Oleh : Muhammad Karyono
Dinamika dakwah Islam di tanah air dalam tiga dekade terakhir diwarnai
dengan fenomena pesatnya perkembangan dakwah salafiyah yang bertujuan
mengembalikan pemahaman umat Islam kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah
berdasarkan manhaj salafus saleh. Fakta demikian ternyata mengundang
pobia luar biasa dari kalangan tradisionalis atau yang menyebut diri
sebagai aswaja, di mana praktek-praktek keislaman mereka yang sarat
pencampuradukan dengan budaya lokal mendapatkan koreksi dari kalangan
salafi.
Perlu ditegaskan, makna aswaja dalam term kaum tradisionalis bukanlah
satu pengamalan beragama yang meneladani Rasulullah SAW dan para
sahabatnya dalam akidah maupun ibadah sebagaimana definisi Ahlus Sunnah
wal Jama’ah sebenarnya, melainkan satu model baru keislaman yang
memadukan berbagai unsur semisal mazhab ilmu kalam Asya’irah, tasawuf,
dan ritual-ritual amaliah yang berasal dari warisan kultur Hindu-Budha.
Maka tak heran, berkembangnya dakwah salafi dari Aceh hingga Papua
mendatangkan kegelisahan dari kalangan tokoh aswaja NU yang selama ini
terlanjur menikmati kedudukan begitu tinggi di tengah-tengah masyarakat
‘santri’.
Sikap pobia akut kalangan NU terhadap salafi-wahabi sejatinya sudah
tergambar jelas dalam lembaran sejarah seputar berdirinya ormas
tersebut. Sebagaimana diketahui, NU bermula dari satu tim panitia
“Komite merembuk Hijaz” yang didirikan guna merespon peperangan Wahabi
di Saudi Arabia yang berakhir dengan terusirnya Syarif Husein dari
Makkah pada 1924. Kemenangan Abdul Aziz Al-Saud yang disebut berhaluan
Wahabi atas Syarif Husein yang berpaham sufi merupakan pukulan telak
bagi kalangan tradisionalis di manapun termasuk di wilayah
Hindia-Belanda. Sebab, dengan jatuhnya Makkah ke tangan Wahabi, sama
artinya dengan hilangnya kemerdekaan bagi kaum sufi-tradisionalis untuk
menjalankan praktek amalan-amalan khas aku terdampar pada harapan terbakar di tanah suci. Pada
saat bersamaan, di seantero Nusantara juga tengah berkembang dakwah
pembaharuan yang dimotori oleh Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persis
dengan inti dakwahnya memberantas takhayul, bid’ah, dan khurafat (TBC)
serta memerangi sikap taklid buta terhadap kyai.
Fakta semakin gencarnya dakwah pembaharuan Islam di tanah air, dan
kembali berkuasanya kaum Wahabi di tanah suci itulah yang mendorong
inisiatif para tokoh Islam tradisionalis untuk mendirikan satu wadah
bersama guna melestarikan corak keberagamaan mereka. Tak cukup dengan
berserikat, para pendiri ormas NU juga merasa perlu untuk merumuskan
“bagaimana Islam yang benar versi mereka” hingga lahirlah istilah Aswaja
untuk membungkus hakikat keberagamaan warga nahdliyin yang sarat
akulturasi dengan budaya pra-Islam. Dan buat melegitimasi sikap
pengultusan terhadap kyai yang memang sudah umum berlaku di kalangan
nahdliyin, mereka dengan bangga mengemukakan dalil “Ulama adalah ahli
waris para Nabi”. Tentu saja tafsir ulama versi aswaja NU adalah kyai
yang sejalan dengan model beragama mereka, seperti demen tahlilan,
yasinan, mauludan atau tawashulan dengan perantara arwah para wali.
Adapun ulama di luar golongan mereka, kendati selevel ahli hadis abad
moderen Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani pun ditolaknya karena
fatwa-fatwanya yang justru menelanjangi kesesatan beragama mereka.
Jika kaitannya dengan perpolitikan nasional, sikap NU memang berubah-ubah.
Dalam Pemilu 1955, NU yang menjelma sebagai sebuah partai politik turut
serta memperjuangkan dasar negara Islam bagi republik ini. Selanjutnya,
NU justru duduk mesra bersama-sama kaum nasionalis dan komunis dalam
mengusung paham Nasakom. Pada Pemilu 1977, NU menyatakan berfusi dengan
Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sepuluh tahun berselang, NU malah
berperan sebagai penggembos PPP dengan keputusannya lewat muktamar
Situbondo 1984 yang menyatakan kembali ke khittah 1926, tidak
berpolitik. Realitanya, kembali ke khittah 1926 ternyata bukannya tidak
berpolitik, tetapi justru berpolitik dengan menggembosi PPP. Pasca
tumbangnya rezim Orde Baru, kembali ke khittah 1926 yang mereka
dengung-dengungkan pun dibuang lagi. PBNU memfasilitasi lahirnya Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB). Sejumlah tokoh NU yang tidak sejalan dengan
platform PKB, turut pula membidani lahirnya beberapa partai seperti
Partai Nahdlatul Umat (PNU), Partai Kebangkitan Umat (PKU), dan Partai
Solidaritas Uni Nasional Indonesia (Partai SUNI). Terkait lahirnya
sejumlah parpol yang saling mengklaim sebagai partainya warga NU di awal
reformasi, Gus Dur pernah berkomentar, “NU itu ibarat ayam, dari
pantatnya keluar telur dan tai ayam. Yang telur itu PKB, yang partai
lain itu tai ayam.”
Nah, bila untuk soal politik NU bersikap pagi kedele sore tempe alias
mencla-mencle, lain halnya dengan sikap mereka terhadap dakwah tauhid
dan sunnah. Semenjak awal berdirinya hingga hari ini, NU selalu berada
di garda terdepan dalam menentang setiap gerakan pemurnian Islam.
Stigma aku terdampar pada harapan terbakar seakan menjadi jurus pamungkas membangun opini publik buat
membangkitkan kesan horor dan radikal terhadap dakwah tauhid dan
sunnah.
Hari ini NU mengklaim sebagai ormas Islam yang paling toleran,
sampai-sampai rela mengerahkan ribuan anak mudanya yang tergabung dalam
banser untuk mengamankan perayaan malam Natal. Demi mendapatkan sebutan
pluralis, tokoh-tokoh NU pun lantang mengeluarkan pernyataan-pernyataan
yang intinya membela eksistensi sekte-sekte menyimpang di tanah air.
Demi mendapatkan predikat nasionalis dan pancasilais, sejumlah kyai NU
rela blusukan keluar masuk kelenteng atau gereja. Namun semangat
‘toleran, pluralis, nasionalis, dan pancasilais’ yang selalu mereka
bangga-banggakan, tiba-tiba berubah 180 derajat kala mereka berhadapan
dengan kalangan salafi-wahabi.
Beragam cara mereka gunakan untuk membendung dan mendiskreditkan dakwah wahabi.
Akan tetapi, semakin dibendung, dakwah wahabi justru makin tak
terbendung. Semakin difitnah, justru semakin banyak yang tercerahkan
dengan dakwah wahabi. Pada tahun 2009 misalnya, rumah sejumlah penganut
salafi di Gerung, Lombok Barat diserang warga yang masih jahil dengan
Sunnah. Kejadian ini bukan kali pertama terjadi di provinsi NTB. Namun
dengan peristiwa tersebut, yang kemudian diliput luas oleh sejumlah
media nasional justru menyebabkan masyarakat semakin familiar dengan
istilah “salafi-wahabi” dan ujung-ujungnya mereka penasaran mencari
tahu, apa sih sebetulnya salafi-wahabi itu. Munculnya radio Rodja dan
Rodja TV sebagai salah satu media dakwah salafi yang memantik reaksi
para tokoh sufi-tradisionalis untuk memperingatkan jamaahnya agar tidak
mendengarkan dan menonton siaran tersebut, rupanya malah menjadi iklan
gratis yang menyebabkan radio Rodja dan Rodja TV kian dikenal luas.
Upaya-upaya sejumlah kyai NU yang berusaha menyebarkan opini di tengah
masyarakat soal sesatnya ajaran salafi-wahabi justru berujung pada turun
tangannya MUI meneliti gerakan tersebut, dan hasilnya MUI Jakarta Utara
dengan tegas menyatakan “Salafi bukan aliran menyimpang”.
Begitu pula opini public (baca penyesatan public) yang coba dibangun
kang Said Agil Siraj ketum PBNU yang alumni Saudi, bahwa ideology wahabi
merupakan akar dari terorisme di tanah air pun mentah di tengah jalan.
Nyatanya, dalam beberapa tahun terakhir dakwah salafiyah justru semakin
berkembang di kalangan aparat pemerintahan. Bahkan tak jarang para da’i
salafi memberikan tausiyah di masjid Mabes Polri, masjid Polda Metro
Jaya, atau masjid PTIK. Teranyar, Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme (BNPT) malah mendatangkan ulama salafi murid Syaikh Albani,
yakni Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi untuk berdakwah kepada para napi
terpidana teroris agar kembali kepada pemahaman Islam yang haq. Mungkin
masih lekat pula dalam benak kita, tatkala di penghujung 2009 taklim
Ustadz Zainal Abidin, da’i salafi mantan santri tambak beras di Masjid
Amar Ma’ruf Bekasi yang membedah buku Jihad Melawan Teror diserang
sejumlah orang yang ditengerai sebagai simpatisan Jamaah Anshorut Tauhid
(JAT). Dengan demikian, jelas sudah beda antara salafi dengan takfiri.
Kaum salafi menyeru kepada tauhid, sunnah, dan pemahaman sahabat Nabi
yang di dalamnya termasuk ketaatan terhadap pemerintah kaum Muslimin.
Sedangkan jamaah takfiri meyeru kepada pengkafiran terhadap pemerintah
RI serta hasutan untuk membenci atau bahkan memberontak terhadap
pemerintah.
Lantas, apa yang menyebabkan kyai aswaja NU begitu membenci salafi dan
ketakutan dengan pesatnya perkembangan dakwah salaf? Apabila kita
mencermati sejarah dakwah para Rasul, niscaya akan dijumpai bahwa
kelompok yang paling keras menentang dakwah tauhid para Rasul tersebut
adalah mereka yang selalu menamakan dirinya sebagai “pembela ajaran
nenek moyang”. Begitu pula kita dapati hari ini, yang paling keras
menentang dakwah salaf yang mengajak umat Islam untuk memurnikan
peribadatan kepada Allah, adalah kelompok yang menamakan dirinya sebagai
“pemelihara tradisi nenek moyang.” Selanjutnya, berkembangnya dakwah
salafiyah di tengah masyarakat sama artinya dengan terbongkarnya klaim
dusta Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang selama ini mereka gembar-gemborkan.
Nyatanya, yang mereka praktekkan bukanlah akidah dan amaliah Ahlus
Sunnah wal Jama’ah sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW dan para
sahabatnya, melainkan amalan-amalan Ahli bid’ah wal firqah, entah itu
firqah Asy’ariyah, shufiyah, quburiyah, batiniyah, filsafat, hingga
kejawen yang saling bercampur aduk. Dan terakhir, tentu saja dengan
tersebarnya pemahaman salafiyah di tengah masyarakat akan menyebabkan
jatuhnya status social kyai tradisionalis yang selama ini menikmati
sikap pengultusan luar biasa dari kaum santri maupun masyarakat awamnya,
dan ujung-ujungnya turut pula mematikan income sebagian kyai yang juga
rangkap profesi sebagai ‘dukun berjubah’.
Sekiranya para kyai aswaja NU mau menanggalkan hawa nafsu dan sikap
fanatisme yang membabi buta terhadap tradisi leluhur mereka, niscaya
mereka bakal mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada para dai
salafi yang telah meluruskan makna Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang selama
ini mereka pahami secara keliru.
[Disalin dari Kompasiana(dot)com]