Ulil Amri Sebenarnya pada Periode Penguasa memaksakan kehendak adalah para Ahli Fiqih
Babak
atau periode kehidupan umat Islam di dunia telah digambarkan oleh Nabi
Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, “Kalian akan mengalami
babak Kenabian selama masa yang Allah kehendaki, kemudian babak
kekhalifahan mengikuti manhaj Kenabian selama masa yang Allah kehendaki,
kemudian babak Raja-raja yang menggigit,selama masa yang Allah
kehendaki, kemudian babak para penguasa yang memaksakan kehendak selama
masa yang Allah kehendaki, kemudian kalian akan mengalami babak
kekhalifahan mengikuti manhaj Kenabian, kemudian Nabi diam.” (HR Ahmad).
Kekhalifahan
mengikuti manhaj Kenabian akan terwujud kembali sebagaimana janji Allah
Azza wa Jalla pada masa mendekati akhir zaman.
Rasulullah
bersabda “Andaikan dunia tinggal sehari sungguh Allah akan panjangkan
hari tersebut sehingga diutus padanya seorang lelaki dari ahli baitku
namanya serupa namaku dan nama ayahnya serupa nama ayahku. Ia akan
penuhi bumi dengan kejujuran dan keadilan sebagaimana sebelumnya
dipenuhi dengan kezaliman dan penganiayaan.” (HR abu Dawud 9435)
Rasulullah
bersabda “Aku kabarkan berita gembira mengenai Al-Mahdi yang diutus
Allah ke tengah ummatku ketika banyak terjadi perselisihan antar-manusia
dan gempa-gempa. Ia akan penuhi bumi dengan keadilan dan kejujuran
sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kesewenang-wenangan dan
kezaliman.” (HR Ahmad 10898).
Rasulullah bersabda “Akan
terjadi perselisihan setelah wafatnya seorang pemimpin, maka keluarlah
seorang lelaki dari penduduk Madinah mencari perlindungan ke Mekkah,
lalu datanglah kepada lelaki ini beberapa orang dari penduduk Mekkah,
lalu mereka membai’at Imam Mahdi secara paksa, maka ia dibai’at di
antara Rukun dengan Maqam Ibrahim (di depan Ka’bah). Kemudian diutuslah
sepasukan manusia dari penduduk Syam, maka mereka dibenamkan di sebuah
daerah bernama Al-Baida yang berada di antara Mekkah dan Madinah.” (HR
Abu Dawud 3737)
Pesan Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam, “Ketika kalian melihatnya (kehadiran Imam Mahdi), maka
berbai’at-lah dengannya walaupun harus merangkak-rangkak di atas salju
karena sesungguhnya dia adalah Khalifatullah Al-Mahdi.” (HR Abu Dawud
4074)
Banyak ghazawat (perang) akan dipimpin Imam Mahdi. Dan –subhaanallah- Allah akan senantiasa menjanjikan kemenangan baginya.
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam “Kalian perangi jazirah Arab dan Allah beri
kalian kemenangan. Kemudian Persia (Iran), dan Allah beri kalian
kemenangan. Kemudian kalian perangi Rum, dan Allah beri kalian
kemenangan. Kemudian kalian perangi Dajjal,dan Allah beri kalian
kemenangan.” (HR Muslim 5161)
Dalam hadits di atas yang
diperangi pertama kali adalah jazirah Arab karena pada akhir zaman nanti
jazirah Arab, pada masa akhir babak Mulkan Jabbriyyan
(penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak yang kecenderungannya
mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya) mereka akan kembali mengalami
masa jahiliyah , keadaan mereka benar-benar mengabaikan kehendak Allah
dan RasulNya. Kemudian terakhir memerangi Dajjal.
Rasulullah
masuk ke kamarku dalam keadaan aku sedang menangis. Beliau berkata
kepadaku: ‘Apa yang membuatmu menangis?’ Aku menjawab: ‘Saya mengingat
perkara Dajjal maka aku pun menangis.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata: ‘Jika dia keluar sedang aku masih berada di antara
kalian niscaya aku akan mencukupi kalian. Jika dia keluar setelah aku
mati maka ketahuilah Rabb kalian tidak buta sebelah. Dajjal keluar
bersama orang-orang Yahudi Ashbahan hingga datang ke Madinah dan
berhenti di salah satu sudut Madinah. Madinah ketika itu memiliki tujuh
pintu tiap celah ada dua malaikat yang berjaga. maka keluarlah
orang-orang jahat dari Madinah mendatangi Dajjal.”
Orang-orang
jahat dari Madinah yang mendatangi Dajjal adalah orang-orang yang salah
memahami Al Qur’an dan As Sunnah sehingga mereka bersekutu dengan
Zionis Yahudi dan menemui Dajjal.
Hal yang harus
diwaspadai selalu adalah Zionis Yahudi sehingga suatu zaman yang
dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Telah
menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id telah menceritakan kepada
kami Ya’qub bin Abdurrahman dari Suhail dari ayahnya dari Abu Hurairah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Kiamat tidak terjadi
hingga kaum muslimin memerangi Yahudi lalu kaum muslimin membunuh mereka
hingga orang Yahudi bersembunyi dibalik batu dan pohon, batu atau pohon
berkata, ‘Hai Muslim, hai hamba Allah, ini orang Yahudi dibelakangku,
kemarilah, bunuhlah dia, ‘ kecuali pohon gharqad, ia adalah pohon
Yahudi’.” (HR Muslim 5203)
Sebagaimana kita ketahui umat
Islam dewasa ini sedang menjalani babak keempat dari lima babak
perjalanan sejarahnya di akhir zaman.
Tiga babak sebelumnya telah dilalui:
Babak
pertama, babak An-Nubuwwah (Kenabian) yakni masa ketika manhaj kenabian
berlangsung Babak kedua, babak Khilafatun ’ala Minhaj An-Nubuwwah
(Kekhalifahan yang mengikuti sistem atau metode kenabian), Babak ketiga,
babak Mulkan ’Aadhdhon (Raja-raja yang menggigit)., masa ketika
raja-raja masih “mengigit” / berpegangan pada Al-Qur’an dan Hadits.
Sesudah
berlalunya babak ketiga yang ditandai dengan tiga belas abad masa
kepemimpinan Kerajaan Daulah Bani Umayyah, kemudian Kerajaan Daulat Bani
Abbasiyyah dan terakhir Kesultanan Utsmani Turki maka selanjutnya ummat
Islam memasuki babak atau periode ke empat, babak atau periode Mulkan
Jabbriyyan yakni babak atau periode penguasa-penguasa yang memaksakan
kehendak yang kecenderungannya mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya.
Babak
keempat diawali semenjak runtuhnya Kesultanan Utsmani Turki yang
sekaligus merupakan kekhalifahan Islam terakhir pada tahun 1924.
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda, ”Ikatan-ikatan Islam akan lepas
satu demi satu. Apabila lepas satu ikatan, akan diikuti oleh lepasnya
ikatan berikutnya. Ikatan islam yang pertama kali lepas adalah
pemerintahan (kekhalifahan) dan yang terakhir adalah shalat.” (HR.
Ahmad)
Saat ikatan islam yang pertama kali lepas adalah pada saat keruntuhan kekhalifahan Turki Utsmani
Sebuah episode sejarah keemasan Turki saat dipimpin oleh Khalifah Sultan Abdul Hamid II di awal abad ke-20.
Saat
itu Theodore Hertzl, pemimpin Gerakan Zionis Internasional, mendatangi
Abdul Hamid untuk meminta agar Turki Utsmani mau membagi sebagian tanah
Palestina untuk dijadikan negara Israel. Permintaan Hertzl ini disertai
dengan bujuk rayu dan janji, jika keinginannya dituruti maka Turki dan
juga Sultan Abdul Hamid II akan diberi hadiah sangat besar oleh gerakan
Zionis Internasional.
Namun dengan sikap tegas Abdul Hamid
mengusir Hertzl seraya berkata, “Turki tidak akan pernah sekali pun
menyerahkan Tanah Palestina kepada kamu hai orang-orang Yahudi. Tanah
Palestina bukanlah milik Turki, melainkan milik seluruh umat Islam
dunia. Jangan bermimpi bisa menginjak Tanah Palestina selama saya masih
hidup!”
Sebab itu, Hertzl dan para tokoh Zionis lainnya
merancang suatu konspirasi untuk menghancurkan kekhalifahan Islam Turki
Utsmani sehingga kekhalifahan ini benar-benar ambruk pada tahun 1924 dan
Turki pun diubah menjadi negeri Sekuler.
Setelah
runtuhnya sistem pemerintahan Islam, maka selanjutnya umat Islam mulai
menjalani kehidupan dengan mengekor kepada pola kehidupan bermasyarakat
dan bernegara ala Barat. Mulailah di berbagai negeri muslim didirikan di
atasnya berbagai nation-state (negara bedasarkan kesatuan bangsa).
Padahal sebelumnya semenjak Nabi shallallahu ’alaihi wasallam menjadi
kepala negara Daulah Islamiyyah (Negara Islam) pertama di Madinah, umat
Islam hidup dalam sistem aqidah-state (negara berdasarkan kesatuan
aqidah) selama ribuan tahun.
Keberakhiran kekhalifahan
pada dasarnya karena terpengaruh paham nasionalisme yakni paham
individualisme dalam skala negara. Paham nasionalisme untuk memecah
belah umat Islam atau upaya meruntuhkan Ukhuwah Islamiyah. Kaum muslim
telah terpecah belah ke dalam beberapa batas wilayah atau negara atau
kesatuan dalam negara (nation state) yang dikenal dengan propaganda
nasionalisme. Salah satu hasutan kaum Zionis Yahudi adalah menumbuhkan
nasionalisme Arab.
Secara perlahan namun pasti,
lembaga-lembaga kajian Islam yang didirikan para orientalis Barat (kaum
Zionis Yahudi) ini meracuni pemikiran umat Islam Turki. Para orientalis
menjelek-jelekkan sistem Islam dan membangga-banggakan sistem
nasionalisme. Dari sinilah lahir gerakan nasionalisme Arab.
Jenderal
Allenby mengirim seorang perwira Yahudi Inggris bernama Edward Terrence
Lawrence ke Hijaz untuk menemui para pemimpin di sana. TE. Lawrence ini
diterima dengan sangat baik dan seluruh hasutannya di makan
mentah-mentah oleh tokoh-tokoh Hijaz. Maka orang-orang dari Hijaz ini
kemudian membangkitkan nasionalisme Arab dan mengajak tokoh-tokoh
pesisir Barat Saudi untuk berontak terhadap kekuasaan kekhalifahan Turki
Utsmaniyah, dan setelah itu mendirikan Kerajaan Islam Saudi Arabia.
Berikut kutipan tulisan dari
http://www.eramuslim.com/berita/tahukah-anda/lawrence-of-arabia-di-balik-berdirinya-kerajaan-saudi.htm
****** awal kutipan ******
Pergilah
ke tempat penyewaan VCD atau DVD, cari sebuah film yang dirilis tahun
1962 berjudul ‘Lawrence of Arabia’ dan tontonlah. Di dalam film yang
banyak mendapatkan penghargaan internasional tersebut, dikisahkan
tentang peranan seorang letnan dari pasukan Inggris bernama lengkap
Thomas Edward Lawrence, anak buah dari Jenderal Allenby (jenderal ini
ketika merebut Yerusalem menginjakkan kakinya di atas makam Salahuddin
Al-Ayyubi dan dengan lantang berkata, “Hai Saladin, hari ini telah
kubalaskan dendam kaumku dan telah berakhir Perang Salib dengan
kemenangan kami!”).
Film ini memang agak kontroversial,
ada yang membenarkan namun ada juga yang menampiknya. Namun produser
mengaku bahwa film ini diangkat dari kejadian nyata, yang bertutur
dengan jujur tentang siapa yang berada di balik berdirinya Kerajaan
Saudi Arabia.
Konon kala itu Jazirah Arab merupakan bagian
dari wilayah kekuasaan Kekhalifahan Turki Utsmaniyah, sebuah
kekhalifahan umat Islam dunia yang wilayahnya sampai ke Aceh. Lalu
dengan bantuan Lawrence dan jaringannya, suatu suku atau klan melakukan
pemberontakan (bughot) terhadap Kekhalifahan Turki Utsmaniyah dan
mendirikan kerajaan yang terpisah, lepas, dari wilayah kekhalifahan
Islam itu.
Bahkan di film itu digambarkan bahwa klanSaud
dengan bantuan Lawrence mendirikan kerajaan sendiri yang terpisah dari
khilfah Turki Utsmani. Sejarahwan Inggris, Martin Gilbert, di dalam
tulisannya “Lawrence of Arabia was a Zionist” seperti yang dimuat di
Jerusalem Post edisi 22 Februari 2007, menyebut Lawrence sebagai agen
Zionisme.
Sejarah pun menyatakan, hancurnya Kekhalifahan
Turki Utsmani ini pada tahun 1924 merupakan akibat dari infiltrasi
Zonisme setelah Sultan Mahmud II menolak keinginan Theodore Hertzl untuk
menyerahkan wilayah Palestina untuk bangsa Zionis-Yahudi. Operasi
penghancuran Kekhalifahan Turki Utsmani dilakukan Zionis bersamaan
waktunya dengan mendukung pembrontakan Klan Saud terhadap Kekalifahan
Utsmaniyah, lewat Lawrence of Arabia.
Entah apa yang
terjadi, namun hingga detik ini, Kerajaan Saudi Arabia, walau Makkah
al-Mukaramah dan Madinah ada di dalam wilayahnya, tetap menjadi sekutu
terdekat Amerika Serikat. Mereka tetap menjadi sahabat yang manis bagi
Amerika.
****** akhir kutipan *****
Begitupula kita
mendapatkan informasi yang serupa dari buku berjudul “Api Sejarah”,
karya Ahmad Mansur Suryanegara yang diterbitkan Salamadani Pustaka
Semesta, cetakan I Juli 2009 pada halaman 167. Berikut kutipannya,
***** awal kutipan *****
Gerakan Zionisme dalam gerakan politiknya ada dua langkah kerjasama yakni
1.
Di Turki, dengan mendukung Kemal Pasha (Yahudi) menumbangkan kesultanan
Turki, 1924 M untuk membebaskan Palestina dari kesultanan Turki
2. Di Arabia, bekerjasama dengan Raja Ibnu Saud , sekte Wahhabi.
Kerajaan
Protestan Anglikan, Inggris berhasil menumbangkan kerajaan Arabia dari
kekuasaan Raja Husein ataupun putra Raja Ali, Ahlus sunnah wal Jama’ah
yang mengklaim batas wilayah Arabia meliputi Palestina dan Syiria bekas
wilayah kekuasaan kesultanan Turki. Klaim atas kedua wilayah tersebut
menjadikan Raja Husein dan putranya Raja Ali, dimakzulkan. Kemudian,
kedua raja tersebut minta suaka di Cyprus dan Irak.
Kelanjutan
dari kerjasama tersebut, Kerajaan Protestan Anglikan Inggris mengakui
Abdul Aziz bin Saudi (sekte Wahabi) sebagai raja Kerajaan Saudi Arabia
yang tidak mengklaim wilayah Palestina dan Syria sebagai wilayah Saudi
Arabia.
Keberhasilan kedua kerjasama ini, memungkinkan
berdirinya negara Israel, sesudah perang dunia II, 1939-1945M, tepatnya
15 Mei 1948
***** akhir kutipan *****
Jadi pada masa
kini, umat Islam berada dalam babak (periode) ke empat yakni babak atau
periode Mulkan Jabbriyyan yakni perioda penguasa-penguasa yang
memaksakan kehendak yang kecenderungannya mengabaikan kehendak Allah dan
RasulNya.
Pada kenyataannya pada masa kini tidak ada lagi
jama’atul muslimin karena kaum muslim telah terpecah belah dalam batas
wilayah atau negara (nation state) dengan banyak pemimpin (penguasa
negeri).
Dalam syariat Islam tidak mengakui selain satu pemerintahan yang memerintah umat Islam.
Jadi
sungguh aneh jika ada yang berpendapat bahwa wilayah yang diduduki oleh
kerajaan dinasti Saudi tidak termasuk wilayah kekhalifahan Utsmaniyah.
Bahkan
syariat Islam memerintakan umat Islam agar membunuh penguasa kedua
secara langsung, sebagaimana dijelaskan oleh nash-nash syariat.
Dan
telah menceritakan kepadaku Utsman bin Abu Syaibah telah menceritakan
kepada kami Yunus bin Abu Ya’fur dari ayahnya dari ‘Arfajah dia berkata,
“Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bila
datang kepadamu seseorang yang hendak mematahkan tongkatmu (memecah
belah jama’ah) atau memecah belah persatuan kalian, maka bunuhlah dia
(HR Muslim 3433)
Dan telah menceritakan kepadaku Wahb bin
Baqiyah Al Wasithi telah menceritakan kepada kami Khalid bin Abdullah
dari Al Jurairi dari Abu Nadlrah dari Abu Sa’id Al Khudri dia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila ada dua
khalifah yang dibaiat, maka bunuhlah yang paling terakhir dari
keduanya.” (HR Muslim 3444)
Dari Abu Said al Khudriy bahwa
Rasulullah saw bersabda,”Apabila ada baiat kepada dua orang khalifah
maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR. Ahmad)
Imam
Nawawi dalam mengomentari hadits ini berkata,”Arti hadits ini ialah
apabila seorang khalifah yang dibaiat setelah ada seorang khalifah maka
baiat pertama itulah yang sah dan wajib ditaati. Sedangkan bai’at kedua
dinyatakan batil dan diharamkan untuk taat kepadanya.
Jadi
dengan banyaknya pemimpin (penguasa negeri) yang memimpin dalam batasan
wilayah (negara) maka yang ada sekarang bukanlah jama’atul muslimin
melainkan jama’ah minal muslimin atau kelompok kaum muslim.
Bentuk
–bentuk kelompok kaum muslim (jama’ah minal muslimin) lainnya adalah
seperti jama’ah pergerakan, partai politik, organisasi kemasyarakatan
(ormas), lembaga atau organisasi kaum muslim lainnya.
Pada
saat ketiadaan jama’atul muslimin dan yang ada jama’ah minal muslim
maka ketaatan kepada para pakar fiqih atau para ulama yang menguasai
hukum-hukum Allah lebih tinggi kedudukannya dibandingkan ketaatan kepada
para umara atau penguasa negeri
Pada masa keruntuhan
kekhalifahan Turki Utsmani ditengarai kaum Yahudi atau yang kita kenal
sekarang dengan Zionis Yahudi ditengarai mempergunakan pola pemahaman
Ibnu Taimiyyah untuk meruntuhkan ukhuwah Islamiyah dari dalam.
Pola
pemahaman Ibnu Taimiyyah diangkat kembali oleh Muhammad bin Abdul
Wahhab dan pengikutnya menamakannya sebagai salafi (baca Wahabi).
Muhammad bin Abdul Wahhab adalah pengikut yang tidak pernah bertemu muka
yakni mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah bersandarkan mutholaah
(menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya
sendiri karena masa kehidupannya terpaut 350 tahun lebih.
Pada
jalur yang lain pola pemahaman Ibnu Taimiyyah diikuti oleh para ulama
seperti Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh yang berkecimpung dalam
pergerakan (harakah) atau perpolitikan sehingga melahirkan
salafi-salafi pergerakan seperti Al Qaeda
Al Qaeda seperti
Mujahidin Afghanistan yang dibentuk, dibiayai dan dilatih oleh Amerika
untuk dapat menghadapi Uni Soviet, mereka dibentuk atau diindoktrinisasi
dengan cara memahami Al Qur’an dan As Sunnah maupun perkataan ulama
salaf (terdahulu) bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara
otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri sehingga mereka
dapat mentaati Amerika dan terlatih untuk meninggalkan ulil amri
sebenarnya yakni para fuqaha atau para mufti di negaranya.
Pola
pemahaman Ibnu Taimiyyah yang diikuti oleh Muhammad bin Abdul Wahhab,
Jamaluddin Al-Afghani maupun Muhammad Abduh diberi label “pemurnian
Islam” ataupun “pembaruan Islam”
Dr Deliar Noer dalam
bukunya berjudul Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942
menyebutkan, Ibnu Sa’ud yang berhasil mengusir penguasa Makah
sebelumnya, yakni Syarif Husein pada tahun 1924, mulai melakukan
pembersihan dalam kebiasaan praktik beragama sesuai dengan ajaran
Muhammad bin Abdul Wahhab atau ajaran Wahabi. Tindakannya itu sebagian
mendapat sambutan baik di Indonesia, tetapi sebagian ditolak.
Ketika
ada undangan dari Ibnu Sa’ud pada kalangan Islam di Indonesia untuk
menghadiri kongres di Makah, langsung mendapat reaksi dengan dibicarakan
undangan tersebut di Kongres ke-4 Al-Islam di Yogyakarta (Agustus 1925)
serta Kongres Ke-5 di Bandung (Februari 1926).
Kedua
kongres itu didominasi golongan pembaru Islam yang membawa ajaran
pembaruan Islam dalam arti memahami Al Qur’an dan Hadits bersandarkan
mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran
sendiri
Pada kongres di Bandung, KH Abdul Wahab
Chasbullah atas nama ulama kalangan kaum tua mengusulkan mempertahankan
beragama istiqomah mengikuti Imam Mazhab yang empat sebagaimana yang
telah disampaikan oleh para pengikutnya berikut dengan
kebiasan-kebiasaan yang telah dilakukan oleh mereka. Kongres di Bandung
itu ternyata tidak menyambut baik usulan tersebut.
KH
Abdul Wahab Chasbullah selanjutnya mengambil inisiatif untuk mengadakan
rapat di kalangan ulama kaum tua, dimulai dari Surabaya, kemudian
Semarang, Pasuruan, Lasem, dan Pati. Mereka sepakat mendirikan suatu
panitia yang disebut ”Komite Merembuk Hijaz”.
Butir pertama permohonan yang diajukan oleh “komite merembuk hijaz” sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2013/10/komite-hijaz.pdf adalah
***** awal kutipan *****
Pertama,
memohon diberlakukan kemerdekaan bermazhab di negeri Hijaz pada salah
satu dari mazhab empat, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Atas
dasar kemerdekaan bermazhab tersebut hendaknya dilakukan giliran antara
imam-imam shalat Jum’at di Masjidil Haram dan hendaknya tidak dilarang
pula masuknya kitab-kitab yang berdasarkan mazhab tersebut di bidang
tasawuf, aqoid maupun fikih ke dalam negeri Hijaz, seperti karangan Imam
Ghazali, imam Sanusi dan lain-lainnya yang sudaha terkenal
kebenarannya. Hal tersebut tidak lain adalah semata-mata untuk
memperkuat hubungan dan persaudaraan umat Islam yang bermazhab sehingga
umat Islam menjadi sebagi tubuh yang satu, sebab umat Muhammad tidak
akan bersatu dalam kesesatan.
****** akhir kutipan****
Oleh
karena untuk mengirim utusan ini diperlukan adanya organisasi yang
formal, maka didirikanlah Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926, yang
secara formal mengirimkan delegasi ke Hijaz untuk menemui Raja Ibnu
Saud.
Dalam mengupayakan pertemuan dengan Raja Ibnu Sa’ud,
kedua utusan itu juga diminta hadir dengan perantaraan Belanda di
Jedah. Tetapi mereka tidak dapat berangkat karena terlambat memesan
tempat di kapal.
Sebagai gantinya, NU mengirimkan isi
keputusan rapat mereka kepada Raja Ibnu Sa’ud dengan tambahan
permintaan, agar isi keputusan itu dapat dimasukkan dalam undang-undang
Hijaz. Namun tidak ada jawaban atas permintaan itu.
Kemudian
pada 27 Maret 1928, NU mengumumkan Abdul Wahab dan Ahmad Ghanaim
al-Amir pergi ke Makah. Keduanya sampai di Tanah Suci pada 27 April
1928, dan 13 Juni 1928 mereka diterima Raja.
Keistiqomahan
ormas NU untuk mengikuti Imam Mazhab yang empat terlukis dalam lambang
ormas Nu, sebagaimana yang dikutip dari situs
http://al-islamjenangan.blogspot.com/2013/02/nahdlotul-ulama-rahmatan-lil-alamin.html
Dalam
penjelasannya tentang makna lambang NU, KH Ridwan menguraikan bahwa
tali ini melambangkan agama sesuai dengan firman Allah “Berpeganglah
kepada tali Allah, dan jangan bercerai berai.”
(Q.s. Ali Imran: 103).
Posisi tali yang melingkari bumi melambangkan ukhuwah (persatuan) kaum
muslimin seluruh dunia. Untaian tali berjumlah 99 melambangkan asmaul
husna. Bintang sembilan melambangkan Wali Sanga. Bintang besar yang
berada di tengah bagian atas melambangkan Nabi Muhammad Shallallahu
alaihi wasallam. Empat bintang kecil di samping kiri dan kanan
melambangkan Khulafa’ Ar-Rasyidin. Empat bintang kecil di bagian bawah
melambangkan madzahibul arba’ah (madzhab yang empat). Ahlussunnah wal
jamaah dalam bidang i’tiqod mengikuti imam Asy’ari. Dalam bidang akhlak
mengikuti ulama’-ulama’ tasawuf yang muktabaroh.
KH Ridwan
menambahkan bahwa ormas NU didirikan untuk mengikuti sunnah Rasulullah
sebagaimana yang disampaikan oleh Imam Thabari Ra yang mengatakan;
berkata kaum ulama’ bahwa jamaah adalah as-sawadul a’dzom (mayoritas
kaum muslimin). Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda
sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena
itu apabila terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham.”
Apa
yang dijelaskan oleh KH Ridwan dan sebagaimana butir pertama pemohonan
“komite rembuk hijaz” menjelaskan bahwa ormas NU didirikan dalam rangka
mengikuti sunnah Rasulullah untuk menghindari firqah-firqah yang
menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul
a’zham) yang disebut juga dengan khawarij. Khawarij adalah bentuk jamak
(plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar.
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak
menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan tangan Allah bersama jama’ah.
Barangsiapa yang menyelewengkan (menyempal), maka ia menyeleweng
(menyempal) ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).
Al-Hafidz
Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam
Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama),
bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan
bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat
terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas kaum
muslim).” (HR.Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i,
Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini
adalah hadits Shohih)
Mayoritas kaum muslim pada masa
generasi Salafush Sholeh adalah orang-orang mengikuti Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam yakni para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in
Sedangkan
pada masa sekarang mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) adalah
bagi siapa saja yang mengikuti para ulama yang sholeh yang mengikuti
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti Imam Mazhab yang
empat.
Perbedaan di antara Imam Mazhab yang empat
semata-mata dikarenakan terbentuk setelah adanya furu’ (cabang),
sementara furu’ tersebut ada disebabkan adanya sifat zanni dalam nash.
Oleh sebab itu, pada sisi zanni inilah kebenaran bisa menjadi banyak
(relatif), mutaghayirat disebabkan pengaruh bias dalil yang ada. Boleh
jadi nash yang digunakan sama, namun cara pengambilan kesimpulannya
berbeda.
Jadi perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab
yang empat tidak dapat dikatakan pendapat yang satu lebih kuat (arjah
atau tarjih) dari pendapat yang lainnya atau bahkan yang lebih ekstrim
mereka yang mengatakan pendapat yang satu yang benar dan yang lain
salah.
Perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat
yang dimaksud dengan “perbedaan adalah rahmat”. Sedangkan perbedaan
pendapat di antara bukan ahli istidlal adalah kesalahpahaman semata yang
dapat menyesatkan orang banyak.
Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/20/tetaplah-sebagai-ormas/ bahwa
Prof. Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA menyampaikan slogan “Muhammadiyah bukan
Dahlaniyah” artinya Muhammadiyah hanyalah sebuah organisasi
kemasyarakatan atau jama’ah minal muslimin bukan sebuah sekte atau
firqoh yang mengikuti pemahaman KH Ahmad Dahlan karena KH Ahmad Dahlan
sebagaimana mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham ) pada masa
sekarang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan
mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Prof.Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA menyampaikan pada
http://www.sangpencerah.com/2013/08/profdr-yunahar-ilyas-lc-ma-ini.html bahwa
Kyai Haji Ahmad Dahlan pada masa hidupnya mengikuti fiqh mahzab
Syafi’i, termasuk mengamalkan qunut dalam shalat subuh dan shalat
tarawih 23 rakaat. Namun, setelah berdiriya Majelis Tarjih, ormas
Muhammadiyah tidak lagi mengikuti apa yang telah diteladani oleh
pendirinya Kyai Haji Ahmad Dahlan
Jadi ketika sebuah
jama’ah minal muslimin atau sebuah kelompok kaum muslim atau sebuah
ormas menetapkan untuk mengikuti pemahaman seseorang atau pemahaman
sebuah majlis dari kelompok tersebut terhadap Al Qur’an dan As Sunnah
dan tidak berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak atau ahli istidlal
maka berubahlah menjadi sebuah sekte atau firqah.
Sedangkan
Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qoyyim Al Jauziah, Muhammad bin Abdul Wahhab,
Muhammad Abduh ataupun Albani maupun Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, mereka
bukanlah Imam Mujtahid Mutlak sehingga tidak patut untuk ditaklidi
(diikuti) oleh kaum muslim
Ulama yang sholeh terdahulu
kita dari kalangan Sunni Syafei yang ternama sampai Semenanjung Tanah
Melayu, Brunei Darussalam, Singapur sampai Pathani, negeri Siam atau
Thailand yakni KH. Sirajuddin Abbas (lahir 5 Mei 1905, wafat 23 Ramadhan
1401H atau 5 Agustus 1980) dalam buku berjudul I’tiqad Ahlussunah Wal
Jamaah yang diterbitkan oleh Pustaka Tarbiyah Baru, Jl Tebet Barat XA
No.28, Jakarta Selatan 12810 dalam cetakan ke 8, 2008 tercantum dua buah
sekte atau firqoh dalam Islam yakni firqoh berdasarkan pemahaman Ibnu
Taimiyyah dari halaman 296 sampai 351 dan firqoh berdasarkan pemahaman
Muhammad bin Abdul Wahhab dari halaman 352 sampai 380.
Sebagaimana tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/22/kabar-waktu-lampau/ bahwa
di dalam kitab “Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah” karya Hadratusy Syeikh
Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur
dan pendiri organisasi Nahdhatul Ulama) halaman 9-10 menasehatkan untuk
tidak mengikuti pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab , Ibnu Taimiyah, dan
kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Ibnu Abdil Hadi
Begitupula wasiat ulama dari Malaysia, Syaikh Abdullah Fahim sebagaimana contohnya yang termuat pada
http://hanifsalleh.blogspot.com/2009/11/wasiat-syeikh-abdullah-fahim.html
***** awal kutipan *****
Supaya
jangan berpecah belah oleh bangsa Melayu sendiri.Sekarang sudah ada
timbul di Malaya mazhab Khawarij yakni mazhab yang keluardari mazhab 4
mazhab Ahlis Sunnah wal Jama`ah. Maksud mereka itu hendak mengelirukan
faham awam yang sebati dan hendak merobohkan pakatan bangsa Melayuyang
jati. Dan menyalahkan kebanyakan bangsa Melayu.
Hukum-hukum
mereka itu diambil daripada kitab Hadyur-Rasulyang mukhtasar daripada
kitab Hadyul-’Ibad dikarang akan dia oleh Ibnul Qayyim al-Khariji, maka
Ibnul Qayyim dan segala kitabnya ditolak oleh ulama AhlisSunnah wal
Jama`ah.
***** akhir kutipan *****
Sebagaimana
wasiat di atas, para ulama memasukkan mazhab atau pemahaman Ibnu
Taimiyyah dan para pengikutnya yang bertemu langsung seperti Ibnu Qoyyim
Al Jauziyah maupun yang tidak bertemu langsung seperti Muhammad bin
Abdul Wahhab sebagai mazhab khawarij artinya mazhab yang menyempal
keluar (kharaja) dari mazhab Imam Mazhab yang empat.
Kalau
kita belajar dari pergolakkan politik di Mesir, pertumpahan darah
ditimbulkan karena penguasa negeri tidak lagi mentaati nasehat ulil amri
yang sebenarnya
Pemimpin yang terpilih menjadi penguasa
negeri maka dalam menjalankan roda pemerintahan seharusnya mentaati
nasehat ulil amri sebenarnya yakni para fuqaha yang faqih dalam memahami
Al Qur’an dan As Sunnah
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya” (QS An Nisaa [4]:59)
Bagaimanakah cara mentaati Allah dan RasulNya tanpa mentaati ulil amri?
Apakah
mentaati dengan mengikuti pemahaman sendiri terhadap Al Qur’an dan As
Sunnah atau mengikuti orang-orang yang “kembali kepada Al Qur’an dan As
Sunnah” dengan cara memahami Al Qur’an dan As Sunnah maupun perkataan
ulama terdahulu bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak
(shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri dan pemahamannya selalu
berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna
dzahir dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja ?
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an
dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia
telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?
Syaikh
Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil
ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa
berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada
distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka
menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai
orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi
yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang
mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para
ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam
riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan
semacam ini”
(Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Orang yang
berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan
menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa
menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi
kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya
sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Kalau dalam
berijtihad dan beristinbat atau menggali hukum dari Al Qur’an dan As
Sunnah tanpa ilmu maka akan sesat dan menyesatkan
Telah
menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwaisnberkata, telah
menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari
Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah
mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah
mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak
tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan
orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu,
mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98).
Lalu siapakah ulil amri yang harus ditaati oleh kaum muslim ?
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam adalah sosok ulama dan umara sekaligus.
Begitu juga para khulafaur Rasyidin seperti Sayyidina Abu Bakar,
Sayyidina Umar, Sayyidina Ustman dan Sayyidina Ali radhiyallahuanhum,
begitu juga beberapa khalifah dari bani Umayah dan bani Abbas.
Namun
dalam perkembangan sejarah Islam selanjutnya, sangat jarang kita
dapatkan seorang pemimpin negara yang benar-benar paham terhadap Islam.
Dari sini, mulailah terpisah antara ulama dan umara.
Ibnu
Abbas ra sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Thobari dalam tafsirnya
telah menyampaikan bahwa ulil amri yang ditaati adalah para pakar fiqih
atau para ulama yang menguasai hukum-hukum Allah.
Syarat
atau kompetensi yang harus dipenuhi sebagai seorang mufti adalah
sebagaimana yang disampaikan oleh KH. Muhammad Nuh Addawami
***** awal kutipan *****
Di
masa hidup Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menerima risalah
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut relatif mudah, tidak
sulit sesulit pada masa setelah wafatnya, apalagi setelah inqiradh para
Sahabatnya.
Di masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wasallam masih hidup di dunia, bagi yang ingin menerima risalahnya hanya
tinggal bertanya kepadanya dan mengikuti langsung apa-apa yang
dikatakan, dikerjakan dan direstuinya.
Sedangkan pada masa
setelah wafat beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam terutama setelah
inqiradh para Sahabatnya apalagi dalam masalah baru seiring dengan
perkembangan zaman, kesulitan menerima risalah itu amat terasa sulit
sekali, sehingga para penerimanya memerlukan kecermatan yang kuat dalam
memahami al-Quran dan as-Sunnah, berijtihad dan beristinbath yang akurat
menurut metoda yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya menurut
ukuran prinsip-prinsip risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
itu sendiri dengan logika yang benar, berbekal perbendaharaan ilmu yang
cukup jumlah dan jenisnya, berlandaskan mental (akhlaq) dan niat
semata-mata mencari kebenaran yang diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Hal
semacam itu diperlukan karena keadaan kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan kalam Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam itu adalah kalam yang
balaghah sesuai dengan muqtadhal hal dan muqtadhal maqam, keadaan
lafadz-lafadznya beraneka ragam, ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada
lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada
yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz
kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain
sebagainya.
Oleh karena itu bagi setiap sang penerima
risalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada masa setelah wafat
beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan setelah inqiradh para Sahabatnya
radhiallahu anhum memerlukan :
a. Mengetahui dan
menguasai bahasa arab sedalam-dalamnya, karena al-quran dan as-sunnah
diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam
dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi,
pengertiannya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Yang
perlu diketahui dan dikuasainya bukan hanya arti bahasa tetapi juga
ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu seumpama nahwu,
sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).
b. Mengetahui
dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin
menggali hukum secara baik dan benar dari al-Quran dan as-Sunnah padahal
tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang
beraneka ragam yang masing-masing mempengaruhi hukum-hukum yang
terkandung di dalamnya seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada
lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada
yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz
kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain
sebagainya.
c. Mengetahui dan menguasai dalil ‘aqli penyelaras dalil naqli terutama dalam masalah-masalah yaqiniyah qath’iyah.
d.
Mengetahui yang nasikh dan yang mansukh dan mengetahui asbab an-nuzul
dan asbab al-wurud, mengetahui yang mutawatir dan yang ahad, baik dalam
al-Quran maupun dalam as-Sunnah. Mengetahui yang sahih dan yang lainnya
dan mengetahui para rawi as-Sunnah.
e. Mengetahui ilmu-ilmu yang lainnya yang berhubungan dengan tata cara menggali hukum dari al-Quran dan as-Sunnah.
Bagi
yang tidak memiliki kemampuan, syarat dan sarana untuk menggali
hukum-hukum dari al-Quran dan as-Sunnah dalam masalah-masalah
ijtihadiyah padahal dia ingin menerima risalah Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam secara utuh dan kaffah, maka tidak ada jalan lain
kecuali taqlid kepada mujtahid yang dapat dipertanggungjawabkan
kemampuannya.
Diantara para mujtahid yang madzhabnya mudawwan adalah empat imam mujtahid, yaitu:
- Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit;
- Imam Malik bin Anas;
- Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i ; dan
- Imam Ahmad bin Hanbal.
Mengharamkan
taqlid dan mewajibkan ijtihad atau ittiba’ dalam arti mengikuti
pendapat orang disertai mengetahui dalil-dalilnya terhadap orang awam
(yang bukan ahli istidlal) adalah fatwa sesat dan menyesatkan yang akan
merusak sendi-sendi kehidupan di dunia ini.
Memajukan
dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan tidak memajukannya.
(lihat Hasyiyah ad-Dimyathi ‘ala syarh al- Waraqat hal 23 pada baris
ke-12).
Apabila si awam menerima fatwa orang yang
mengemukakan dalilnya maka dia sama saja dengan si awam yang menerima
fatwa orang yang tidak disertai dalil yang dikemukakan. Dalam artian
mereka sama-sama muqallid, sama-sama taqlid dan memerima pendapat orang
tanpa mengetahui dalilnya.
Yang disebut muttabi’ “bukan
muqallid” dalam istilah ushuliyyin adalah seorang ahli istidlal
(mujtahid) yang menerima pendapat orang lain karena dia selaku ahli
istidlal dengan segala kemampuannya mengetahui dalil pendapat orang itu.
Adapun
orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu fatwa dengan
mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal sang penerima itu
bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak termasuk
muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.
Pendek
kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam istilah ushuliyyin adalah
ijtihad seorang mujtahid mengikuti ijtihad mujtahid yang lain.
***** akhir kutipan *****
Oleh
karenanya setelah masa kehidupan Imam Madzhab yang empat, para mufti
yakni orang yang faqih untuk membuat fatwa selalu merujuk kepada salah
satu dari Imam Madzhab yang empat.
Kemurnian sanad ilmu
(sanad guru) seorang mufti tersambung kepada Imam Madzhab yang empat
perlu diperhatikan karena jangan sampai tercampur pemahaman-pemahaman
diluar mazhab yang empat, apalagi tercampur pemahaman non muslim yang
mempelajari Islam yang dapat bersifat ghazwul fikri (perang pemahaman)
Cara
untuk menelusuri kebenaran adalah melalui para ulama yang sholeh yang
memiliki sanad ilmu (sanad guru) tersambung kepada lisannya Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam karena kebenaran dari Allah ta’ala dan
disampaikan oleh RasulNya
Pada asalnya, istilah sanad atau
isnad hanya digunakan dalam bidang ilmu hadits (Mustolah Hadits) yang
merujuk kepada hubungan antara perawi dengan perawi sebelumnya pada
setiap tingkatan yang berakhir kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi
wasallam- pada matan haditsnya.
Namun, jika kita merujuk
kepada lafadz Sanad itu sendiri dari segi bahasa, maka penggunaannya
sangat luas. Dalam Lisan Al-Arab misalnya disebutkan: “Isnad dari sudut
bahasa terambil dari fi’il “asnada” (yaitu menyandarkan) seperti dalam
perkataan mereka: Saya sandarkan perkataan ini kepada si fulan. Artinya,
menyandarkan sandaran, yang mana ia diangkatkan kepada yang berkata.
Maka menyandarkan perkataan berarti mengangkatkan perkataan
(mengembalikan perkataan kepada orang yang berkata dengan perkataan
tersebut)“.
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian
dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata
siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya (dengan akal
pikirannya sendiri).” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah
kitab Shahihnya 1/47 no:32)
Tanda atau ciri seorang ulama
tidak terputus sanad guru (sanad ilmu) adalah pemahaman atau pendapat
ulama tersebut tidak menyelisihi pendapat gurunya dan guru-gurunya
terdahulu hingga tersambung kepada Rasulullah serta berakhlak baik
Asy-Syeikh
as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud dari
pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk
meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil
sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga
meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya
dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaan
al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan
pengamalan“
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Imam
Malik ~rahimahullah berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau
pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat)
pendidikannya (sanad ilmu) dan dari orang yang mendustakan perkataan
manusia (ulama) meskipun dia tidak mendustakan perkataan (hadits)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam”
Al-Hafidh Imam
Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah
bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Al-Imam
Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ;
“Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak
ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Jadi
fitnah tanduk syaitan adalah fitnah dari orang-orang yang menjadikan
gurunya syaitan karena memahami Al Qur’an dan Hadits bersandarkan
mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal
pikirannya sendiri sebagimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada
http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/07/fitnah-tanduk-syaitan/
Ilmu
agama adalah ilmu yang diwariskan dari ulama-ulama terdahulu secara
turun temurun yang tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan
ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak
apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka
bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)
Hadits tersebut bukanlah menyuruh kita menyampaikan apa yang kita baca dan pahami sendiri dari kitab atau buku
Hakikat
makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaikan satu ayat
yang diperoleh dan didengar dari para ulama yang sholeh yang disampaikan
secara turun temurun yang bersumber dari lisannya Sayyidina Muhammad
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Oleh karenanya ulama dikatakan sebagai pewaris Nabi.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Ulama adalah pewaris para nabi” (HR At-Tirmidzi).
Dalam memahami kalimat “pewaris para Nabi” kita pahami dahulu arti kata mewarisi
Dalam kamus besar bahasa Indonesia atau contoh penjelasan pada
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/petunjuk_praktis/185 pengertian mewarisi adalah:
1. memperoleh warisan atau
2. memperoleh sesuatu yang ditinggalkan
Jadi
ulama pewaris Nabi artinya menerima dari ulama-ulama yang sholeh
sebelumnya secara turun-temurun tersambung kepada lisannya Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam.
Pada hakikatnya Al Qur’an dan
Hadits disampaikan tidak dalam bentuk tulisan namun disampaikan melalui
lisan ke lisan para ulama yang sholeh dengan imla atau secara hafalan.
Dalam
khazanah Islam, metode hafalan merupakan bagian integral dalam proses
menuntut ilmu. Ia sudah dikenal dan dipraktekkan sejak zaman baginda
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Setiap menerima wahyu, beliau
langsung menyampaikan dan memerintahkan para sahabat untuk
menghafalkannya. Sebelum memerintahkan untuk dihafal, terlebih dahulu
beliau menafsirkan dan menjelaskan kandungan dari setiap ayat yang baru
diwahyukan.
Jika kita telusuri lebih jauh, perintah
baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk menghafalkan
Al-Qur’an bukan hanya karena kemuliaan, keagungan dan kedalaman
kandungannya, tapi juga untuk menjaga otentisitas Al-Qur’an itu sendiri.
Makanya hingga kini, walaupun sudah berusia sekitar 1400 tahun lebih,
Al-Qur’an tetap terjaga orisinalitasnya.
Kaitan antara
hafalan dan otentisitas Al-Qur’an ini tampak dari kenyataan bahwa pada
prinsipnya, Al-Qur’an bukanlah “tulisan” (rasm), tetapi “bacaan”
(qira’ah). Artinya, ia adalah ucapan dan sebutan. Proses
turun-(pewahyuan)-nya maupun penyampaian, pengajaran dan
periwayatan-(transmisi)-nya, semuanya dilakukan secara lisan dan
hafalan, bukan tulisan. Karena itu, dari dahulu yang dimaksud dengan
“membaca” Al-Qur’an adalah membaca dari ingatan (qara’a ‘an zhahri
qalbin).
Dengan demikian, sumber semua tulisan itu sendiri
adalah hafalan, atau apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan
sang qari’. Sedangkan fungsi tulisan atau bentuk kitab sebagai penunjang
semata.
Oleh karenanya dikatakan sami’na wa ato’na (kami dengar dan kami taat) bukan kami baca dan kami taat
Contohnya
saat ini mufti agung Mesir adalah Prof. Dr. Syauqi Ibrahim Abdul Karim
‘Allam. Salah satu syarat sebagai mufti Agung Mesir adalah lulusan Ph.D.
Al-Azhar -tulen Al-Azhar dari sekolah dasar hingga strata tiga-,
berpegang teguh kepada metode Al-Azhar.
Sanad talaqqi
dalam aqidah dan mazhab fikih yang sampai saat ini dilestarikan salah
satunya oleh ulama dan universitas Al-Azhar Asy-Syarif. Hal inilah yang
mengapa Al-Azhar menjadi sumber ilmu keislaman selama berabad-abad.
Karena manhaj yang di gunakan adalah manhaj shahih talaqqi (mengaji
dengan ulama) yang memiliki sanad yang jelas dan sangat sistematis.
Sehingga sarjana yang menetas dari Al-azhar adalah tidak hanya ahli
akademis semata tapi juga alim serta selalu terjaga kemutawatiran sanad,
kemurnian agama dan akidahnya.
Prof. Dr. Syauqi Ibrahim
bermazhab Maliki namun beliau menguasai ke empat Mazhab terlebih sejak
Januari 2012 sampai sekarang beliau telah diberi amanah sebagai Kepala
Jurusan (Kajur) bidang Fikih di Universitas Al Azhar, Thanta.
Pihak
yang dapat mengeluarkan fatwa sebuah peperangan adalah jihad
(mujahidin) atau jahat (teroris) hanyalah ulil amri setempat yakni para
fuqaha setempat karena ulama di luar negara (di luar jama’ah minal
muslimin) tidak terbebas dari fitnah
Ketaatan umat Islam
kepada ulil amri setempat yakni para fuqaha (mufti) yang dipimpin oleh
mufti agung lebih didahulukan dari pada ketaatan kepada pemimpin ormas
maupun penguasa negeri dalam rangka menyunjung persatuan dan kesatuan
kaum muslim sesuai semangat piagam Madinah yang memuat keharusan
mentaati Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam yang ketika itu
sebagai ulil amri dalam jama’atul muslimin
***** awal kutipan *****
Pasal 1
Sesungguhnya mereka satu bangsa negara (ummat), bebas dari (pengaruh dan kekuasaan) manusia.
Pasal 17
Perdamaian dari orang-orang beriman adalah satu
Tidak
diperkenankan segolongan orang-orang yang beriman membuat perjanjian
tanpa ikut sertanya segolongan lainnya di dalam suatu peperangan di
jalan Tuhan, kecuali atas dasar persamaan dan adil di antara mereka
Pasal 36 ayat 1
Tidak seorang pun diperbolehkan bertindak keluar, tanpa ijinnya Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
***** akhir kutipan *****
Selengkapnya piagam Madinah pada
http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2014/03/piagam-madinah.pdf
Kita
dapat memetik pelajaran dari provinsi Hadramaut dalam menghadapi krisis
di Yaman. Provinsi Hadramaut merupakan provinsi terbesar di Yaman yang
menjadi penentu bagi stabilitas ekonomi di mana tujuh puluh persen
devisa negara dihasilkan dari sumber daya alam Hadhramaut yang kaya
minyak dan laut yang luas. Salah satu solusinya adalah membentuk Dewan
Nasional di bawah pimpinan Profesor al-Habib Abdullah Baharun, Rektor
universitas al-Ahgaff dan mengeluarkan Deklarasi Hadhramaut dan salah
satu hal yang utama adalah menyunjung persatuan dan kesatuan.
Begitupula
kita dapat mengambil pelajaran dari kerajaan Islam Brunei Darussalam
berideologi Melayu Islam Beraja (MIB) dengan penerapan nilai-nilai
ajaran Agama Islam dirujuk kepada golongan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang
dipelopori oleh Imam Al Asyari dan mengikut Mazhab Imam Syafei. Sultan
Brunei disamping sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan merangkap
sebagai perdana menteri dan menteri pertahanan dengan dibantu oleh
dewan penasihat kesultanan dan beberapa menteri, juga bertindak sebagai
pemimpin tertinggi Agama Islam dimana dalam menentukan keputusan atas
sesuatu masalah dibantu oleh Mufti Kerajaan.
Negara
kitapun ketika awal berdirinya memiliki lembaga tinggi negara yang
bernama “Dewan Pertimbangan Agung” yang berunsurkan ulama yang sholeh
yang dapat memberikan pertimbangan dan usulan kepada pemerintah dalam
menyelenggarakan pemerintahan agar tidak bertentangan dengan Al Qur’an
dan As Sunnah.
Salah satu contoh ulama yang menjadi
anggota “Dewan Pertimbangan Agung” adalah Syaikh Muhammad Jamil Jambek
ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatera Barat awal abad ke-20 yang
pernah berguru dengan Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi yang merupakan
ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar
di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19
dan awal abad ke-20.
Namun dalam perjalanannya Dewan
Pertimbangan Agung perannya dalam roda pemerintahan di negara kita
“dikecilkan”. Bahkan pada zaman era Surharto, singkatan DPA mempunyai
arti sebagai “Dewan Pensiun Agung” karena keanggotaanya terdiri dari
pensiunan-pensiunan pejabat. Sehingga pada era Reformasi , Dewan
Pertimbangan Agung dibubarkan dengan alasan sebagai lembaga yang tidak
effisien.
Jadi cara mengawal syariat Islam dalam sistem
pemerintahan di negara kita dengan cara mengembalikan wewenang para ahli
fiqih untuk menasehati dan membimbing penguasa negeri sehingga dalam
menjalankan roda pemerintahan tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan As
Sunnah sehingga tidak ada keraguan lagi bagi kaum muslim untuk mentaati
penguasa negeri.
Kewajiban kaum muslim untuk memilih pemimpin atau penguasa negeri.
Rasulullah
bersabda : “Tidak boleh bagi tiga orang berada dimanapun di bumi ini,
tanpa mengambil salah seorang diantara mereka sebagai amir (pemimpin) ”
Diriwayatkan
dari Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda: “Barangsiapa memilih seseorang
menjadi pemimpin untuk suatu kelompok, yang di kelompok itu ada orang
yang lebih diridhai Allah dari pada orang tersebut, maka ia telah
berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.” (HR.
Hakim)
Pada hakikatnya partai politik berbasis muamalah yang sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah
Kalau
bermunculan banyak partai politik berbasis agama Islam maka
kecenderungannya adalah akan menjelma menjadi firqah-firqah dalam Islam
Pegangan kaum muslim adalah sama Al Qur’an dan As Sunnah yang berbeda adalah pemahaman terhadap Al Qur’an dan As Sunnah
Jadi
kalau ada partai berbasis agama Islam maka seharusnyalah hanya satu
yang muncul yang merupakan hasil musyawarah dan mufakat kaum muslim
untuk berhadapan dengan partai berbasis yang lain.
Begitupula
para ulama para kita terdahulu yang sholeh yang mengikuti Rasulullah
dengan mengiuti Imam Mazhab yang empat telah turut membidani kelahiran
demokrasi Pancasila.
Demokrasi Pancasila adalah demokrasi
berdasarkan ketuhanan, kemanusiaan, persatuan dan berdasarkan kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan dalam upaya mencapai keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Hal yang dimaksud oleh
ulama-ulama kita dahulu yang ikut mendirikan negara kita dalam
menetapkan sila ke 4 dari Pancasila yakni “Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan” adalah
memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang berkompeten dan
dipercayai untuk melaksanakan musyawarah untuk suatu mufakat.
Namun
dalam perkembangannya di negara kita, orang-orang kemudian merubahnya
menjadi demokrasi sebebas-bebasnya, tidak ada bedanya antara pemilih
yang jahat dengan pemilih yang baik, (semua satu suara) dalam menetapkan
Presiden dan Wakil presiden, Kepala Pemerintahan Daerah seperti
Gubernur dan Bupati.
Cara bermusyawarah dan mufakat sistem
perwakilan yang berkompetensi dan terpercaya atau ahlu a-halli wa
al-‘aqdi telah dicontohkan oleh para Khulafaur Rasyidin dalam menetapkan
khalifah pertama setelah wafatnya Sayyidina Muhammad shallallahu alaihi
wasallam.
Setelah Nabi wafat, berkumpullah orang
Muhajirin dan Anshar di Madinah, guna bermusyawarah siapa yang akan
dibaiat (diakui) jadi Khalifah. Orang Anshar menghendaki agar Khalifah
itu dipilih dari golongan mereka, mereka mengajukan Sa’ad bin Ubadah.
Kehendak orang Anshar ini tidak disetujui oleh orang Muhajirin. Maka
terjadilah perdebatan diantara keduanya, dan hampir terjadi fitnah
diantara keduanya.
Sayyidina Abu Bakar ra segera berdiri
dan berpidato menyatakan dengan alasan yang kuat dan tepat, bahwa soal
Khalifah itu adalah hak bagi kaum Quraisy, bahwa kaum Muhajirin telah
lebih dahulu masuk Islam, mereka lebih lama bersama bersama Rasulullah,
dalam Al-Qur’an selalu didahulukan Muhajirin kemudian Anshar.
Khutbah
Abu Bakar ini dikenal dengan Khutbah Hari Tsaqifah, setelah khutbah ini
ummat Islam serta merta membai’at Abu Bakar, didahului oleh Umar bin
Khattab, kemudian diikuti oleh para sahabat yang lain.
Adapun
Abu Bakar Siddiq adalah sahabat nabi yang tertua yang amat luas
pengalamannya dan amat besar ghirahnya kepada agama Islam. Dia adalah
seorang bangsawan Quraisy, berkedudukan tinggi dalam kaumnya, hartawan
dan dermawan. Jabatannya dikala Nabi masih hidup, selain dari seorang
saudagar yang kaya, diapun seorang ahli nasab Arab dan ahli hukum yang
jujur. Dialah yang menemani Nabi ketika hijrah dari Makkah ke Madinah.
Dia telah merasakan pahit getirnya hidup bersama Rasulullah sampai
kepada hari wafat beliau. Dialah yang diserahi nabi menjadi imam
sembahyang ketika beliau sakit. Oleh karena itu, ummat Islam memandang
dia lebih berhak dan utama menjadi Khalifah dari yang lainnya.
Jelaslah
apa yang telah dicontohkan bahwa pemilihan berdasarkan permusyawaratan
dan diwakili oleh orang-orang berkompeten untuk memilih atau dikenal
sebagai Ahlul Halli wal Aqdi
Penguasa negeri yang layak dipilih adalah penguasa negeri yang tidak mengemis kepada Zionis Yahudi Amerika maupun sekutunya
Penguasa
negeri yang mampu melepaskan ketergantungan kepada negara-negara maju
dengan mengupayakan kemandirian rakyatnya menjemput rezeki dengan cara
sebagai produsen, seperti petani, nelayan, peternak, pedagang dari hasil
produksi bangsa sendiri, pabrikan yang memberikan nilai tambah produk
bangsa sendiri, sesuai dengan firman Allah Ta’ala yang artinya,
“Allah-lah
yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari
langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai
buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera
bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan
Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai.”. (QS Ibrahim
[14]:32).
Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu
sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber)
penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur. (QS Al A’raf [7:10)
Firman Allah ta’ala yang artinya
“Tidakkah
kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai
Allah sebagai teman? Orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan
(pula) dari golongan mereka. Dan mereka bersumpah untuk menguatkan
kebohongan, sedang mereka mengetahui“. (QS Al Mujaadilah [58]:14 )
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman
kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak
henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa
yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa
yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh
telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya” ,
(QS Ali Imran, 118)
“Beginilah kamu, kamu menyukai
mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada
kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata
“Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung
jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada
mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah
mengetahui segala isi hati“. (QS Ali Imran, 119)
Pada
firman Allah Ta’ala di atas telah jelas bahwa menjadikan orang-orang
yang dimurkaiNya sebagai “teman kepercayaan”, penasehat atau pemimpin
tidak henti-hentinya akan mendatangkan kemudharatan bagi kaum muslim.
Contohnya,
pada kenyataannya kerajaan dinasti Saudi adalah sekutu dari Zionis
Yahudi Amerika, sedangkan Zionis Yahudi Amerika merupakan pendukung
utama dari Zionis Yahudi Israel.
Selama penguasa negeri
yang mengaku muslim masih menjadikan Zionis Yahudi Amerika dan sekutunya
sebagai “teman kepercayaan” atau penasehat atau bahkan pemimpin maka
akan terus mendatangkan kemudharatan bagi kaum muslim
Dari
Ibnu Umar Ra. ia berkata: “Pada satu ketika dibawa ke hadapan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sepotong emas. Emas itu adalah
emas zakat yang pertama sekali dibawa oleh Bani Sulaim dari pertambangan
mereka. Maka sahabat berkata: “Hai Rasulullah! Emas ini adalah hasil
dari tambang kita”. Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab,
“Nanti kamu akan dapati banyak tambang-tambang, dan yang akan
menguasainya adalah orang-orang jahat“. (HR. Baihaqi).
Pertambangan
akan dikuasai orang-orang jahat baik secara langsung ataupun dikuasai
kaum muslim namun “diserahkan” kepada orang-orang yang dimurkai oleh
Allah Azza wa Jalla
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda yang artinya “Barang siapa menahan (menutup) anggur pada
hari-hari pemetikan, hingga ia menjualnya kepada orang Yahudi, Nasrani,
atau orang yang akan membuatnya menjadi khamr, maka sungguh ia akan
masuk neraka” (At Thabraniy dalam Al Ausath dan dishahihkan oleh Al
Hafidz Ibnu Hajar Al Asqolaniy).
Sedangkan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al Baihaqiy ada tambahan “orang yang diketahui akan membuatnya menjadi khamr”
Berdasarkan
hadits ini, As Syaukani menyatakan haramnya menjual perasan anggur
kepada orang yang akan membuatnya menjadi khamr ( Nailul Authar V hal
234). Kesimpulan tersebut dapat diterima, karena memang dalam hadits
tersebut terdapat ancaman neraka sebagai sanksi bagi orang yang
mengerjakan. As Syaukani tidak hanya membatasi jual beli anggur yang
akan dijadikan sebagai khamr, tetapi juga mengharamkan setiap jual-beli
yang membantu terjadinya kemaksiatan yang dikiaskan pada hadits tersebut
Telah jelas keharaman jual-beli yang membantu terjadinya kemaksiatan.
Firman
Allah ta’ala yang artinya “….dan tolong menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebaikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran/permusuhan. Bertakwalah kepada Allah,
sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya.”
(QS Al Ma’idah [5]:2)
Tentu
perdagangan dengan non muslim tidaklah terlarang. Firman Allah ta’ala
yang artinya, “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku
adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak
(pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil.” (
QS. Al-Mumtahanah : 8 )
Namun
pada kenyataannya kekayaan alam yang dikaruniakan Allah Subhanahu wa
Ta’ala pada negeri-negeri kaum muslim berada, telah dapat kita lihat
“diserahkan” oleh para penguasa negeri yang bersekutu dengan orang-orang
yang dimurkai oleh Allah Azza wa Jalla sehingga secara tidak langsung
mereka memberikan kekuatan finansial bagi orang-orang yang dimurkaiNya
yang dipergunakan membeli peluru guna membunuh kaum muslim diberbagai
belahan negara.
Kalau ingin mengganti penguasa negeri yang
kita ingkari maka hindarilah pemberontakan yang akan menimbulkan
kerusakan di muka bumi
Firman Allah ta’ala yanga artinya
“Dan bila dikatakan kepada mereka:”Janganlah kamu membuat kerusakan di
muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang
mengadakan perbaikan.”
(QS Al Baqarah [2]:11)
Dari Ummu
Salamah radliallahu ‘anha berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, “akan terjadi sesudahku para penguasa yang kalian
mengenalinya dan kalian mengingkarinya. Barangsiapa yang mengingkarinya
maka sungguh ia telah berlepas diri. Akan tetapi siapa saja yang ridha
dan terus mengikutinya (dialah yang berdosa, pent.).” Maka para sahabat
berkata : “Apakah tidak kita perangi saja mereka dengan pedang?” Beliau
menjawab : “Jangan, selama mereka menegakkan shalat bersama kalian.”
(HR. Muslim dalam Shahih-nya).
An-Nawawi rahimahullah
mengatakan, “Di dalam hadits ini terkandung dalil yang menunjukkan bahwa
orang yang tidak mampu melenyapkan kemungkaran tidak berdosa
semata-mata karena dia tinggal diam, akan tetapi yang berdosa adalah
apabila dia meridhai kemungkaran itu atau tidak membencinya dengan
hatinya, atau dia justru mengikuti kemungkarannya.”
(Syarh Muslim
[6/485])
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda
“Barang siapa melihat kemungkaran, maka hendaknya ia merubah dengan
tangannya, jika tidak mampu, maka hendaknya merubah dengan lisannya,
jika tidak mampu, maka dengan hatinya. Dan yang demikian itulah
selemah-lemahnya iman”. (HR. Muslim)
Jadi boleh jadi
kemudharatan yang menerpa kaum muslim di berbagai belahan dunia dapat
diakibatkan oleh para pemimpin atau penguasa negeri yang bersekutu
dengan orang-orang yang dimurkai oleh Allah Azza wa Jalla dan para
ulamanya tidak membencinya dengan hatinya atau malah justru mereka
mengikuti atau meridhai kemungkarannya.
Wassalam