Saudara Muslimin muslimat ,sebelum membaca artikel ini ,ana nasihatkan
penuhkan syariat yang kukuh supaya kita tetap mantab dan kuat iman
kita,dan artikel ini hanya sekedar untuk kita agar tidak mudah di
pesongkan dan di alihkan aqidah kita.maka teranglah bagi kita bahwasanya
pembagian agama ini menjadi tingkatan Syari’at, Ma’rifat dan Hakikat
tidaklah dikenal oleh para ulama baik di kalangan sahabat, tabi’in
maupun tabi’ut tabi’in; generasi terbaik ummat ini.
Pembagian yang syar’i adalah sebagaimana disampaikan oleh Nabi yaitu
islam, iman dan ihsan dengan penjelasan sebagaimana di atas. Maka ini
menunjukkan pula kepada kita alangkah berbahayanya pemahaman sufi
semacam itu. Lalu bagaimana mungkin mereka bisa mencapai keridhoan Alloh
Ta’ala kalau cara beribadah yang mereka tempuh justeru menyimpang dari
petunjuk Rosululloh ? Alangkah benar Nabi yang telah bersabda,
“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari
kami maka amalan itu tertolak.” (HR. Muslim).
Barangsiapa yang ingin mencapai derajat muhsin maka dia pun harus muslim
dan mu’min. Tidak sebagaimana anggapan tarekat sufiyah yang membolehkan
orang yang telah mencapai Ma’rifat untuk meninggalkan syari’at.
Mari kita mengamati sedikit tentang kata-kata dan sejarah Syekh Siti
Jenar yang (juga dikenal dalam banyak nama lain, antara lain Sitibrit,
Lemahbang, dan Lemah Abang) adalah seorang tokoh yang dianggap sebagai
sufi dan salah seorang penyebar agama Islam di Pulau Jawa.Tidak ada yang
mengetahui secara pasti asal-usulnya.
Di masyarakat, terdapat banyak variasi cerita mengenai asal-usul Syekh
Siti Jenar. Sebagian umat Islam menganggapnya sesat karena ajarannya
yang terkenal, yaitu Manunggaling Kawula Gusti. Akan tetapi, sebagian
yang lain menganggap bahwa Syekh Siti Jenar adalah seorang intelektual
yang telah memperoleh esensi Islam itu sendiri. Ajaran-ajarannya
tertuang dalam karya sastra buatannya yang disebut pupuh. Ajaran yang
sangat mulia dari Syekh Siti Jenar adalah budi pekerti. Syekh Siti Jenar
mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang dinilai bertentangan dengan
ajaran Walisongo. Pertentangan praktik sufi Syekh Siti Jenar dengan
Walisongo terletak pada penekanan aspek formal ketentuan syariah yang
dilakukan oleh Walisongo.
Syekh Siti Jenar juga berpendapat bahwa Allah itu ada dalam dirinya,
yaitu di dalam budi. Pemahaman inilah yang dipropagandakan oleh para
ulama pada masa itu, mirip dengan konsep Al-Hallaj (tokoh sufi Islam
yang dihukum mati pada awal sejarah perkembangan Islam, kira-kira pada
abad ke-9 Masehi) tentang hulul yang berkaitan dengan kesamaan sifat
Tuhan dan manusia. Dimana seharusnya pemahaman ketauhidan melewati empat
tahap, yaitu:
- Syariat, dengan menjalankan hukum-hukum agama seperti salat, zakat, dan lain-lain,
- Tarekat, dengan melakukan amalan-amalan seperti wirid, zikir dalam waktu dan hitungan tertentu,
- Hakekat, di mana hakikat dari manusia dan kesejatian hidup akan ditemukan, dan
- Makrifat, kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-luasnya.
Syekh Siti Jenar juga mengajarkan agar seseorang dapat lebih
mengutamakan prinsip ikhlas dalam menjalankan ibadah. Orang yang
beribadah dengan mengharapkan surga atau pahala berarti belum bisa
disebut ikhlas.
Manunggaling Kawula Gusti
Dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar
tidak pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Arti dari Manunggaling
Kawula Gusti dianggap bukan bercampurnya Tuhan dengan makhluk-Nya,
melainkan bahwa Sang Pencipta adalah tempat kembali semua makhluk dan
dengan kembali kepada Tuhannya, manusia telah bersatu dengan Tuhannya.
Dalam ajarannya pula, Manunggaling Kawula Gusti bermakna bahwa di dalam
diri manusia terdapat roh yang berasal dari roh Tuhan sesuai dengan ayat
Al-Quran yang menerangkan tentang penciptaan manusia:
“ Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan
menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah Kusempurnakan
kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh-Ku, maka hendaklah kamu
tersungkur dengan bersujud kepadanya." Q.S. Shaad: 71-72 ”
Dengan demikian ruh manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan dikala
penyembahan terhadap Tuhan terjadi. Perbedaan penafsiran ayat Al-Qur’an
dari para murid Syekh Siti inilah yang menimbulkan polemik bahwa di
dalam tubuh manusia bersemayam ruh Tuhan, yaitu polemik paham
Manunggaling Kawula Gusti.
Menurut R.Ng. Ranggawarsita (1802-1873) : Pokok keilmuan Syekh Siti
Jenar disebut sebagai “Ngelmu Ma’rifat Kasampurnaning Ngurip” (ilmu
ma’rifat kesempurnaan hidup [the science of ma’rifat to attain
perfection of life]). Ranggawarsita menyebutkan basis ilmiah ajaran
tersebut adalah renungan filsafat yg bentuk aplikasinya adalah
metafisika dan etika.
Ajaran metafisika meliputi ontologi, kosmogoni dan antropologi. Ontologi
berbicara tentang Ada dan tidak ada. Dalam hal ini, Syekh Siti Jenar
merumuskan tentang the Reality of the Absolute being (hakikat Dzat Yang
Maha Suci) yg memiliki sifat, nama dan perbuatan “Kami”. Dari “Kami”
inilah kemudian muncul “ada” dan “keadaan” lain, yg sifat hakikinya
adalah “Tunggal”.
Manusia yg dalam hidupnya di alam kematian dunia ini disebut sebagai
khalifatullah (wakil Allah=pecahan ketunggalan Allah), dan kemudian ia
harus berwadah dalam bentuk jisim (jasmani) ia harus menyandang gelar
“kawula”, sebab jasad harus melakukan aktivitas untuk memelihara
jasadnya dari kerusakan dan untuk menunda kematian yg disebut
:”ngibadah” kepada yg menyediakan raga (Gusti). Maka kawula hanya
memiliki satu tempat kembali, yakni Allah, sebagai asalnya. Maka manusia
tidak boleh terjebak dalam wadah yg hanya berfungsi sementara sebagai
“wadah” Roh Ilahi. Justru Roh Ilahi inilah yg harus dijaga guna menuju
ketunggalan kembali (Manunggaling Kawula Gusti).
Ajaran ini banyak ditentang karena Tuhan dan manusia adalah hal yang
berbeda. Tuhan yang mencipta sedangkan manusia yang diciptakan. Jadi
antara yang menciptakan dan yang diciptakan tidak bisa bersatu.
Kalo logikanya orang awam : manusia menciptakan mobil ya brarti mobil
dan manusia memang berbeda. Manusia mengambil bahan baku untuk membuat
mobil diluar dirinya. nah kalau Tuhan menciptakan manusia. Apakah ia
juga mengambil bahan baku diluar diri-Nya?
Ada beberapa martir sufi yang mengakui ajaran ini misalnya syeh siti
jenar dgn slogannya “Tiada Tuhan Melainkan Aku”. Atau Al Hallaj yang
mengatakan “Ana Al Haqq”. Bahkan ada hadist nabi yang menceritakan bahwa
nabi Muhammad sendiri pernah mengatakan “Ana Ahmad bi la mim” (Ahad)
artinya ya Nabi seakan-akan bilang dirinya Tuhan. istilah2 tersebut
jelas menandakan bahwa Tuhan ada di dalam diri mereka. Bahkan di Quran
pun dikatakan bahwa Allah itu lebih dekat daripada urat leher kita.
Bagi mereka yang mampu melakukan zikir hingga mencapai tahan “fana” maka
biasanya ia akan mengalami “mahzub”. Namun mahzub tidak mesti dalam
keadaan fana. Mahzub bisa terjadi dalam keadaan sadar. Manusia yang
mengalami mahzub biasanya akan mengatakan “Subhani” (Maha Suci Aku) dan
istilah2 lain yang “meniadakan” dirinya sendiri sehingga memunculkan
Tuhan dalam dirinya.
Ajaran
Manunggaling Kawula Gusti mengajarkan bahwa ada 3 unsur yang menyatu yaitu :
1. Sukma Kawekas (Nur Illahi)
2. Sukma Sejati (Nur Muhammad)
3. Nur Insan
Sasahidan Syekh Siti Jenar…
“Insun anakseni ing Datingsun dhewe, satuhune ora ana Pangeran amung
Ingsun, lan nakseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan Ingsun, iya
sajatine kang aran Allah iku badan Ingsun, Rasul iku rahsaning-Sun,
Muhammad iku cahyaning-Sun, iya Ingsun kang eling tan kena ing lali, iya
Ingsun kan langgeng ora kena owah gingsir ing kahanan jati, iya Ingsun
kang waskitha ora kasamaran ing sawiji-wiji, iya Ingsun kang amurba
amisesa, kang kawasa wicaksana ora kukurangan ing pangerti, byar..
sampurna padhang terawang-an, ora karasa apa-apa, ora ana keton apa-apa,
mung Insun kang nglimputi ing ngalam kabeh, kalawan kodrating-Sun.”
Artinya :
“Aku angkat saksi di hadapan Dzat-Ku sendiri, sesungguhnya tidak ada
Tuhan kecuali Aku, dan Aku angkat saksi sesungguhnya Muhammad itu
utusan-Ku, sesungguhnya yg disebut Allah Ingsun diri sendiri (badan-Ku),
Rasul itu Rahsa-Ku, Muhammad itu cahaya-Ku, Akulah Dzat yg hidup tidak
akan terkena mati, Akulah Dzat yang selalu ingat tidak pernah lupa,
Akulah Dzat yg kekal tidak ada perubahan dalam segala keadaan, (bagi-Ku)
tidak ada yg samar sesuatupun, Akulah Dzat yang Maha Menguasai, yang
Kuasa dan Bijaksana, tidak kekurangan dalam pengertian, sempurna terang
benerang, tidak terasa apa-apa, tidak kelihatan apa-apa, hanya Aku yg
meliputi sekalian alam dengan kodrat-Ku.”
Ajaran- ajaran Syekh Siti Jenar yang bisa dilacak dalam berbagai karya klasik atau buku lama…yaitu..
- Serat Dewaroetji, Tan Khoen Swie, Kediri, 1928.
- Serat Gatolotjo, Tan Khoen Swie, Kediri, 1931.
- Serat Kebo Kenanga, Tan Khoen Swie, Kediri, 1921.
- Serat Soeloek Walisongo, Tan Khoen Swie, Kediri, 1931.
- Serat Tjebolek, terbitan van Dorp, Semarang, 1886.
- Serat Tjentini, terbitan Bat. Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, 4 Jl, Batavia, 1912-1915.
- Kitab Wedha Mantra, bunga rampai ajaran para wali yang dihimpun oleh
Sang Indrajit, diterbitkan oleh Sadu Budi Solo. PAda tahun 1979 sudah
mengalami cetak ulang yg ke-12.
- Suluk Walisanga, karya R. Tanojo yg di dalamnya memuat dialog-dialog
antara Syekh Siti Jenar dengan Anggota Dewan Walisanga, gubahan dari
karya Sunan Giri II.
- Wejangan Walisanga, dihimpun oleh Wiryapanitra, diterbitkan oleh TB. Sadu Budi Solo, sekitar tahun 1969.
Mengenal Nama Syekh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar (829-923 H/1348-1439 C/1426-1517 M), memiliki banyak
nama : San Ali (nama kecil pemberian orangtua angkatnya, bukan Hasan Ali
Anshar seperti banyak ditulis orang); Syekh ‘Abdul Jalil (nama yg
diperoleh di Malaka, setelah menjadi ulama penyebar Islam di sana);
Syekh Jabaranta (nama yg dikenal di Palembang, Sumatera dan daratan
Malaka); Prabu Satmata (Gusti yg nampak oleh mata; nama yg muncul dari
keadaan kasyf atau mabuk spiritual; juga nama yang diperkenalkan kepada
murid dan pengikutnya); Syekh Lemah Abang atau Lemah Bang (gelar yg
diberikan masyarakat Lemah Abang, suatu komunitas dan kampung model yg
dipelopori Syekh Siti Jenar; melawan hegemoni kerajaan.
Wajar jika orang Cirebon tidak mengenal nama Syekh Siti Jenar, sebab di
Cirebon nama yg populer adalah Syekh Lemah Abang); Syekh Siti Jenar
(nama filosofis yg mengambarkan ajarannya tentang sangkan-paran, bahwa
manusia secara biologis hanya diciptakan dari sekedar tanah merah dan
selebihnya adalah roh Allah; juga nama yg dilekatkan oleh Sunan Bonang
ketika memperkenalkannya kepada Dewan Wali, pada kehadirannya di Jawa
Tengah/Demak; juga nama Babad Cirebon); Syekh Nurjati atau Pangran
Panjunan atau Sunan Sasmita (nama dalam Babad Cirebon, S.Z.
Hadisutjipto); Syekh Siti Bang, serta Syekh Siti Brit; Syekh Siti Luhung
(nama-nama yg diberikan masyarakat Jawa Tengahan); Sunan Kajenar (dalam
sastra Islam-Jawa versi Surakarta baru, era R.Ng. Ranggawarsita
[1802-1873]); Syekh Wali Lanang Sejati; Syekh Jati Mulya; dan Syekh
Sunyata Jatimurti Susuhunan ing Lemah Abang.
Siti Jenar lebih menunjukkan sebagai simbolisme ajaran utama Syekh Siti
Jenar yakni ilmu kasampurnan, ilmu sangkan-paran ing dumadi, asal muasal
kejadian manusia, secara biologis diciptakan dari tanah merah saja yg
berfungsi sebagai wadah (tempat) persemayaman roh selama di dunia ini.
Sehingga jasad manusia tidak kekal akan membusuk kembali ketanah.
Selebihnya adalah roh Allah, yg setelah kemusnaan raganya akan menyatu
kembali dengan keabadian. Ia di sebut manungsa sebagai bentuk
“manunggaling rasa” (menyatu rasa ke dalam Tuhan).
Dan karena surga serta neraka itu adalah untuk derajad fisik maka
keberadaan surga dan neraka adalah di dunia ini, sesuai pernyataan
populer bahwa dunia adalah penjara bagi orang mukmin. Menurut Syekh Siti
Jenar, dunia adalah neraka bagi orang yg menyatu-padu dgn Tuhan.
Setelah meninggal ia terbebas dari belenggu wadag-nya dan bebas bersatu
dgn Tuhan. Di dunia manunggalnya hamba dgn Tuhan sering terhalang oleh
badan biologis yg disertai nafsu-nafsunya. Itulah inti makna nama Syekh
Siti Jenar.
Asal Usul Syekh Siti Jenar
Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 829 H/1348 C/1426 M (Serat She Siti
Jenar Ki Sasrawijaya; Atja, Purwaka Tjaruban Nagari (Sedjarah Muladjadi
Keradjan Tjirebon), Ikatan Karyawan Museum, Jakarta, 1972; P.S.
Sulendraningrat, Purwaka Tjaruban Nagari, Bhatara, Jakarta, 1972; H.
Boedenani, Sejarah Sriwijaya, Terate, Bandung, 1976; Agus Sunyoto, Suluk
Abdul Jalil Perjalanan Rohani Syaikh Syekh Siti Jenar dan Sang
Pembaharu, LkiS, yogyakarta, 2003-2004; Sartono Kartodirjo dkk,
[i]Sejarah Nasional Indonesia, Depdikbud, Jakarta, 1976; Babad Banten;
Olthof, W.L., Babad Tanah Djawi. In Proza Javaansche Geschiedenis,
‘s-Gravenhage, M.Nijhoff, 1941; raffles, Th.S., The History of Java, 2
vol, 1817), dilingkungan Pakuwuan Caruban, pusat kota Caruban larang
waktu itu, yg sekarang lebih dikenal sebagai Astana japura, sebelah
tenggara Cirebon. Suatu lingkungan yg multi-etnis, multi-bahasa dan
sebagai titik temu kebudayaan serta peradaban berbagai suku.
Selama ini, silsilah Syekh Siti Jenar masih sangat kabur.
Kekurangjelasan asal-usul ini juga sama dgn kegelapan tahun kehidupan
Syekh Siti Jenar sebagai manusia sejarah.
Pengaburan tentang silsilah, keluarga dan ajaran Beliau yg dilakukan
oleh penguasa muslim pada abad ke-16 hingga akhir abad ke-17. Penguasa
merasa perlu untuk “mengubur” segala yg berbau Syekh Siti Jenar akibat
popularitasnya di masyarakat yg mengalahkan dewan ulama serta ajaran
resmi yg diakui Kerajaan Islam waktu itu. Hal ini kemudian menjadi latar
belakang munculnya kisah bahwa Syekh Siti Jenar berasal dari cacing.
Dalam sebuah naskah klasik, cerita yg masih sangat populer tersebut dibantah secara tegas,
“Wondene kacariyos yen Lemahbang punika asal saking cacing, punika ded,
sajatosipun inggih pancen manungsa darah alit kemawon, griya ing dhusun
Lemahbang.” [Adapun diceritakan kalau Lemahbang (Syekh Siti Jenar) itu
berasal dari cacing, itu salah. Sebenarnya ia memang manusia berdarah
kecil saja (rakyat jelata), bertempat tinggal di desa Lemah Abang]….
Jadi Syekh Siti Jenar adalah manusia lumrah hanya memang ia walau
berasal dari kalangan bangsawan setelah kembali ke Jawa menempuh hidup
sebagai petani, yg saat itu, dipandang sebagai rakyat kecil oleh
struktur budaya Jawa, disamping sebagai wali penyebar Islam di Tanah
Jawa.
Syekh Siti Jenar yg memiliki nama kecil San Ali dan kemudian dikenal
sebagai Syekh ‘Abdul Jalil adalah putra seorang ulama asal Malaka, Syekh
Datuk Shaleh bin Syekh ‘Isa ‘Alawi bin Ahmadsyah Jamaludin Husain bin
Syekh ‘Abdullah Khannuddin bin Syekh Sayid ‘Abdul Malikal-Qazam. Maulana
‘Abdullah Khannuddin adalah putra Syekh ‘Abdul Malik atau Asamat Khan.
Nama terakhir ini adalah seorang Syekh kalangan ‘Alawi kesohor di
Ahmadabad, India, yg berasal dari Handramaut. Qazam adalah sebuah
distrik berdekatan dgn kota Tarim di Hadramaut.
Syekh ‘Abdul Malik adalah putra Syekh ‘Alawi, salah satu keluarga utama
keturunan ulama terkenal Syekh ‘Isa al-Muhajir al-Bashari al-‘Alawi, yg
semua keturunannya bertebaran ke berbagai pelosok dunia, menyiarkan
agama Islam. Syekh ‘Abdul Malik adalah penyebar agama Islam yg bersama
keluarganya pindah dari Tarim ke India. Jika diurut keatas, silsilah
Syekh Siti Jenar berpuncak pada Sayidina Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib,
menantu Rasulullah. Dari silsilah yg ada, diketahui pula bahwa ada dua
kakek buyutnya yg menjadi mursyid thariqah Syathariyah di Gujarat yg
sangat dihormati, yakni Syekh Abdullah Khannuddin dan Syekh Ahmadsyah
Jalaluddin. Ahmadsyah Jalaluddin setelah dewasa pindah ke Kamboja dan
menjadi penyebar agama Islam di sana.
Adapun Syekh Maulana ‘sa atau Syekh Datuk ‘Isa putra Syekh Ahmadsyah
kemudian bermukim di Malaka. Syekh Maulana ‘Isa memiliki dua orang
putra, yaitu Syekh Datuk Ahamad dan Syekh Datuk Shaleh. Ayah Syekh Siti
Jenar adalah Syekh Datuk Shaleh adalah ulama sunni asal Malaka yg
kemudian menetap di Cirebon karena ancaman politik di Kesultanan Malaka
yg sedang dilanda kemelut kekuasaan pada akhir tahun 1424 M, masa
transisi kekuasaan Sultan Muhammad Iskandar Syah kepada Sultan Mudzaffar
Syah. Sumber-sumber Malaka dan Palembang menyebut nama Syekh Siti Jenar
dgn sebutan Syekh Jabaranta dan Syekh ‘Abdul Jalil.
Pada akhir tahun 1425, Syekh Datuk Shaleh beserta istrinya sampai di
Cirebon dan saat itu, Syekh Siti Jenar masih berada dalam kandungan
ibunya 3 bulan. Di Tanah Caruban ini, sambil berdagang Syekh Datuk
Shaleh memperkuat penyebaran Islam yg sudah beberapa lama tersiar di
seantero bumi Caruban, besama-sama dgn ulama kenamaan Syekh Datuk Kahfi,
putra Syehk Datuk Ahmad. Namun, baru dua bulan di Caruban, pada tahun
awal tahun 1426, Syekh Datuk Shaleh wafat.
Sejak itulah San Ali atau Syekh Siti Jenar kecil diasuh oleh Ki Danusela
serta penasihatnya, Ki Samadullah atau Pangeran Walangsungsang yg
sedang nyantri di Cirebon, dibawah asuhan Syekh datuk Kahfi.
Jadi walaupun San Ali adalah keturunan ulama Malaka, dan lebih jauh lagi
keturunan Arab, namun sejak kecil lingkungan hidupnya adalah kultur
Cirebon yg saat itu menjadi sebuah kota multikultur, heterogen dan
sebagai basis antarlintas perdagangan dunia waktu itu.
Saat itu Cirebon dgn Padepokan Giri Amparan Jatinya yg diasuh oleh
seorang ulama asal Makkah dan Malaka, Syekh Datuk Kahfi, telah mampu
menjadi salah satu pusat pengajaran Islam, dalam bidang fiqih dan ilmu
‘alat, serta tasawuf. Sampai usia 20 tahun, San Ali mempelajari berbagai
bidang agama Islam dgn sepenuh hati, disertai dgn pendidikan otodidak
bidang spiritual.
Padepokan Giri Amparan Jati
Setelah diasuh oleh Ki Danusela samapai usia 5 tahun, pada sekitar tahun
1431 M, Syekh Siti Jenar kecil (San Ali) diserahkan kepada Syekh Datuk
Kahfi, pengasuh Pedepokan Giri Amparan Jati, agar dididik agama Islam yg
berpusat di Cirebon oleh Kerajaan Sunda di sebut sebagai musu(h) alit
[musuh halus].
Di Padepokan Giri Amparan Jati ini, San Ali menyelesaikan berbagai
pelajaran keagamaan, terutama nahwu, sharaf, balaghah, ilmu tafsir,
musthalah hadist, ushul fiqih dan manthiq. Ia menjadi santri generasi
kedua. Sedang yg akan menjadi santri generasi ketiga adalah Syarif
Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Syarif Hidayatullah baru datang ke
Cirebon, bersamaan dgn pulangnya Syekh Siti Jenar dari perantauannya di
Timur Tengah sekitar tahun 1463, dalam status sebagai siswa Padepokan
Giri Amparan Jati, dgn usia sekitar 17-an tahun.
Pada tahun 1446 M, setelah 15 tahun penuh menimba ilmu di Padepokan
Amparan Jati, ia bertekad untuk keluar pondok dan mulai berniat untuk
mendalami kerohanian (sufi). Sebagai titik pijaknya, ia bertekad untuk
mencari “sangkan-paran” dirinya.
Tujuan pertmanya adalah Pajajaran yg dipenuhi oleh para pertapa dan ahli
hikmah Hindu-Budha. Di Pajajaran, Syekh Siti Jenar mempelajari kitab
Catur Viphala warisan Prabu Kertawijaya Majapahit. Inti dari kitab Catur
Viphala ini mencakup empat pokok laku utama.
Pertama, nihsprha, adalah suatu keadaan di mana tidak adal lagi sesuatu
yg ingin dicapai manusia. Kedua, nirhana, yaitu seseorang tidak lagi
merasakan memiliki badan dan karenanya tidak ada lagi tujuan. Ketiga,
niskala adalah proses rohani tinggi, “bersatu” dan melebur (fana’) dgn
Dia Yang Hampa, Dia Yang Tak Terbayangkan, Tak Terpikirkan, Tak
Terbandingkan. Sehingga dalam kondisi (hal) ini, “aku” menyatu dgn
“Aku”. Dan keempat, sebagai kesudahan dari niskala adalah nirasraya,
suatu keadaan jiwa yg meninggalkan niskala dan melebur ke Parama-Laukika
(fana’ fi al-fana’), yakni dimensi tertinggi yg bebas dari segala
bentuk keadaan, tak mempunyai ciri-ciri dan mengatasi “Aku”.
Dari Pajajaran San Ali melanjutkan pengembaraannya menuju Palembang,
menemui Aria Damar, seorang adipati, sekaligus pengamal sufi-kebatinan,
santri Maulana Ibrahim Samarkandi. Pada masa tuanya, Aria Damar bermukim
di tepi sungai Ogan, Kampung Pedamaran.
Diperkirakan Syekh Siti Jenar berguru kepada Aria Damar antara tahun
1448-1450 M. bersama Aria Abdillah ini, San Ali mempelajari pengetahuan
tentang hakikat ketunggalan alam semesta yg dijabarkan dari konsep
“nurun ‘ala nur” (cahaya Maha Cahaya), atau yg kemudian dikenal sebagai
kosmologi emanasi.
Dari Palembang, San Ali melanjutkan perjalanan ke Malaka dan banyak
bergaul dgn para bangsawan suku Tamil maupun Malayu. Dari hubungan
baiknya itu, membawa San Ali untuk memasuki dunia bisnis dgn menjadi
saudagar emas dan barang kelontong. Pergaulan di dunia bisnis tsb
dimanfaatkan oleh San Ali untuk mempelajari berbagai karakter nafsu
manusia, sekaligus untuk menguji laku zuhudnya ditengah gelimang harta.
Selain menjadi saudagar, Syekh Siti jenar juga menyiarkan agama Islam yg
oleh masyarakat setempat diberi gelar Syekh jabaranta. Di Malaka ini
pula, ia bertemu dgn Datuk Musa, putra Syekh Datuk Ahmad. Dari uwaknya
ini, Syekh Datuk Ahmad, San Ali dianugerahi nama keluarga dan nama
ke-ulama-an Syekh Datuk ‘Abdul Jalil.
Pencerahan Rohani di Baghdad
Setelah mengetahui bahwa dirinya merupakan salah satu dari keluarga
besar ahlul bait (keturunan Rasulullah), Syekh Siti Jenar semakin
memiliki keinginan kuat segera pergi ke Timur Tengah terutama pusat kota
suci Makkah.
Dalam perjalanan ini, dari pembicaraan mengenai hakikat sufi bersama
ulama Malaka asal Baghdad Ahmad al-Mubasyarah al-Tawalud di sepanjang
perjalanan. Syekh Siti Jenar mampu menyimpan satu perbendaharaan baru,
bagi perjalanan rohaninya yaitu “ke-Esaan af’al Allah”, yakni kesadaran
bahwa setiap gerak dan segala peristiwa yg tergelar di alam semesta ini,
baik yg terlihat maupun yg tidak terlihat pada hakikatnya adalah af’al
Allah. Ini menambah semangatnya untuk mengetahui dan merasakan langsung
bagaimana af’al Allah itu optimal bekerja dalam dirinya.
Inilah pangkal pandangan yg dikemudian hari memunculkan tuduhan dari
Dewan Wali, bahwa Syekh Siti Jenar menganut paham Jabariyah. Padahal
bukan itu pemahaman yg dialami dan dirasakan Syekh Siti Jenar. Bukan
pada dimensi perbuatan alam atau manusianya sebagai tolak titik pandang
akan tetapi justru perbuatan Allah melalui iradah dan quradah-NYA yg
bekerja melalui diri manusia, sebagai khalifah-NYA di alam lahir. Ia
juga sampai pada suatu kesadaran bahwa semua yg nampak ada dan memiliki
nama, pada hakikatnya hanya memiliki satu sumber nama, yakni Dia Yang
Wujud dari segala yg maujud.
Sesampainya di Baghdad, ia menumpang di rumah keluarga besar Ahmad
al-Tawalud. Disinilah cakrawala pengetahuan sufinya diasah tajam. Sebab
di keluarga al-Tawalud tersedia banyak kitab-kitab ma’rifat dari para
sufi kenamaan. Semua kitab itu adalah peninggalan kakek al-Tawalud,
Syekh ‘Abdul Mubdi’ al-Baghdadi. Di Irak ini pula, Syekh Siti Jenar
bersentuhan dgn paham Syi’ah Ja’fariyyah, yg di kenal sebagai madzhab
ahl al-bayt.
Syekh Siti Jenar membaca dan mempelajari dgn Baik tradisi sufi dari
al-Thawasinnya al-Hallaj (858-922), al-Bushtamii (w.874), Kitab
al-Shidq-nya al-Kharaj (w.899), Kitab al-Ta’aruf al-Kalabadzi (w.995),
Risalah-nya al-Qusyairi (w.1074), futuhat al-Makkiyah dan Fushush
al-Hikam-nya Ibnu ‘Arabi (1165-1240), Ihya’ Ulum al-Din dan kitab-kitab
tasawuf al-Ghazali (w.1111), dan al-Jili (w.1428). secara kebetulan
periode al-jili meninggal, Syekh Siti Jenar sudah berusia dua tahun.
Sehingga saat itu pemikiran-permikiran al-Jili, merupakan hal yg masih
sangat baru bagi komunitas Islam Indonesia.
Dan sebenarnya Syekh Siti Jenar-lah yg pertama kali mengusung gagasan
al-Hallaj dan terutama al-Jili ke Jawa. Sementara itu para wali anggota
Dewan Wali menyebarluaskan ajaran Islam syar’i madzhabi yg ketat.
Sebagian memang mengajarkan tasawuf, namun tasawuf tarekati, yg
kebanyakkan beralur pada paham Imam Ghazali. Sayangnya, Syekh Siti Jenar
tidak banyak menuliskan ajaran-ajarannya karena kesibukannya
menyebarkan gagasan melalui lisan ke berbagai pelosok Tanah Jawa. Dalam
catatan sastra suluk Jawa hanya ada 3 kitab karya Syekh Siti Jenar;
Talmisan, Musakhaf (al-Mukasysyaf) dan Balal Mubarak. Masyarakat yg
dibangunnya nanti dikenal sebagai komunitas Lemah Abang.
Dari sekian banyak kitab sufi yg dibaca dan dipahaminya, yg paling
berkesan pada Syekh Siti Jenar adalah kitab Haqiqat al-Haqa’iq,
al-Manazil al-Alahiyah dan al-Insan al-Kamil fi Ma’rifat al-Awakhiri wa
al-Awamil (Manusia Sempurna dalam Pengetahuan tenatang sesuatu yg
pertama dan terakhir). Ketiga kitab tersebut, semuanya adalah puncak
dari ulama sufi Syekh ‘Abdul Karim al-Jili.
Terutama kitab al-Insan al-Kamil, Syekh Siti Jenar kelak sekembalinya ke
Jawa menyebarkan ajaran dan pandangan mengenai ilmu sangkan-paran
sebagai titik pangkal paham kemanuggalannya. Konsep-konsep pamor, jumbuh
dan manunggal dalam teologi-sufi Syekh Siti Jenar dipengaruhi oleh
paham-paham puncak mistik al-Hallaj dan al-Jili, disamping itu karena
proses pencarian spiritualnya yg memiliki ujung pemahaman yg mirip dgn
secara praktis/’amali-al-Hallaj; dan secara filosofis mirip dgn al-Jili
dan Ibnu ‘Arabi.
Syekh Siti Jenar menilai bahwa ungkapan-ungkapan yg digunakan al-Jili
sangat sederhana, lugas, gampang dipahami namun tetap mendalam. Yg
terpenting, memiliki banyak kemiripan dgn pengalaman rohani yg sudah
dilewatkannya, serta yg akan ditempuhnya. Pada akhirnya nanti,
sekembalinya ke Tanah Jawa, pengaruh ketiga kitab itu akan nampak nyata,
dalam berbagai ungkapan mistik, ajaran serta khotbah-khotbahnya, yg
banyak memunculkan guncangan-guncangan keagamaan dan politik di Jawa.
Syekh Siti Jenar banyak meluangkan waktu mengikuti dan mendengarkan
konser-konser musik sufi yg digelar diberbagai sama’ khana. Sama’ khana
adalah rumah-rumah tempat para sufi mendengarkan musik spiritual dan
membiarkan dirinya hanyut dalam ekstase (wajd). Sama’ khana mulai
bertumbuhan di Baghdad sejak abad ke-9 (Schimmel; 1986, hlm. 185). Pada
masa itu grup musik sufi yg terkenal adalah al-Qawwal dgn penyanyi
sufinya ‘Abdul Warid al-Wajd.
Berbagai pengalaman spiritual dilaluinya di Baghdad sampai pada
tingkatan fawa’id (memancarnya potensi pemahaman roh karena hijab yg
menyelubunginya telah tersingkap. Dgn ini seseorang akan menjadi berbeda
dgn umumnya manusia); dan lawami’ (mengejawantahnya cahaya rohani
akibat tersingkapnya fawa’id), tajaliyat melalui Roh al-haqq dan zawaid
(terlimpahnya cahaya Ilahi ke dalam kalbu yg membuat seluruh rohaninya
tercerahkan). Ia mengalami berbagai kasyf dan berbagai penyingkapan
hijab dari nafsu-nafsunya. Disinilah Syekh Siti Jenar mendapatkan
kenyataan memadukan pengalaman sufi dari kitab-kitab al-Hallaj, Ibnu
‘Arabi dan al-Jili.
Bahkan setiap kali ia melantunkan dzikir dikedalaman lubuk hatinya dgn
sendirinya ia merasakan denting dzikir dan menangkap suara dzikir yg
berbunyi aneh, Subhani, alhamdu li, la ilaha illa ana wa ana al-akbar,
fa’budni (mahasuci aku, segala puji untukku, tiada tuhan selain aku,
maha besar aku, sembahlah aku). Walaupun telinganya mendengarkan orang
di sekitarnya membaca dzikir Subhana Allah, al-hamduli Allahi, la ilaha
illa Allah, Allahu Akbar, fa’buduhu, namun suara yg di dengar lubuk
hatinya adalah dzikir nafsi, sebagai cerminan hasil man ‘arafa bafsahu
faqad ‘arafa Rabbahu tersebut. Sampai di sini, Syekh Siti Jenar semakin
memahami makna hadist Rasulullah “al-Insan sirri wa ana sirruhu”
(Manusia adalah Rahasia-Ku dan Aku adalah rahasianya).
Sebenarnya inti ajaran Syekh Siti Jenar sama dgn ajaran sufi ‘Abdul
Qadir al-Jilani (w.1165), Ibnu ‘Arabi (560/1165-638-1240), Ma’ruf
al-Karkhi, dan al-Jili. Hanya saja ketiga tokoh tsb mengalami nasib yg
baik dalam artian, ajarannya tidak dipolitisasi, sehingga dalam
kehidupannya di dunia tidak pernah mengalami intimidasi dan kekerasan
sebagai korban politik dan menemui akhir hayat secara biasa.
Dari perenungannya mengenai dunia nafsu manusia, hal ini membawa Syekh
Siti Jenar menuai keberhasilan menaklukkan tujuh hijab, yg menjadi
penghalang utama pendakian rohani seorang salik (pencari kebenaran).
Tujuh hijab itu adalah lembah kasal (kemalasan naluri dan rohani
manusia); jurang futur (nafsu menelan makhluk/orang lain); gurun malal
(sikap mudah berputus asa dalam menempuh jalan rohani); gurun riya’
(bangga rohani); rimba sum’ah (pamer rohani); samudera ‘ujub
(kesombongan intelektual dan kesombongan ragawi); dan benteng hajbun
(penghalang akal dan nurani).
Ingsun, Allah dan Kemanunggalan (Syekh Siti Jenar)
1.“Sabda sukma, adhep idhep Allah, kang anembah Allah, kang sinembah Allah, kang murba amisesa.”
Pernyataan Syekh Siti Jenar diatas secara garis besarnya adalah:
“Pernyataan roh yg bertemu-hadapan dgn Allah, yg menyembah Allah, yg
disembah Allah, yg meliputi segala sesuatu.”
Ini adalah salah satu sumber pengetahuan ajaran Syekh Siti Jenar yg
maksudnya adalah sukma (roh di kedalaman jiwa) sebagai pusat kalam
(pembicaraan dan ajaran). Hal itu diakibatkan karena di kedalaman roh
batin manusia tersedia cermin yg disebut mir’ah al-haya’ (cermin yg
memalukan). Bagi orang yg sudah bisa mengendalikan hawa nafsunya serta
mencapai fana’ cermin tersebut akan muncul, yg menampakkan kediriannya
dengan segala perbuatan tercelanya. Jika ini telah terbuka maka
tirai-tirai Rohani juga akan tersingkap, sehingga kesejatian dirinya
beradu-adu (adhep idhep), “aku ini kau, tapi kau aku”.
Maka jadilah dia yg menyembah sekaligus yg disembah, sehingga dirinya
sebagai kawula-Gusti memiliki wewenang murba amisesa, memberi keputusan
apapun tentang dirinya, menyatu iradah dan kodrat kawula-Gusti.
2. “Hidup itu bersifat baru dan dilengkapi dengan pancaindera.
Pancaindera ini merupakan barang pinjaman, yg jika sudah diminta oleh yg
empunya, akan menjadi tanah dan membusuk, hancur lebur bersifat najis.
Oleh karena itu pancaindera tidak dapat dipakai sebagai pedoman hidup.
Demikian pula budi, pikiran, angan-angan dan kesadaran, berasal dari
pancaindera, tidak dapat dipakai sebagai pegangan hidup. Akal dapat
menjadi gila, sedih, bingung, lupa tidur dan seringkali tidak jujur.
Akal itu pula yg siang malam mengajak dengki, bahkan merusak kebahagiaan
orang lain. Dengki dapat pula menuju perbuatan jahat, menimbulkan
kesombongan, untuk akhirnya jatuh dalam lembah kenistaan, sehingga
menodai nama dan citranya. Kalau sudah sampai sedemikian jauhnya, baru
orang menyesalkan perbuatannya.”
Menurut Syekh Siti Jenar, baik pancaindera maupun perangkat akal tidak
dapat dijadikan pegangan dan pedoman hidup. Sebab semua itu bersifat
baru, bukan azali. Satu-satunya yg bisa dijadikan gondhelan dan
gandhulan hanyalah Zat Wajibul Maulanan, Zat Yang Maha Melindungi.
Pancaindera adalah pintu nafsu dan akal adalah pintu bagi ego. Semuanya
harus ditundukkan di bawah Zat Yang Wajib memimpin.
Karena hanya Dialah yg menunjukkan semua budi baik. Jadi pancaindera
harus dibimbing oleh budi dan budi dipimpin oleh Sang Penguasa Budi atau
Yang Maha Budi. Sedangkan Yang Maha Budi itu tidak terikat dalam
jeratan dan jebakan nama tertentu. Sebab nama bukanlah hakikat. Nama itu
bisa Allah, Hyang Widi, Hyang Manon, Sang Wajibul Maulana dan
sebagainya. Semua itu produk akal, sehingga nama tidak perlu disembah.
Jebakan nama dalam syari’at justru malah merendahkan nama-NYA.
3.“Apakah tidak tahu bahwa penampilan bentuk daging, urat, tulang, sunsum, bisa rusak dan bagaimana cara Anda memperbaikinya?
Biarpun bersembahyang seribu kali setiap harinya akhirnya mati juga.
Meskipun badan Anda, Anda tutupi akhirnya menjadi debu juga. Tetapi jika
penampilan bentuknya seperti Tuhan, Apakah para Wali dapat membawa
Pulang dagingnya, saya rasa tidak dapat. Alam semesta ini baru. Tuhan
tidak akan membentuk dunia ini dua kali dan juga tidak akan membuat
tatanan batu, dalilnya layabtakiru hilamuhdil yg artinya tidak membuat
sesuatu wujud lagi tentang terjadinya alam semesta sesudah dia membuat
dunia.”
Dari pernyataan itu nampak Syekh Siti Jenar memandang alam makrokosmos
sama dengan mikrokosmos (manusia). Kedua hal tersebut merupakan barang
baru ciptaan Tuhan yg sama-sama akan mengalami kerusakan atau tidak
kekal.
Pada sisi lain, pernyataan Syekh Siti Jenar tsb mempunyai muatan makna
pernyataan sufistik, “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia pasti
mengenal Tuhannya.” Sebab bagi Syekh Siti Jenar manusia yg utuh dalam
jiwa raganya merupakan wadag bagi penyanda, termasuk penyanda alam
semesta. Itulah sebabnya pengelolaan alam semesta menjadi tanggungjawab
manusia.
Maka mikrokosmos manusia, tidak lain adalah Blueprint dan gambaran adanya jagat besar termasuk semesta.
Baginya Manusia terdiri dari jiwa dan raga yg intinya ialah jiwa sebagai
penjelmaan dzat Tuhan (Sang Pribadi). Sedangkan raga adalah bentuk luar
dari jiwa yg dilengkapi pancaindera, berbagai organ tubuh seperti
daging, otot, darah dan tulang. Semua aspek keragaan atau ketubuhan
adalah barang pinjaman yg suatu saat setelah manusia terlepas dari
pengalaman kematian di dunia ini, akan kembali berubah menjadi tanah.
Sedangkan rohnya yg menjadi tajalli Ilahi, manunggal ke dalam keabadian
dengan Allah.
4. “Segala sesuatu yg terjadi di alam semesta ini pada hakikatnya adalah af’al (perbuatan) Allah.
Berbagai hal yg dinilai baik maupun buruk pada hakikatnya adalah dari
Allah juga. Jadi keliru dan sesat pandangan yg mengatakan bahwa yg baik
dari Allah dan yg buruk dari selain Allah.” “…Af’al Allah harus dipahami
dari dalam dan dari luar diri. Saat manusia menggoreskan pena misalnya,
di situ lah terjadi perpaduan dua kemampuan kodrati yg dipancarkan oleh
Allah kepada makhluk-NYA, yakni kemampuan kodrati gerak pena. Di
situlah berlaku dalil “Wa Allahu khalaqakum wa ma ta’malun
(Qs.Ash-Shaffat:96)”, yg maknanya Allah yg menciptakan engkau dan segala
apa yg engkau perbuat. Di sini terkandung makna mubasyarah. Perbuatan
yg terlahir dari itu disebut al-tawallud. Misalnya saya melempar batu.
Batu yg terlempar dari tangan saya itu adalah berdasarkan kemampuan
kodrati gerak tangan saya. Di situ berlaku dalil “Wa ma ramaita idz
ramaita walakinna Allaha rama (Qs.Al-Anfal:17)”, maksudnya bukanlah
engkau yg melempar, melainkan Allah jua yg melempar ketika engkau
melempar. Namun pada hakikatnya antara mubasyarah dan al-tawallud
hakikatnya satu, yakni af’al Allah sehingga berlaku dalil la haula wa la
quwwata illa bi Allahi al-‘aliyi al-‘adzimi. Rosulullah bersabda “La
tataharraku dzarratun illa bi idzni Allahi”, yg maksudnya tidak akan
bergerak satu dzarah pun melainkan atas idzin Allah.”
Eksistensi manusia yg manunggal ini akan nampak lebih jelas peranannya,
dimana manusia tidak lain adalah ke-Esa-an dalam af’al Allah. Tentu
ke-Esa-an bukan sekedar af’al, sebab af’al digerakkan oleh dzat.
Sehingga af’al yg menyatu menunjukkan adanya ke-Esa-an dzat, kemana
af’al itu dipancarkan.
5. “Di dunia ini kita merupakan mayat-mayat yg cepat juga akan menjadi busuk dan bercampur tanah.
Ketahuilah juga apa yg dinamakan kawula-Gusti tidak berkaitan dgn
seorang manusia biasa seperti yg lain-lain. Kawula dan Gusti itu sudah
ada dalam diriku, siang dan malam tidak dapat memisahkan diriku dari
mereka. Tetapi hanya untuk saat ini nama kawula-Gusti itu berlaku, yakni
selama saya mati. Nanti, kalau saya sudah hidup lagi, Gusti dan kawula
lenyap, yg tinggal hanya hidupku sendiri, ketentraman langgeng dalam ADA
sendiri. Bila kau belum menyadari kebenaran kata-kataku maka dgn