidak
effisien.
Jadi cara mengawal syariat Islam dalam sistem
pemerintahan di negara kita dengan cara mengembalikan wewenang para ahli
fiqih untuk menasehati dan membimbing penguasa negeri sehingga dalam
menjalankan roda pemerintahan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As
Sunnah sehingga tidak ada keraguan lagi bagi kaum muslim untuk mentaati
penguasa negeri.
Wassalam