Terhadap adanya madzhab, umat Islam terbagi 2 golongan besar, yakni :1. Mereka yang menyatakan anti madzhab2. Mereka yang merasa wajib bermadzhab Untuk golongan pertama, telah dirintis oleh tokoh-tokoh anti madzhab sekelas Ibn Taimiyah, Ibn Hazm dan Ibn Qoyyim. Kemudian semakin populer setelah dikomandoi oleh Muhammad bin ‘Abdul Wahab (Saudi), Muhammad Abduh & Rasyid Ridho (Mesir) serta Sayyid
Khutbah Jum’at, DR. Tgk. H. Syukri Muhammad Yusuf, Lc., MA, Pejabat pada Dinas Syariat Islam Aceh
Perbedaan
pendapat dalam memahami ajaran Islam adalah suatu keniscayaan. Karakter
agama Islam yang universal harus bisa menyahuti perkembangan zaman,
menyesuaikan diri dalam konteks waktu dan tempat. Perbedaan pendapat
adalah sunnatullah yang telah dimulai di kalangan para sahabat semenjak
Rasulullah SAW masih hidup. Perbedaan ini pada tataran akademis adalah
hal yang wajar dan diperbolehkan, namun jika menimbulkan fanatisme yang
pada akhirnya memicu perpecahan, bahkan permusuhan, maka hal inilah yang
dilarang dalam Islam. Dalam bahasa syariat, perbedaan pandangan ini
diistilahkan dengan “ikhtilaf” dan kadang disebut dengan “khilaf”.
Keduanya memiliki arti yang sama, yaitu tiada kesepakatan (‘adamul
ittifaq) dalam suatu hal. Fiqh yang menyajikan perbedaan pendapat ulama
dalam masalah furu’iyah sering disebut dengan istilah “fiqh ikhtilaf”.
Dalam
tradisi ulama Islam, fiqh ikhtilaf atau fiqh perbedaan pendapat dalam
hal furu’ bukanlah sesuatu yang baru, apalagi dianggap tabu. Tidak
terhitung jumlahnya kitab-kitab, karya ilmiah yang ditulis para ulama
dan disusun khusus untuk merangkum, mengkaji, membandingkan, kemudian
mendiskusikan berbagai pandangan yang berbedabeda dengan argumentasinya
masing-masing.
Perbedaan pendapat antar ulama yang kemudian muncul
madzhab-madzhab fiqh dalam Islam adalah khazanah dan simbul kekayaan
syariat yang besar yang merupakan kebanggaan dan izzah bagi umat Islam.
Hal ini menunjukkan betapa kayanya khazanah keilmuan dan konsepkonsep
pemikiran dalam Islam yang dapat diterapkan umat Muslim dalam
menjalankan agamanya sesuai perkembangan zaman, perbedaan tempat dan
pergeseran waktu. Ini merupakan rahmat dan kemudahan bagi umat Islam
sampai akhir zaman.
Dan sungguh indah ucapan Syaikh Al-Albani
rahimahullah dalam mengomentari perbededaan pendapat antara dia dengan
sahabatnya: “Perbedaan pendapat (Khilaf) yang terjadi di antara kita
adalah khilaf yang menggabungkan dan tidak menceraiberaikan, berbeda
dengan khilafnya orang lain”. Perbedaan pendapat ini oleh para ulama
sering diistilahkan dengan perbedaan keberagaman dan variatif (tanawwu’
wa itsra’) yang menawarkan banyak solusi untuk setiap masalah, bukanlah
perbedaan yang menggiring umat kepada perpecahan dan konflik (tanazu’ wa
tudhad).
Perbedaan fuqaha hanya terjadi dalam masalah-masalah
cabang dan ijtihad fiqh, bukan dalam masalah inti, dasar dan akidah.
Karena itu perbedaan ini dinilai terpuji dan rahmat bagi umat, selama
dapat disikapi dengan bijak dan penuh tasamuh.
Bahkan ruang
lingkup perbedaan ulama adalah berkisar seputar perbedaan pemahaman
manusia dalam menangkap pesan dan makna, mengambil kesimpulan hukum,
menangkap rahasia syariat dan memahami illat hukum dari teks-teks
syariat. Jadi, perbedaan terjadi dikarenakan keterbatasan dan kelemahan
manusia. Meski demikian tetap harus beramal dengan salah satu pendapat
yang ada untuk memudahkan manusia dalam beragama sebab wahyu sudah
terputus.
Adapun perbedaan yang tercela adalah perbedaan dalam
masalah usul atau akidah, karena sesungguhnya hal itu dapat memecah
belah umat Islam serta melemahkan eksistensinya, atau perbedaan dalam
hal-hal yang bersifat qathi’i yang dipetik berdasarkan dalildalil
qath’i, demikian juga perbedaan pendapat dalam masalah furu’ (dhanni)
yang disikapi dengan pertentangan dan perpecahan.
Ada beberapa sebab perbedaan ulama dalam perkara furu’, antara lain sebagai berikut:
- Perbedaan makna lafadz teks Arab.
- Perbedaan riwayat
- Perbedaan sumber-sumber pengambilan hukum
- Perbedaan kaidah usul fiqh
- Ijtihad dengan qiyas
- Pertentangan (kontradiksi) dan tarjih antar dalil-dalil menghadapi perbedaan
Menghadapi perbedaan
Memang
tidak dapat dipungkiri bahwa setiap orang tidak ada halangan, alias
boleh mengemukakan pendapatnya, selama masih dalam koridor dan batasan
ruang lingkup ijtihad yang dibenarkan syariat dengan penuh adab, sopan
tanpa celaan, cercaan, tidak saling menyalahkan dan seterusnya, agar
terpenuhi makna rahmat dalam perbedaan ummat.
“Dan bagi
masingmasing ada kiblatnya yang dia menghadap kepadanya. Maka
berlomba-lombalah kalian (dalam) kebaikan”. [Al-Baqarah : 14].
Namun
yang paling penting adalah bukan melarang perbedaan pendapat atau
membumihanguskan pendapat yang berbeda, tetapi bagaimana sikap kita
menghadapi perbedaan pendapat dalam perkara ijtihadiyah agar perbedaan
pendapat ini menjadi rahmat bukan menjadi laknat. Dalam konteks ini ada
pesan menarik dari Imam Syahid Hasan Albanna yang kemudian dipopulerkan
oleh generasi muridnya, antara lain Syeikh Dr. Yusuf Qardhawi, yaitu:
“Kita saling bekerja sama dan tolong menolong terhadap masalah yang kita
sepakati, sementara terhadap masalah yang kita perselisihkan semua kita
harus menahan diri dan saling menghargainya”. Artinya, sekiranya kita
berbeda pendapat dalam hal qunut subuh, (kita harus menghargainya) namun
kita masih dapat bekerja sama dalam hal shalat subuh karena semua kita
sepakat shalat shubuh adalah wajib.
Untuk lebih jelas berikut ini
kita angkat beberapa sikap yang harus menghiasi diri setiap Mukmin dalam
menghadapi perbedaan pendapat, yaitu:
Pertama, menghargai pendapat orang lain
Hal
yang terpenting dalam menyikapi perbedaan pendapat terhadap masalah
ijtihadiyah adalah bagaimana seseorang bertindak lebih dewasa untuk
dapat menghargai pendapat orang lain, sebagaimana yang telah dicontohkan
oleh para Imam Mazhab. Diriwayatkan bahwa Imam Syafi’i rahimahullah
ketika menziarahi kuburan Abu Hanifah di Kofah, beliau melakukan shalat
shubuh tanpa qunut yang dipandang berseberangan dengan pendapatnya.
Selesai shalat para jamaah yang berada bersamanya saat itu bertanya
kenapa beliau meninggalkan qunut sementara menurut mazhabnya qunut
shubuh adalah sunat muakkad. Dengan penuh rasa kedewasaan beliau
menjawab: “saya sengaja meninggalkan qunut sebagai penghormatan dan
penghargaan kepada pemilik kuburan ini yang berpendapat bahwa qunut
shubuh tidak disunatkan”.
Demikian juga, Imam Ahmad bin Hambal
pernah berfatwa agar imam hendaknya membaca basmalah dengan suara keras
bila memimpin shalat di Madinah. Fatwa ini bertentangan dengan mazhabnya
sendiri yang menyatakan bahwa bacaan basmalah dalam shalat harus
dikecilkan. Tapi fatwa tersebut dikeluarkan Imam Ahmad demi menghormati
paham ulama-ulama di Madinah, waktu itu, yang memandang sebaliknya.
Sebab, menurut ulama-ulama Madinah itu, mengeraskan bacaan basmalah
dalam shalat jihar itu lebih utama.
Kedua, tidak mengklaim bahwa pendapatnyalah yang benar
Menarik
untuk disimak bahwa mulai dari generasi para sahabat sampai dengan
ulama mujtahid, mereka sangat berhati-hati dan tidak mau ijtihadnya
disebut hukum Allah atau syariat Allah. Namun mereka mengatakan, “Ini
adalah pendapatku, jika benar ia berasal dari Allah, jika salah maka ia
berasal dari saya dan dari setan, Allah dan Rasul-Nya berlepas diri
darinya (pendapat saya).”
Demikian juga Imam Syafi’i rahimahullah
berkata: “jika hadits-hadits yang menjadi peganganku dalam berijtihad
shahih maka inilah pendapat mazhabku”. Dalam kesempatan lain beliau pun
tidak mau mengklaim bahwa pendapatnyalah yang paling benar dan tidak
pernah salah seraya berkata: “Pendapatku adalah benar tapi masih ada
kemungkinan salah, sementara pendapat orang lain adalah salah tapi masih
ada kemungkinan benar”.
Ketiga, hindari sifat dengki, sombong dan meremehkan orang lain
Ketiga
sifat ini dapat menutup hati dari menerima kebenaran dari orang lain.
Setiap melihat orang lain beramal atau beribadah berbeda dengan tata
cara kita beribadah maka akan selalu dikatakan mereka tidak punya ilmu,
kita tidak perlu ikut-ikutan dan terpengaruh dengan orang-orang bodoh
beribadah seperti mereka. Sikap yang kita tampilkan itu terkesan
seolah-olah hanya kitalah yang paling benar, paling alim, paling cerdas
dan paling paham segala-galanya sehingga kita akan menutup diri untuk
belajar dan berguru kepada orang-orang yang berbeda pendapat dengan
kita. Sampai-sampai tidak mau mendengarkan pendapat kecuali hanya dari
orang-orang tertentu saja dan telah dikult