Oleh: Imam Asy-Syatibi
Penggunaan akal dikatakan tercela bila tanpa menggunakan dasar dan
tidak bersandar pada Al-Kitab dan Sunnah. Jadi, akal (dijadikan) sebagai
penentu dalam (penetapan) syari’at. Bila seseorang menempatkan akalnya
seperti itu, maka dia telah terjebak dalam perbuatan bid’ah. Karena
semua bid’ah itu hanyalah merupakan pendapat akal belaka yang tidak
berdasar dalil sama sekali. Oleh karena itulah setiap bid’ah selalu
dinisbatkan kepada sesuatu kesesatan.
Dalam hadist shahih dari Abdullah bin Amr bin Ash, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda :
“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu begitu saja dari manusia
setelah memberikannya kepada mereka. Akan tetapi Allah mencabut ilmu
tersebut dari mereka dengan mematikan ulama berserta ilmu mereka, lalu
tinggallah orang-orang jahil yang dimintai fatwa,kemudian mereka pun
berfatwa dengan pendapat akal mereka,maka (jadilah) mereka itu tersesat
lagi menyesatkan.”1)
Perbedaan Ulama tentang Penggunaan Akal
Sebagian ulama berkata bahwa penggunaan akal yang tercela adalah
penggunaan akal yang menyelisihi Sunnah, sebagaimana yang dilakukan oleh
ahli bid’ah. Akan tetapi hal itu ada dalam masalah akidah saja, seperti
ajaran Jahm2) dan semua ajaran ahli kalam lainnya. Karena mereka
menggunakan pendapat akal mereka semata untuk membantah hadist-hadist
Rasulullah yang shahih; bahkan, untukmembantah ayat Al-Qur’an yang telah
jelas penunjukan hukumnya.
Sebagian yang lain mengatakan bahwa penggunaan akal yang tercela dan
rusak adalah penggunaan akal untuk membuat perkara-perkara yang bid’ah
atau yang semisalnya. Karena memang dari semua bid’ah itu kembalinya
kepada pendewaan akal dan penyimpangan dari syari’at. Pendapat inilah
yang kuat. Karena dalil-dalil yang telah kita sebutkan dimuka tidak
menunjukkan satu macam bid’ah saja, tapi justru menunjuk kepada semua
bentuk bid’ah yang telah terjadi dan yang akan terjadi sampai hari
kiamat, baik masalah ushul maupun masalah furu’.
Sebagian yang lain lagi mengatakan penggunaan akal yang tercela
adalah penggunaan akal untuk menentukan hukum-hukum agama untuk masalah
istihsan dan asumsi-asumsi, sibuk membahas permasalahan-permasalahan
yang rumit yang sering mengelirukan, mengembalikan sebagian permasalahan
furu’ dan kasus-kasus yang muncul antara satu dengan yang lain
berdasarkan qiyas tanpa mengembalikan kepada kaidah-kaidah ushul serta
meneliti sisi kelemahan dan kelayakan cara tersebut. Akal pun digunakan
sebagai pemegang peranan dalam membahas permasalahan tersebut. Dibahas
dan diperbincangkannya permasalahan tersebut secara terperinci sebelum
kasusnya sendiri terjadi dengan mengandalkan akal berdasar
perkiraan-perkiraan. Mereka yang berpendapat demikian berkata: “Karena
menyibukkan diri dan larut dengan cara-cara semacam itu berarti
menafikkan Sunnah, mendorong kejahilan orang terhadap Sunnah,
meninggalkan keharusan berdasar Sunnah tersebut; juga dengan
Kitabullah.”
Pendapat diatas sejalan dengan pendapat sebelumnya. Kerena pendapat
diatas melarang menggunakan akal meskipun tidak tercela. Hal itu karena
terlalu sibuk dengan penggunaan akal akan mengarahkan diri kepada
pendapat yang tercela, yaitu membuang Sunnah dan mencukupkan diri dengan
akal. Dan kalau sudah begitu maka akan sejalan dengan pendapat
sebelumnya. Karena di antara kebiasaan syari’at bahwa apabila melarang
keras sesuatu berarti melarang pula hal-hal yang mendukungnya. Tidaklah
kita mengetahui adanya sabda Rasulullah:
“Yang halal itu jelas; yang haram pun juga jelas. Diantara kedua nya ada perkara-perkara syubhat3).”4)
Demikian pula, dalam syari’at terdapat kaidah Saddudz Dzari’ah, yaitu
menahan diri dari hal yang dibolehkan karena dikhawatirkan akan
mengiring kepada hal yang tidak dibolehkan. Dan semakin besar daya rusak
suatu perkara yang dilarang tersebut, maka akan semakin diperketat
upaya pencegahannya.
Sebagai kesimpulannya adalah bahwa penggunaan akal yang tercela
adalah penggunaan akal yang berdasar atas kebodohan, mengikuti hawa
nafsu tanpa mau merujuk kepada syari’at. Dan termasuk penggunaan akal
yang tercela pula, segala jalan yang mengiring kepada penurutan hawa
nafsu meski pada asalnya jalan tersebut baik lantaran kembali kepada
kaidah syar’i.
Footnote:
1). Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (Hadist no. 100, dan 7307)
2). Jahm bin Shafwan adalah pendiri kelompok Jahmiyyah yang di antara
ajarannya adalah menolak nama-nama dan sifat-sifat Allah, pent.
3). Syubhat artinya tidak ada kejelasan halal dan haramnya, pent.
4). Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (Hadist no. 2051) dan ini adalah
lafal yang dia riwayatkan, dan Muslim (Hadist no. 1599) dari An-Nu’man
bin Basyir.
Sumber :
Ringkasan Al-I’tisham Imam Asy-Syatibi, “Membedah Seluk Beluk
Bid’ah”, karya Syaikh Abdul Qadir As-Saqqaf, Bab 2 “Tercelanya bid’ah
dan akibat buruk yang akan diperoleh para pelakunya” hal: 54.