BIOGRAFI ULAMA KHARISMATIK DI INDONESIA
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مَنْ وَرَّخَ مُسْلِمًا فَكَأَ نَّمَا اَحْيَاهُ وَمَنْ زَارَ عَالِمًا فَكَأَ نَّمَا زَارَنِى وَمَنْ زَارَنِى بَعْدَ وَفَاتِى وَجَبَتْ لَهُ شَفَاعَتِى. روه ابو داود وترمذى
“Barang siapa membuat tarekh (Biografi) seorang muslim, maka sama dengan menghidupkannya. Dan barang siapa ziarah kepada seorang Alim, maka sama dengan ziarah kepadaku (Nabi SAW). Dan barang siapa berziarah kepadaku setelah aku wafat, maka wajib baginya mendapat syafatku di Hari Qiyamat. (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).
KH.Kholil Bangkalan
KH. Muhammad Kholil dilahirkan pada 11 Jamadilakhir 1235 Hijrah atau 27 Januari 1820 Masehi di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Beliau berasal dari keluarga Ulama dan digembleng langasung oleh ayah Beliau menginjak dewasa beliau ta’lim diberbagai pondok pesantren. Sekitar 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Kiyai Muhammad Khalil belajar kepada Kiyai Muhammad Nur di Pondok-pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok-pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok-pesantren Keboncandi. Selama belajar di pondok-pesantren ini beliau belajar pula kepada Kiyai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kyai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya. Sewaktu menjadi Santri KH Muhammad Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). disamping itu juga beliau juga seorang hafiz al-Quran . Belia mampu membaca alqur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca al-Quran).
Pada 1276 Hijrah/1859 Masehi, KH.Muhammad Khalil Belajar di Mekah. Di Mekah KH Muhammad Khalil al-Maduri belajar dengan Syeikh Nawawi al-Bantani(Guru Ulama Indonesia dari Banten). Di antara gurunya di Mekkah ialah Syeikh Utsman bin Hasan ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad al-Afifi al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud asy-Syarwani. Beberapa sanad hadis yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail al-Bimawi (Bima, Sumbawa). Kh.Muhammad Kholil Sewaktu Belajar di Mekkah Seangkatan dengan KH.Hasyim Asy’ari, KH.Wahab Hasbullah dan KH.Muhammad Dahlan namum Ulama-ulama Dahulu punya kebiasaan Memanggil Guru sesama Rekannya, Dan Kh.Muhammad Kholil yang Dituakan dan dimuliakan diantara mereka.
Sewaktu berada di Mekah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, KH.Muhammad Khalil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu: Syeikh Nawawi al-Bantani, Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri dan Syeikh Saleh as-Samarani (Semarang) menyusun kaedah penulisan huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.
karena Kyai Muhammad Khalil cukup lama belajar di beberapa pondok-pesantren di Jawa dan Mekah, maka sewaktu pulang dari Mekah, beliau terkenal sebagai ahli/pakar nahwu, fiqih, thariqat ilmu-ilmu lainnya. Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Kiyai Muhammad Khalil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya. Kh. Muhammad Khalil al-Maduri adalah seorang ulama yang bertanggungjawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya. Beliau sedar benar bahwa pada zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah oleh bangsa asing yang tidak seagama dengan yang dianutnya. Beliau dan keseluruhan suku bangsa Madura seratus peratus memeluk agama Islam, sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah itu memeluk agama Kristian. Sesuai dengan keadaan beliau sewaktu pulang dari Mekah telah berumur lanjut, tentunya Kiyai Muhammad Khalil tidak melibatkan diri dalam medan perang, memberontak dengan senjata tetapi mengkaderkan pemuda di pondok pesantren yang diasaskannya. Kyai Muhammad Khalil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda kerana dituduh melindungi beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya. beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaana lainnya yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat pendidikan dari Kiyai Muhammad Khalil al-Maduri .
Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyub,” cerita kh Ghozi.
Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngloyor masuk rumah, ganti baju. Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan Mbah Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah Kholil.
”Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,” papar kh Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini.
di antara sekian banyak murid KH. Muhammad Khalil al-Maduri yang cukup menonjol dalam sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia ialah KH. Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok-pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas Nahdhatul Ulama / NU) Kiyai Haji Abdul Wahhab Hasbullah (pendiri Pondok-pesantren Tambakberas, Jombang); Kiyai Haji Bisri Syansuri (pendiri Pondok-pesantren Denanyar); Kiyai Haji Ma’shum (pendiri Pondok-pesantren Lasem, Rembang, adalah ayahanda Kiyai Haji Ali Ma’shum), Kiyai Haji Bisri Mustofa (pendiri Pondok-pesantren Rembang); dan Kyai Haji As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok-pesantren Asembagus, Situbondo).
KH. Muhammad Khalil al-Maduri, wafat dalam usia yang lanjut 106 tahun, pada 29 Ramadan 1341 Hijrah/14 Mei 1923 Masehi.
Biografi Syekh Kholil Bangkalan II
Kiai Kholil lahir pada hari Selasa, 11 Jumadil Akhir 1235 H di Bangkalan Madura. Ayahnya bernama Abdul Latif bin Kiai Harun bin Kiai Muharram bin Kiai Asrol Karomah bin Kiai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman ialah cucu Sunan Gunung Jati. Oleh karena itu beliau sangat mengharap dan mohon kepada Allah SWT agar anaknya menjadi pemimpin umat serta mendambakan anaknya mengikuti jejak Sunan Gunung Jati.
Setelah tahun 1850 Kiai Kholil muda berguru kepada Kiai Muhammad Nur di Pesantren Langitan Tuban, kemudian untuk menambah ilmu dan pengalaman beliau nyantri di Pesantren Cangaan Bangil, Pasuruan. Dari sini pindah lagi ke Pesantren Keboncandi Pasuruan. Selama di Keboncandi beliau juga berguru kepada Kiai Nur Hasan di Sidogiri, Pasuruan. Selama di Keboncandi, beliau mencukupi kebutuhan hidup dan belajarnya sendiri dengan menjadi buruh batik, agar tidak merepotkan orang tuanya, meskipun ayahnya cukup mampu membiayainya.
Kemandirian Kiai Kholil nampak ketika beliau berkeinginan belajar ke Makkah, beliau tidak menyatakan niatnya kepada orang tuanya apalagi minta biaya, tetapi beliau memutuskan belajar di sebuah pesantren di Banyuwangi. Selama nyantri di Banyuwangi ini belaiau juga menjadi buruh pemetik kelapa pada gurunya, dengan diberi upah 2,5 sen setiap pohon, upah ini selalu ditabung.
Tahun 1859 ketika berusia 24 tahun Kiai Kholil memutuskan untuk berangkat ke Makkah dengan biaya tabungannya, tetapi sebelum berangkat oleh orang tuanya Kiai Kholil dinikahkan dengan Nyai Asyik. Di Makkah beliau belajar pada syekh dari berbagai madzhab di Masjidil Haram, tetapi beliau lebih banyak mengaji kepada syekh yang bermadzhab Syafi'i.
Sepulang dari Tanah Suci, Kiai Kholil dikenal sebagai ahli fiqih dan thoriqot yang hebat, bahkan ia dapat memadukan kedua ilmu itu dengan serasi dan beliau juga hafidz (hafal Al-Quran 30 juz). Kiai Kholil kemudian mendirikan pesantren di Desa Cengkebuan.
Setelah puterinya yang bernama Siti Khotimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri Kiai Muntaha, pesantren di Desa Cengkebuan itu diserahkan kepada menantunya. Sedangkan Kiai Kholil sendiri mendirikan pesantren di Desa Kademangan, hampir di pusat kota sekitar 200 m sebelah barat alun-alun Kota Bangkalan. Di pesantren yang baru ini beliau cepat memperoleh santri. Santri yang pertama dari Jawa tercatat nama Hasyim Asy’ari dari Jombang.
Pada tahun 1924 di Surabaya ada sebuah kelompok diskusi yang bernama Tashwirul Afkar yang didirikan oleh seorang kiai muda Abduk Wahab Hasbullah. Dalam perkembangannya, ketika Kiai Wahab Hasbullah beserta Kiai Hasyim Asy’ari bermaksud mendirikan jam’iyah, Kiai Kholil memberikan restu dengan cara memberikan tongkat dan tasbih melalui Kiai As’ad kepada Kiai Hasyim Asy’ari.
Pada tanggal 29 Romadlon 1343 H dalam usia 91 tahun, karena usia lanjut belaiu wafat. Hampir semua pesantren di Indonesia yang ada sekarang masih mempunyai sanad dengan pesantren Kiai Kholil.
Sumber: Pendidikan Aswaja & Ke-NU-an untuk SMP/MTs. PW LP Ma’arif Jawa Timur.
Biografi Mbah KH. Sholeh Darat:Gurunya Pendiri NU dan Muhammadiyah
Membicarakan sosok ulama satu ini mungkin sebagian kita akan langsung teringat dengan ormas terbesar di Indonesia, yaitu NU dan Muhammadiyah. Dan memang tidak dipungkiri, Mbah Hasyim (pendiri NU) dan Mbah Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah) kedua-duanya pernah berguru dan nyantri dengan ulama ini. Seorang ulama dengan sosok yang sangat berwibawa, alim, namun tetap zuhud dan tawadhu'. Ulama yang dimaksud tak lain dan tak bukan yaitu Mbah Sholeh Darat Semarang. Lantas, siapakah beliau ini dan bagaimana biografi perjalanan hidupnya? berikut ini admin akan sedikit mengulas mengenai beliau rahimahullahu ta'ala.
Mbah Sholeh Darat, begitu beliau banyak dikenal masyarakat luas di seluruh pelosok negeri tercinta ini. Nama lengkapnya Muhammad Shalih ibn Umar as-Samarani. Walaupun dikenal sebagai ulama Semarang namun jangan salah,beliau lahir tidak di Semarang namun tepatnya di desa Kedung Jumbleng, Kecamatan Mayong, Kabupaten Jepara, sekitar tahun 1235 hijriyah atau bertepatan dengan tahun 1820 masehi. Adapun nama Darat yang tersemat di belakang nama Sholeh adalah karena beliau tinggal di kawasan yang dekat dengan pantai utara Semarang. Adapun nama Darat kini tetap digigunakan dengan nama Nipah Darat dan Darat Tirto. Kampung Darat saat ini berada dalam wilayah elurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara.
Berguru Kepada Para Ulama
Sejak kecil Mbah Sholeh Darat telah didik untuk mengenal agama. Beliau dengan penuh semangat menimba ilmu agama dari para ulama nusantara yang hidup di masa itu. Diantara sederet nama para ulama ulama yang menjadi rujukan dan tempat nyantri beliau adalah:
- KH. Muhammad Sahid yang merupakan cucu dari Sayyidi Asy-Syaikh ahmad Mutamakkin, seorang waliyullah besar asal daerah Kajen, Margoyoso, Pati, Jawa Tengah. Darinya, beliau belajar banyak kitab, mulai dari Fathul Qarib, Minhajul Qawim, Syarh al-Khatib sampai Fathul Qarib, dan kitab-kitab lainnya.
- KH.R. Muhammad Sholeh ibn Asnawi, Kudus. Dari gurunya ini beliau mendapatkan kesempatan untuk menimba ilmu dan mempelajari kitab tafsir Jalalain yang sangat terkenal itu.
- Kyai Iskak Damaran. Dari beliau ini Mbah Sholeh belajar ilmu nahwu dan ilmu shorof
- Kyai Abu Abdillah Muhammad al-Hadi ibn Baquni. Darinya beliau belajar ilmu falak
- Maulana al-Habib Ahmad Bafaqih Ba'alawi. Darinya beliau mengkaji kitab Jauharah at-Tauhid karya Sayyidi Asy-Syaikh Ibrahim al-Laqani dan kitab Minhajul Abidin karya Sayyidi al-Imam al-Ghazali.
- Syaikh Abdul Ghani. Darinya beliau berkesempatan belajar kitab Masail as-Sittin karya Sayyidi Asy-Syaikh Abul Abbas Ahmad al-Mishri, sebuah kitab berisi tentang ajaran dasar islam populr di jawa sekitar abad ke-19.
- Kyai Syada' dan Kyai Murtadla.
- Sayyidi Asy-Syaikh Muhammad al-Muqri
- Sayyidi Asy-Syaikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makki
- Sayyidi Asy-Syaikh Ahmad ibn Zaini Dahlan
- Sayyidi Asy-Syaikh Ahmad Nahrawi
- Sayyidi Asy-Syaikh As-Sayyid Muhammad Saleh bin Sayyid Abdurrahman Az-Zawawi
- Sayyidi Asy-Syaikh Zahid
- Sayyidi Asy-Syaikh Umar Asy-Syami
- Sayyidi Asy-Syaikh Yusuf al-Mishri
- dan lain sebagainya
Dalam menimba ilmu, sosok Mbah Sholeh muda memang dikenal sebagai sosok santri yang sangat cerdas. Baik ketik masih di nusantara maupun ketika nyantri di Mekkah, pribadi beliau tetap sama, yaitu tekun, cerdas dan ulet. Tak mengherankan apabila di kemudian hari beliau mendapatkan izin dari para gurunya untuk mengajar di Makkah. Dan selama beliau mengajar di sana, banyak sekali para santri yang mempercayakan beliau menjadi guru spiritual mereka, terutama para santri dari kawasan melayu Indonesia.
Kembali Ke Tanah Air dan Menjadi Ulama Besar
Setelah dirasa cukup belajar dan menimba ilmu di Makkah al-Mukarramah, Mbah Sholeh akhirnya kembali lagi ke tanah air demi berjuang dan berkhidmat kepada umat dan tanah air tercinta yang saat itu sedang dalam penjajahan Belanda. Sesampainya di Tana Air, Mbah Sholeh segera mengajar di pondok pesantren Darat milik mertuanya sendiri, KH. Murtadlo. Di tangan beliau inilah, pesantren tersebut mengalami perkembangan sangat pesat. Banyak sekali para santri beliau yang berhasil dan menjadi tokoh besar tanah air. Kita sebut saja misalnya:
- Hadlratusy Syaikh KH. Hasyim Asy-ari Rahimahullahu Ta'ala, pendiri Jam'iyah Nahdlatul Ulama, Ormas islam terbesar di muka bumi ini.
- Sayyidi Asy-Syaikh KH. Ahmad Dahlan, sang pendiri ormas islam Muhammadiyah
- Sayyidi Asy-Syaikh Mahfudz At-Turmusi, Termas, Pacitan, ulama besar dunia, pakar hadits kelas dunia, sang pendiri pesantren Termas Pacitan
- Sayyidi Asy-Syaikh Idris, pendiri pesantren Jamsaren Solo
- Sayyidi Asy-Syaikh Dalhar Watucongol, Wali Besar tanah jawi, pendiri pesantren Watucongol, Muntilan
- Sayyidi Asy-Syaikh Bisri Syamsuri, ulama besar tanah air
- Sayyidi Asy-Syaikh Sya'ban, ulama besar tanah air dan ahli ilmu falak yang amat tersohor
- Raden Ajeng Kartini. Mbah Sholeh merupakan guru spiritual bagi RA. Kartini, seorang putri Indonesia yang Harum Namanya, sang pejuang emansipasi wanita.
- dan lain sebagainya
Karya Mbah Sholeh Menginspirasi Kata Mutiara RA. Kartini "Habis Gelap Terbitlah Terang."
Sebagaimana disebutkan bahwa salah satu murid kesayangan Mbah Soleh Darat adalah RA. Kartini. Ada kisah menarik mengapa RA. Kartini bisa menjadi murid beliau. Diceritakan bahwa suatu ketika RA. Kartini pernah mengalami kejadian tidak menyenangkan ketika sedang mengaji ilmu agama. Guru ngajinya memarahinya karena dia berani bertanya tentang arti sebuah ayat dalam al-Quran. Setelah itu RA. Kartini berkunjung ke ke rumah pamannya yang merupakan seorang Bupati Demak. Di sana ia menyempatkan diri mengikuti pengajiannya Mbah Sholeh darat. Kebetulan pada saat itu Mbah Sholeh sedang membahas tafsir surah al-Fatihah. RA. Kartini pun amat tertarik dan senang dengan penjelasan dan penjabaran Mbah Sholeh. Setelah akrab dengan beliau, RA. Kartini kemudian meminta agar beliau menerjemahkan al-Quran ke dalam bahasa Jawa agar mudah dipahami. Menurut RA. Kartini, percuma saja membaca al-Quran apabila tidak tahu artinya. Akhirnya, Mbah Sholeh pun menerjemahlan al-Quran ke dalam bahasa Jawa. Kitab terjemahan itu kemudian diberi nama Kitab Faid ar-Rahman. Mengingat waktu itu penjajah Belanda melarang orang menerjemahkan al-Quran, maka kemudian mbah Sholeh dalam menerjemahkannya menggunakan huruf arab pegon sehingga penjajah tidak ada yang mencurigainya. Dan perlu diketahui pula bahwasanya kitab Faid ar-Rahman ini merupakan kitab tafsir dan terjemahan pertama di Unswantara dengan menggunakan bahasa Jawa dengan aksara Arab Pegon. Kitab Faid ar-Rahman ini kemudian dihadiahkan kepada R.A. kartini ketika beliau menikah dengan Raden Mas Joyodiningrat, seorang bupati Rembang, Jawa Tengah.
Raden Ajeng Kartini sangat menyukai hadiah Mbah Sholeh darat tersebut, sampai beliau berkata, "selama ini surah al-Fatihah gelap bagi saja. Saya tak mengerti sedikitpun maknanya. tetapi sejak hari ini ia menjadi terang benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab romo kyai telah menerangkannya dalam bahasa jawa yang saya pahami."
Dari kitab Faid ar-Rahman ini RA. Kartini sempat membaca sebuah ayat yang di kemudian hari menjadi inspirasi untuk kata mutiaranya, "Habis Gelap terbitlah Terang". ayat yang dimaksud adalah Q.S. Al-Baqarah ayat 257. Dalam banyak suratnya kepada Abendanon, RA. Kartini banyak mengulang kata "dari gelap menuju cahaya" yang dalam bahasa belanda tertulis "Door Duisternis Toot Licht". Oleh Armin Pane, ungkapan ini diterjemahkan menjadi "Habis Gelap terbitlah Terang", yang menjadi judul buku kumpulan surat-menyuratnya. Adapun kitab Faid ad-Rahman itu sendiri tidak ditulis oleh Mbah Sholeh sampai selesai 30 juz, sebab sebelum sempat menyelesaikannya beliau sudah dipanggi oleh Allah Yang Maha Kuasa.
Karya-Karya Mbah Sholeh Darat
Bisa dikatakan bahwa mbah Sholeh darat merupakan salah satu ulama nusantara yang mendunia dan sangat produktif dalam menelurkan buah karya. Sosoknya yang sangat sederhana dan bersahaja membuat karyanya juga penuh dengan kesederhanaan, ketawadhuan namun sangat berkualitas dan mendalam. Dalam menulis kitab terkadang beliau menyisipkan kalimat merendah seperti misalnya, "Buku ini dipersembahkan kepada orang awam dan orang-orang bodoh seperti saya." Dalam menerjemahkan matan al-Hikam misalnya, pada bagian pendahuluan beliau menulis begini, "ini kitab ringkasan dari matan al-Hikam karya al-arif billah asy-Syaikh ahmad Ibn Athaillah, saya ringkas sepertiga dari asal agar memudahkan terhadap orang awam seperti saya, saya terjemahkan dengan bahasa Jawa agar cepat paham bagi orang yang belajar agama atau mengaji."
Dibalik sikap beliau yang penuh ketawadhuan tersebut sebetulnya menjadi isyarat bagi kita bahwa karya-karya beliau sebetulnya juga sangat tepat diperuntukkan bagi orang awam. Beliau kiranya berusaha untuk menyajikan kitab-kitab yang penuh dengan ilmu yang mudah dipahami, sederhana, dan sangat cocok bagi orang jawa yang belum memahami seluk-beluk bahasa Arab.
Dari sekian banyak kitab karya beliau yang dapat kita jelaskan di sini, adalah:
- Kitab tafsir dan terjemah Faid Ar-Rahman
- Kitab Munjiyat, sebuah kitab tentang tasawuf, yang berisi petikan dari kitab Ihya' Ulumiddin karya Hujjatul Islam Imam al-Ghazali
- Kitab Majmu'ah asy-Syarif al-Kafiyah lil 'Awam. Sebuah kitab yang membicarakan ilmu syariat untuk orang awam
- Kitab al-Hikam. Sebuah kitab tentang tasawuf yang berisi buah pikiran Syaikh Ibn Athaillah as-Sakandari dalam al-Hikam
- Kitab Lathaif ath-Thaharah. Sebuah kitab berisi penjelasan seputar bersui
- Kitab ash-Shalah. Sebuah kitab berisi penjelasan seputar shalat beserta tatacaranya
- Kitab Manasik al-Hajj. Sebuah kitab berisi tentang panduan tata cara melaksanakan ibadah haji
- Kitab Asrarus Shalah. sebuah kitab yang membicarakan rahasia-rahasia yang terkandung dalam shalat
- Kitab Hadits al-Mi'raj. Sebuah kitab tentang perjalanan isra' mi'raj kanjeng nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menerima perintah shalat lima waktu
- Kitab al-Wajiz. Sebuah kitab yang berisi penjelasan tentang tasawuf dan akhlak
- Minhaj al-Atqiya'. Sebuah kitab yang berisi penjelasan seputar tasawuf dan akhlak
- Tarjamah sabil al-Abid 'Ala Jauharah at-Tauhid. Sebuah kitab yang berisi tentang aqidah Ahli Sunnah wal Jamaah sesuai dengan ajran Imam Abul Hasan al-Asyari dan Imam Abu Manshur al- Maturidi.\
- dan lain sebagainya
Wafatnya Mbah Sholeh Darat
Mbah Sholeh Darat atau Sayyidi Asy-Syaikh Al-Hajj Sholeh Darat wafat pada hari Jumat wage, bertepatan dengan tanggal 28 Ramadhan tahun 1321 hijriyah atau 18 Desember tahun 1903 masehi. Beliau kemudian dimakamkan di pemakaman umum Bergota, Semarang. Beliau meninggal dalam usia 83 tahun. Semoga Allah mengampuni segala dosa dan kesalahan beliau dan mengangkat derajat beliau setinggi-tingginya hingga bisa berkumpul bersama Rasulullah, para sahabat, tabi'in, dan ulama al-amilin di akhirat kelak, kekal bersama mereka. aamiin.
KH. Hasyim Asy’ari
Hadrotus Syekh Hasyim Asy’ari. Nama ini begitu popular sebagai tokoh pengembang agama Islam di Nusantara. Kh Hasyim As’ari adalah kakek KH,Abdurrahman wahid presiden Indonesia ke 4 sekaligus pendiri Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang, pendiri Nahdhatul Ulama (Organisasi Islam terbesar di Indonesia). Beliau juga berasal dari garis keturunan Sultan Hadiwijaya raja Kerajaan Pajang. Kerajaan ini adalah pecahan dai Kerajaan Mataram Islam. Kh Hasyim As’ari lahir tanggal 10 April 1875 dan wafat tanggal 25 Juli 1947 dimakamkan di kompleks Pondok Pesantren Tebu Ireng Jombang Jawa Timur.
Asal-usul dan keturunan K.H M.Hasyim Asy’ari tidak dapat dipisahkan dari riwayat kerajaan Majapahit dan kerajaan Islam Demak. Salasilah keturunannya, sebagaimana diterangkan oleh K.H. A.Wahab Hasbullah menunjukkan bahawa leluhurnya yang tertinggi ialah neneknya yang kedua yaitu Brawijaya VI. Ada yang mengatakan bahwa Brawijaya VI adalah Kartawijaya atau Damarwulan dari perkahwinannya dengan Puteri Champa lahirlah Lembu Peteng (Brawijaya VII). Silsilah Kh Hasyim As’ari mulai dari Sunan giri dapat diurutkan sebagai berikut: Ainul Yaqin (Sunan Giri), Abdurrohman (Jaka Tingkir), Abdul Halim (Pangeran Benawa), Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda), Abdul Halim, Abdul Wahid, Abu Sarwan, KH. Asy'ari (Jombang), KH. Hasyim Asy'ari (Jombang)
Semasa hidupnya, ia mendapatkan pendidikan dari ayahnya sendiri, terutama pendidikan di bidang ilmu-ilmu Al-Qur’an dan literatur agama lainnya. Setelah itu, ia menjelajah menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren, terutama di Jawa, yang meliputi Shone, Siwilan Buduran, Langitan Tuban, Demangan Bangkalan, dan Sidoarjo, ternyata K. H. Hasyim Asy’ari merasa terkesan untuk terus melanjutkan studinya. Ia berguru kepada K. H. Ya’kub yang merupaka kiai di pesantren tersebut. Kiai Ya’kub lambat laun merasakan kebaikan dan ketulusan Hasyim Asy’ari dalam perilaku kesehariannya, sehingga kemudian ia menjodohkannya dengan putrinya, Khadijah. Tepat pada usia 21 tahun, tahun 1892, Hasyim Asy’ari melangsungkan pernikahan dengan putri K.H. Ya’kub tersebut.
Pada tahun 1892, KH Hasyim Asyari pergi menimba ilmu ke Mekah, dan berguru pada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Mahfudh at-Tarmisi, Syekh Ahmad Amin Al-Aththar, Syekh Ibrahim Arab, Syekh Said Yamani, Syekh Rahmaullah, Syekh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As-Saqqaf, dan Sayyid Husein Al-Habsyi. Tepat pada tanggal 26 Rabi’ Al-Awwal 120 H. bertepatan 6 Februari 1906 M., Hasyim Asy’ari mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng. Oleh karena kegigihannya dan keikhlasannya dalam menyosialisakan ilmu pengetahuan, dalam beberapa tahun kemudian pesantren relatif ramai dan terkenal.
Kh Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul UlamaTanggal 31 Januari 1926 bersama dengan kyai-kyai lainnya. Organisasi keagamaan ini pun berkembang pesat dan pengaruh Kyai Hasyim Asy'ari juga semakin besar. NU berperan besar bagi pengembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa. Sebagai orang yang berpandangan luas, Kh Hasim as'ari sangat bersifat toleran terhadap aliran atau pendapat yang berbeda dengan konsep dan pemikirannya. Ini dibuktikan dengan akrabnya beliau dengan Kh Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah.. Ia mengutamakan persatuan dan ukhuwah Islamiyah dengan menghindari perpecahan di tubuh umat ISlam. Pada masa pendudukan Jepang, Kyai Hasyim Asy'ari pernah ditangkap tanpa sebab yang jelas. Namun kemudian ia dibebaskan melalui perjuangan anaknya anaknya, K.H. Wahid Hasyim. Setelah Indonesia merdeka, melalui pidato-pidatonya K.H. Hasyim Asy’ari membakar semangat para pemuda supaya mereka berani berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan. Ia meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1947 karena pendarahan otak dan dimakamkan di Tebuireng.
KH Abdul Wahab Hasbullah
Prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat tidak akan mengurangi ruh spiritualitas umat beragama dan kadar keimanan seorang Muslim.
Prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat tidak akan mengurangi ruh spiritualitas umat beragama dan kadar keimanan seorang Muslim.
KH Abdul Wahab Hasbullah adalah salah satu ulama besar yang dimiliki Indonesia. Kiai Wahab merupakan salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama (NU), bersama dengan KH Hasyim Asy’ari dan KH Bisri Syansuri.
Ketokohan dan keilmuan yang dimilikinya, telah diakui sejumlah kalangan, apalagi di lingkungan organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Kiai Wahab merupakan pencetus dasar-dasar kepemimpinan dalam organisasi NU dan membaginya dalam dua badan, Syuriyah dan Tanfidziyah sebagai upaya menyatukan dua generasi berbeda, yakni kalangan tua dan muda.
Tahun 1916, ia mendirikan organisasi Islam bernama Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air). Kemudian pada 1926, ia ditunjuk sebagai ketua Tim Komite Hijaz yang dikirim ke Makkah untuk bertemu dengan Raja Saud (Arab Saudi), yang bermazhab Wahabi, Ketika itu, gerakan Wahabi di Makkah berencana untuk menghancurkan berbagai situs Islam agar tidak menjadi ‘berhala’ bagi umat. Kiai Wahab meminta kebijakan Raja Saud untuk situs-situs Islam tidak dihancurkan. Tujuannya agar umat bisa mengambil hikmah dan pelajaran dari situs-situs tersebut. Persoalan ini pula yang melandasi pemikiran KH Hasyim Asy’ari untuk mendirikan Nahdlatul Ulama tahun 1926.
Saat pendudukan Jepang di Indonesia, Kiai Wahab pernah menjadi Panglima Laskar Mujahidin (Hizbullah). Dan ketika melawan Jepang ini, bersama pasukannya, Kiai Wahab berhasil membebaskan KH M Hasyim Asy’ari dari penjara. Dan setelah Indonesia merdeka, pengasuh pondok pesantren Tambak Beras, Jombang, ini pernah pula menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA), bersama dengan Ki Hajar Dewantara, pendiri Taman Siswa.
Haus akan Ilmu
KH Wahab Hasbullah dilahirkan pada Maret 1888, di Tambakberas, Jombang, Jawa Timur, dan wafat pada 29 Desember 1971. Ayahnya, Kiai Said, adalah pengasuh Pesantren Tambakberas, Jombang, Jawa Timur, sedangkan ibunya bernama Fatimah.
Semenjak kanak-kanak, Abdul Wahab dikenal kawan-kawannya sebagai pemimpin dalam segala permainan. Beliau dididik ayahnya sendiri cara hidup seorang santri. Ia diajak shalat berjamaah, dan sesekali dibangunkan malam hari untuk shalat tahajud.
Tak hanya itu, sang ayah juga membimbingnya untuk menghafalkan Juz Amma dan membaca Alquran dengan tartil dan fasih. Lalu ia dididik mengenal kitab-kitab kuning, dari kitab yang paling kecil (tipis) dan isinya diperlukan untuk amaliyah sehari-hari hingga yang tebal. Misalnya, Kitab Safinah Annaja, Fath al Qorib, Fath al-Mu’in, Fath al-Wahab, Muhadzdzab dan Al Majmu’. Ia juga belajar Ilmu Tauhid, Tafsir, Ulum al-Qur’an, Hadits, dan Ulum al-Hadits.
Kemauan yang keras untuk menimba ilmu sebanyak-banyaknya tampak semenjak masa kecilnya yang tekun dan cerdas memahami berbagai ilmu yang dipelajarinya. Sampai berusia 13 tahun Abdul Wahab berada dalam asuhan langsung ayahnya.
Kemudian, ia menghabiskan masa remajanya dengan menimba ilmu di sejumlah pesantren. Ia pernah belajar di Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Mojosari Nganjuk, Pesantren Tawangsari Sepanjang. Ia juga pernah berguru kepada Syekh R Muhammad Kholil dari Bangkalan Madura dan KH M Hasyim Asy’ari, pengasuh Pesantren Tebuireng Jombang.
Tak puas hanya belajar di pesantren-pesantren tersebut, pada usia sekitar 27 tahun, pemuda Abdul Wahab pergi ke Makkah untuk menuntut ilmu. Di tanah suci itu, ia mukim selama lima tahun dan belajar pada Syekh Mahfudz at-Tirmasi (Termas, Pacitan) dan Syekh al-Yamani. Setelah pulang ke Tanah Air, ia langsung diterima oleh umat Islam dan para ulama dengan penuh kebanggaan.
Tashwirul Afkar
Di kalangan pesantren, sosok KH Abdul Wahab Hasbullah dikenal sebagai seorang ulama yang berpandangan modern. Ia selalu menekankan pentingnya kebebasan dalam keberagaman, terutama kebebasan berpikir dan berpendapat di kalangan umat Islam Indonesia.
Untuk itu, ia mendirikan surat kabar, yaitu harian umum Soeara Nahdlatul Oelama atau juga dikenal dengan Soeara NO dan Berita Nahdlatul Ulama.
Kiai Wahab juga membentuk kelompok diskusi antarulama, baik di lingkungan NU, Muhammadiyah, dan organisasi Islam lainnya, pada 1914 di Surabaya. Kelompok diskusi bentukan Kyai Wahab ini diberi nama Tashwirul Afkar (Pergolakan Pemikiran).
Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi, berkat prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat yang diterapkan dan topik-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini menjadi sangat populer dan menarik perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh Islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum itu untuk memperdebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap penting.
Tashwirul Afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren. Ia juga menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antartokoh nasional sekaligus jembatan bagi komunikasi antara generasi muda dan generasi tua. Dari posnya di Surabaya, kelompok ini menjalar hampir ke seluruh kota di Jawa Timur. Bahkan, gaungnya sampai ke daerah-daerah lain di seluruh Jawa.
Tak hanya mendiskusikan masalah-masalah kemasyarakatan yang muncul, kelompok ini juga menggalang kaum intelektual dari tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Karena sifat rekrutmennya yang lebih mementingkan progresivitas berpikir dan bertindak, akhirnya kelompok diskusi ini menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada pemikiran keilmuan dan dunia politik.
Bersamaan dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten, Surabaya, Kiai Wahab bersama KH Mas Mansur menghimpun sejumlah ulama dalam organisasi Nahdlatul Wathan yang mendapatkan kedudukan badan hukumnya pada 1916. Dari organisasi inilah KH Wahab mendapat kepercayaan dan dukungan penuh dari ulama pesantren yang sepaham dengan pemikirannya. Di antara ulama yang berhimpun itu adalah Kiai Bisri Syamsuri (dari Denanyar Jombang), Kiai Abdul Halim (Leimunding Cirebon), KH Alwi Abdul Aziz, Kiai Ma’shum (Lasem), dan Kiai Cholil (Kasingan Rembang). Sementara di kalangan pemudanya disediakan wadah, Syubban al-Wathan (Pemuda Tanah Air).
Kebebasan berpikir dan berpendapat yang dipelopori Kiai Wahab dengan membentuk Tashwirul Afkar merupakan warisan terpenting bagi kaum Muslim Indonesia.
Ia telah mencontohkan kepada generasi penerusnya bahwa prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat dapat dijalankan dalam nuansa keberagamaan yang kental. Prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat tidak akan mengurangi ruh spiritualitas umat beragama dan kadar keimanan seorang Muslim. Dengan prinsip kebebasan berpikir dan berpendapat, kaum Muslim justru akan mampu memecahkan problem sosial kemasyarakatan dengan pisau analisis keislaman.
Pada 1920, Kiai Wahab bersama dengan Dr Soetomo merintis terbentuknya Islam Studie Club. Melalui Islam Studie Club, kedua tokoh pergerakan ini merintis sebuah gerakan yang kelak menjadi cikal bakal munculnya pemikiran yang memberikan arah bagi kerja sama antara kekuatan Islam dan Nasionalis menuju terciptanya tatanan masyarakat maju dan modern tanpa mengenyampingkan nilai-nilai keagamaan. Ini merupakan sumbangan terbesar yang diberikan seorang ulama kepada bangsa.
Melalui Tashwirul Afkar, Nahdlatul Wathan dan Syubban al-Wathan, maupun Islam Studie Club solidaritas di kalangan kaum pergerakan dan tokoh keagamaan kian memuncak. Hal ini menimbulkan dampak makin bergeloranya semangat cinta Tanah Air di kalangan pemuda. ed:sya
Mengembangkan Dakwah Melalui Media
Bersama tokoh NU lainnya, Kiai Wahab pernah membeli sebuah percetakan beserta sebuah gedung sebagai pusat aktivitas NU di Jalan Sasak 23 Surabaya. Dari sini kemudian ia merintis tradisi jurnalistik modern dalam NU. Ini dilandasi oleh pemikirannya yang sederhana, yaitu bagaimana menyebarkan gagasan NU secara lebih efektif dan efisien yang selama ini dijalankan melalui dakwah panggung dan pengajaran di pesantren.
Dari percetakan ini kemudian diterbitkan majalah tengah bulanan Soeara Nahdlatul Oelama. Selama tujuh tahun majalah ini dipimpin Kiai Wahab sendiri. Teknis redaksional dari majalah tersebut lalu disempurnakan oleh Kiai Machfudz Siddiq dan namanya diganti menjadi Berita Nahdlatul Ulama. Di samping itu diterbitkan pula Suluh Nahdlatul Ulama, lalu Terompet Anshor, dan majalah berbahasa Jawa Penggugah. Dari tradisi kepenulisan ini NU pernah melahirkan jurnalis-jurnalis ternama, seperti Asa Bafaqih, Saifuddin Zuhri, dan Mahbub Junaidi. Juga memiliki surat kabar prestisius seperti Duta Masyarakat. nidia ed:sya
Keberadaan Gerakan Pemuda Anshor (GP Anshor) tidak terlepas dari peran KH Abdul Wahab Hasbullah. Kelahiran organisasi pemuda NU ini berawal dari perbedaan antara tokoh tradisional dan tokoh modernis yang muncul di tubuh Nahdlatul Wathan, organisasi keagamaan yang bergerak di bidang pendidikan Islam, pembinaan mubaligh, dan pembinaan kader.
KH Abdul Wahab Hasbullah, tokoh tradisional dan KH Mas Mansyur yang berhaluan modernis, akhirnya menempuh arus gerakan yang berbeda justru di saat tengah tumbuhnya semangat untuk mendirikan organisasi kepemudaan Islam.
Dua tahun setelah perpecahan itu, pada 1924, para pemuda yang mendukung KH Abdul Wahab Hasbullah membentuk wadah dengan nama Syubbanul Wathan (Pemuda Tanah Air). Organisasi inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya GP Ansor setelah sebelumnya mengalami perubahan nama seperti Persatuan Pemuda NU (PPNU), Pemuda NU (PNU), dan Anshoru Nahdlatul Oelama (ANO).
Penggunaan nama Ansor ini merupakan saran KH Wahab Hasbullah. Nama ini diambil dari nama kehormatan yang diberikan Nabi Muhammad SAW kepada penduduk Madinah yang telah berjasa dalam perjuangan membela dan menegakkan agama Allah. Dengan demikian, keberadaan GP Ansor dimaksudkan dapat mengambil hikmah serta teladan terhadap sikap, perilaku, dan semangat perjuangan para sahabat Nabi yang mendapat predikat Ansor tersebut. Gerakan ANO harus senantiasa mengacu pada nilai-nilai dasar sahabat Ansor, yakni sebagi penolong, pejuang, dan bahkan pelopor dalam menyiarkan, menegakkan, dan membentengi ajaran Islam.
Meski ANO dinyatakan sebagai bagian dari NU, secara formal organisatoris belum tercantum dalam struktur organisasi NU. Baru pada Muktamar NU ke-9 di Banyuwangi, tepatnya pada 10 Muharram 1353 H atau 24 April 1934, ANO diterima dan disahkan sebagai bagian (departemen) pemuda NU.
Dimasukkannya ANO sebagai salah satu departemen dalam struktur kelembagaan NU berkat perjuangan kiai-kiai muda seperti KH Machfudz Siddiq, KH A Wahid Hasyim, KH Dachlan Kertosono, Thohir Bakri, dan Abdullah Ubaid serta dukungan dari ulama senior KH Abdul Wahab Hasbullah.
Pada masa penjajahan Jepang, keberadaan organisasi-organisasi pemuda, termasuk ANO, diberangus. Setelah revolusi fisik (1945-1949) usai, tokoh ANO Surabaya, Mohammad Chusaini Tiway, mengemukakan ide untuk mengaktifkan kembali ANO. Ide ini mendapat sambutan positif dari KH A Wahid Hasyim, Menteri Agama RIS kala itu. Maka, pada 14 Desember 1949 lahir kesepakatan membangun kembali ANO dengan nama baru, yakni Gerakan Pemuda Ansor, disingkat Pemuda Ansor (kini lebih pupuler disingkat GP Ansor).
(Sumber : republika.co.id/koran/0/89451/KH_Abdul_Wahab_Hasbullah_Pemikir_Progresif_NU)
Kyai Haji Ahmad Dahlan adalah nama popular sebagai pendiri organisasi Islam Muhammadiyah sekaligus pahlawan nasional yang banyak berjasa dibidang pendidikan modern di Indonesia. Ia dilahirkan tanggal 23 Februari 1923 putra Kh Abu Bakar (seorang ulama dan khatib terkemuka Masjid Kesultanan Yogyakarta). Kh Ahmad Dahlan lahir dari keluarga Kiyai, terpelajar dan tergolong kaum ningrat Jawa. Kh Ahmad Dahlan berasal dari garis keturunan Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa.
Pola pemikiran Kh Ahmad Dahlan banyak dipengaruhi pemikiran Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah ketika Ia tinggal dan belajar selama lima tahun di Mekkah dan berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah. Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta untuk melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaruan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. la ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 Nopember 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan. Disamping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi wiraswasta yang cukup menggejala di masyarakat.
Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat, Dahlan dengan mudah diterima dan dihormati di kalangan masyarakat, sehingga ia mendapat tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan mendapatkan tentangan baik dari keluarga maupun masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. la dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kyai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen, mengajar di sekolah Belanda, serta bergaul dengan tokoh-tokoh Budi Utomo yang kebanyakan dari golongan priyayi.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Maka dari itu kegiatannya dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, Imogiri dan lain-Iain telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Al-Munir di Ujung Pandang. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam.
Dahlan juga bersahabat dan berdialog dengan tokoh agama lain seperti Pastur van Lith pada 1914-1918. Van Lith adalah pastur pertama yang diajak dialog oleh Dahlan. Pastur van Lith di Muntilan yang merupakan tokoh di kalangan keagamaan Katolik. Pada saat itu Kiai Dahlan tidak ragu-ragu masuk gereja dengan pakaian hajinya. Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, disamping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921. Sampai saat ini Muhammadiyah terus berkembang dan menjadi organisasi Islam modern yang mengembangkan sistem pendidikan mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Muhammadiyah juga berkembang menjadi organisasi Islam terbesar kedua setelah NU.
Atas jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657 tahun 1961. Kisah hidup dan perjuangan Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadyah diangkat ke layar lebar dengan judul Sang Pencerah karya sutradara Hanung Bramantio. Film ini bercerita tentang perjuangan dan semangat patriotisme anak muda dalam merepresentasikan pemikiran-pemikirannya yang dianggap bertentangan dengan pemahaman agama dan budaya pada masa itu, dengan latar belakang suasana Kebangkitan Nasional.
KH. Hamid Pasuruan
Kiai Hamid lahir pada tahun 1333 H (bertepatan dengan 1914 atau 1915 M) di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tepatnya di dukuh Sumurkepel, desa Sumbergirang. Sebuah pedukuhan yang terletak di tengah kota kecamatan Lasem. Begitu lahir, bayi itu diberi nama Abdul Mu’thi. Itulah nama kecil beliau hingga remaja, sebelum berganti menjadi AbdulHamid.
Abdul Mu’thi kecil biasa dipanggil “Dul” saja. Tapi, seringkali panggilan ini diplesetkan menjadi “Bedudul” karena kenakalannya.
Mu’thi memang tumbuh sebagai anak yang lincah, extrovert, dan nakal. “Nakalnya luar biasa,” tutur KH. Hasan Abdillah Glenmore, adik sepupu beliau. Tapi nakalnya Mu’thi tidak seperti anak-anak sekarang: yang sampai mabuk-mabukan atau melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Mu’thi adalah kenakalan bocah yang masih dalam batas wajar, tapi untuk ukuran anak seorang kiai dipandang “luar biasa”. Sebab, sehari-hari dia jarang di rumah. Hobinya adalah bermain sepak bola dan layang-layang. Beliau bisa disebut bolamania alias gila sepak bola, dan ayahandanya tak bisa membendung hobi ini. Karena banyak bermain, ngajinya otomatis kurang teratur walaupun bukan ditinggalkan sama sekali. Dia mengaji kepada KH. Ma’shum (ayahanda KH. Ali Ma’shum Jogjakarta) dan KH. Baidhawi, dua “pentolan” ulama Lasem.
Kini Sulit Dicari Padanannya
Kiai Hamid lahir pada tahun 1333 H (bertepatan dengan 1914 atau 1915 M) di Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Tepatnya di dukuh Sumurkepel, desa Sumbergirang. Sebuah pedukuhan yang terletak di tengah kota kecamatan Lasem. Begitu lahir, bayi itu diberi nama Abdul Mu’thi. Itulah nama kecil beliau hingga remaja, sebelum berganti menjadi Abdul Hamid.
Abdul Mu’thi kecil biasa dipanggil “Dul” saja. Tapi, seringkali panggilan ini diplesetkan menjadi “Bedudul” karena kenakalannya.
Mu’thi memang tumbuh sebagai anak yang lincah, extrovert, dan nakal. “Nakalnya luar biasa,” tutur KH. Hasan Abdillah Glenmore, adik sepupu beliau. Tapi nakalnya Mu’thi tidak seperti anak-anak sekarang: yang sampai mabuk-mabukan atau melakukan perbuatan asusila. Nakalnya Mu’thi adalah kenakalan bocah yang masih dalam batas wajar, tapi untuk ukuran anak seorang kiai dipandang “luar biasa”. Sebab, sehari-hari dia jarang di rumah. Hobinya adalah bermain sepak bola dan layang-layang. Beliau bisa disebut bolamania alias gila sepak bola, dan ayahandanya tak bisa membendung hobi ini. Karena banyak bermain, ngajinya otomatis kurang teratur walaupun bukan ditinggalkan sama sekali. Dia mengaji kepada KH. Ma’shum (ayahanda KH. Ali Ma’shum Jogjakarta) dan KH. Baidhawi, dua “pentolan” ulama Lasem.
Ketika mulai beranjak remaja (ABG), dia mulai gemar belajar kanoragan (semacam ilmu kesaktian). Belajarnya cukup intensif sehingga mencapai taraf ilmu yang cukup tinggi. “Sampai bisa menangkap babi jadi-jadian,” tutur KH. Zaki Ubaid Pasuruan.
Meski begitu, sejak kecil ia sudah menunjukkan tanda-tanda bakal menjadi wali atau, setidaknya, orang besar. Ketika diajak kakeknya, KH. Muhammad Shiddiq (Jember), pergi haji, Mu’thi bertemu dengan Rasulullah s.a.w. Pada saat haji itulah namanya diganti menjadi Abdul Hamid.
Dipondokkan
Pada usia sekitar 12-13 tahun, Hamid dikirim ayahandanya, K.H. Abdullah Umar, ke Pondok Kasingan, Rembang. Maksud ayahandanya, untuk meredam kenakalannya. Dia tidak lama di pondok ini. Satu atau satu setengah tahun kemudian dia pindah ke Pondok Tremas, Pacitan. Pondok pimpinan KH. Dimyathi ini cukup besar dan berwibawa. Dari pondok ini terlahir banyak kiai besar. Di antaranya adalah KH. Ali Ma’shum Jogjakarta (mantan rais am PB NU), KH. Masduqi Lasem, KH. Abdul Ghofur Pasuruan, KH. Harun Banyuwangi, dan masih banyak lagi.
Walaupun kegemarannya bermain sepak bola masih berlanjut, di pesantren ini beliau mulai mendapat gemblengan ilmu yang sebenarnya. Uang kiriman orangtua yang hanya cukup untuk dipakai makan nasi thiwul tidak membuatnya patah arang. Dia tetap betah tinggal di sana sampai 12 tahun, hingga mencapai taraf keilmuan yang tinggi di berbagai bidang.
Tidak Suka Dipuja
Setelah 12 tahun belajar agama di Pondok Tremas, tokoh kita itu dipinang oleh pamandanya, KH. Achmad Qusyairi, untuk dikawinkan dengan putrinya, Nafisah.
Konon, Kiai Achmad pernah menerima pesan dari ayahandanya, KH. Muhammad Shiddiq, supaya mengambil Hamid sebagai menantu mengingat keistimewaan-keistimewaan yang tampak pada pemuda tersebut. Antara lain, saat pergi haji dulu, dia bisa berjumpa dengan Rasulullah s.a.w. Sayang, sang kakek tak sempat melihat pernikahan itu karena lebih dulu dipanggil Sang Mahakuasa.
Seperti disebut dalam surat undangan, akad nikah akan dilangsungkan pada 12 September 1940 M, bertepatan dengan 9 Sya’ban 1359 H, selepas zhuhur pukul 1 di Masjid Jami’ (sekarang Masjid Agung Al-Anwar) Pasuruan. Namun, rencana tinggal rencana. Pada waktu yang ditentukan, para undangan sudah berkumpul di Masjid Jami’, namun rombongan penganten pria tak kunjung muncul hingga jam menunjuk pukul 2. Terpaksa acara melompat ke sesi berikutnya, yaitu walimah di rumah Kiai Achmad Qusyairi di Kebonsari, di kompleks Pesantren Salafiyah.
Di sana kembali orang-orang dibuat menunggu. Ternyata, rombongan penganten pria baru datang sore hari, setelah acara walimah rampung dan para undangan pulang semua. “Anu, penganten kuajak mampir ke makam (para wali),” kata Kiai Ma’shum, yang dipercaya menjadi kepala rombongan. Apa boleh buat, akad nikah pun dilangsungkan tanpa kehadiran undangan, dan hanya disaksikan para handai tolan.
Sejak itu, Haji Abdul Hamid tinggal di rumah mertuanya. Lima atau enam tahun kemudian, Kiai Achmad pindah ke Jember, lalu pindah ke Glenmore, Banyuwangi. Tinggallah kini Kiai Hamid bersama istrinya harus berjuang secara mandiri mengarungi samudera kehidupan dalam biduk rumah tangga yang baru mereka bina. Untuk menghidupi diri dan keluarga, Kiai Hamid berusaha apa saja. Dari jual beli sepeda, berdagang kelapa dan kedelai sampai menyewa sawah dan berdagang spare part dokar.
Prihatin
Hari-hari mereka adalah hari-hari penuh keprihatinan. Makan nasi dengan krupuk atau tempe panggang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Terkadang, sarung yang sudah menerawang (karena usang) masih dipakai (dengan dilapisi kain serban supaya warna kulitnya tidak kelihatan). Tapi, Kiai Hamid tak kenal putus asa, terus berusaha dan berusaha.
Kala itu beliau belum terlibat dalam kegiatan Pesantren Salafiyah, meski tinggal di kompleks pesantren. Di tengah hidup prihatin itu, beliau mulai punya santri — dua orang — yang ditempatkan di sebuah gubuk di halaman rumah. Beliau juga mulai menggelar pengajian di berbagai desa di kabupaten Pasuruan: Rejoso, Ranggeh dan lain-lain.
Sekitar 1951, sepeninggal KH. Abdullah ibn Yasin yang jadi nazhir (pengasuh) Pondok Salafiyah, beliau dipercaya sebagai guru besar pondok, sementara KH. Aqib Yasin, adik Kiai Abdullah, menjadi nazhir. Meski demikian, secara de facto, beliaulah yang memangku pondok itu, mengurusi segala tetek bengek sehari-hari, day to day karena Kiai Aqib yang muda itu, masih belajar di Lasem.
Fenomenal
Kiai Hamid benar-benar berangkat dari titik nol dalam membina Pondok Salafiyah. Sebab, saat itu tidak ada santri. Para santri sebelumnya tidak tahan dengan disiplin tinggi yang diterapkan Kiai Abdullah.
Walaupun tak ada promosi, satu demi satu santri mulai berdatangan. Prosesnya sungguh natural, tanpa rekayasa. Perkembangannya memang tidak bisa dibilang melesat cepat, tapi gerak itu pasti. Terus bergerak dan bergerak hingga kamar-kamar yang ada tidak mencukupi untuk para santri dan harus dibangun yang baru; hingga jumlah santrinya mencapai ratusan orang, memenuhi ruang-ruang pondok yang lahannya tak bisa diperluas lagi karena terhimpit rumah-rumah penduduk; hingga pada akhirnya, terdorong oleh perkembangan zaman, fasilitas baru pun perlu disediakan, yaitu madrasah klasikal.
Perkembangan fenomenal terjadi pada pribadi beliau. Dari semula hanya dipanggil “haji” lalu diakui sebagai “kiai”, pengakuan masyarakat semakin membesar dan membesar. Tamunya semakin lama semakin banyak. Terutama setelah wafatnya Habib Ja’far As-Segaf (wali terkemuka Pasuruan waktu itu yang jadi guru spiritualnya) sekitar 1954, sinarnya semakin membesar dan membesar. Kiai Hamid sendiri mulai diakui sebagai wali beberapa tahun kemudian, sekitar awal 1960-an. Pengakuan akan kewalian itu kian meluas dan meluas, hingga akhirnya mencapai taraf — meminjam istilah Gus Mus — “muttafaq ‘alaih” (disepakati semua orang, termasuk di kalangan mereka yang selama ini tak mudah mengakui kewalian seseorang).
Lurus
Ketika Kiai Hamid mulai berkiprah di Pasuruan, tak sedikit orang yang merasa tersaingi. Terutama ketika beliau menggelar pengajian di kampung-kampung. Maklumlah, beliau seorang pendatang. Ada kiai setempat yang menuduh beliau mencari pengaruh, dan menggerogoti santri mereka. Padahal, Kiai Hamid mengajar di sana atas permintaan penduduk setempat.
Ibarat kata pepatah Jawa “Becik ketitik, ala ketara”, lambat laun beliau dapat menghapus kesan itu. Bukan dengan rekayasa atau “politik pencitraan” yang canggih, melainkan dengan perbuatan nyata. Dengan tetap berjalan lurus, dan terutama dengan sikap tawadhu’, kehadiran beliau akhirnya dapat diterima sepenuhnya. Bahkan mereka menaruh hormat pada beliau justru karena sikap tawadhu’ itu.
Beliau memang rendah hati (tawadhu’). Kalau menghadiri suatu acara, beliau memilih duduk di tempat “orang-orang biasa”, yaitu di belakang, bukan di depan. “Kiai Hamid selalu ndepis (menyembunyikan diri) di pojok,” kata Kiai Hasan Abdillah.
Hormat
Beliau bersikap hormat pada siapapun. Dari yang miskin sampai yang kaya, dari yang jelata sampai yang berpangkat, semua dilayaninya, semua dihargainya. Misalnya, bila sedang menghadapi banyak tamu, beliau memberikan perhatian pada mereka semua. Mereka ditanyai satu per satu sehingga tak ada yang merasa disepelekan. “Yang paling berkesan dari Kiai Hamid adalah akhlaknya: penghargaannya pada orang, pada ilmu, pada orang alim, pada ulama. Juga tindak tanduknya,” kata Mantan Menteri Agama, Prof. Dr. Mukti Ali, yang pernah menjadi junior sekaligus anak didiknya di Pesantren Tremas.
Beliau sangat menghormat pada ulama dan habaib. Di depan mereka, sikap beliau layaknya sikap seorang santri kepada kiainya. Bila mereka bertandang ke rumahnya, beliau sibuk melayani. Misalnya, ketika Sayid Muhammad ibn Alwi Al-Maliki, seorang ulama kondang Mekah (yang baru saja wafat), bertamu, beliau sendiri yang mengambilkan suguhan, lalu mengajaknya bercakap sambil memijatinya. Padahal tamunya itu lebih muda usia.
Sikap tawadhu’ itulah, antara lain, rahasia “keberhasilan” beliau. Karena sikap ini beliau bisa diterima oleh berbagai kalangan, dari orang biasa sampai tokoh. Para kiai tidak merasa tersaingi, bahkan menaruh hormat ketika melihat sikap tawadhu’ beliau yang tulus, yang tidak dibuat-buat. Derajat beliau pun meningkat, baik di mata Allah maupun di mata manusia. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah s.a.w., “Barangsiapa bersikap tawadhu’, Allah akan mengangkatnya.”
Sabar
Beliau sangat penyabar, sementara pembawaan beliau halus sekali. Sebenarnya, di balik kehalusan itu tersimpan sikap keras dan temperamental. Hanya berkat riyadhah (latihan) yang panjang, beliau berhasil meredam sifat cepat marah itu dan menggantinya dengan sifat sabar luar biasa. Riyadhah telah memberi beliau kekuatan nan hebat untuk mengendalikan amarah.
Beliau, misalnya, dapat menahan amarah ketika disorongkan oleh seorang santri hingga hampir terjatuh. Padahal, santri itu telah melanggar aturan pondok, yaitu tidak tidur hingga lewat pukul 9 malam. Waktu itu hari sudah larut malam. Beliau disorongkan karena dikira seorang santri. “Sudah malam, ayo tidur, jangan sampai ketinggalan salat subuh berjamaah,” kata beliau dengan suara halus sekali.
Beliau juga tidak marah mendapati buah-buahan di kebun beliau habis dicuri para santri dan ayam-ayam ternak beliau ludes dipotong mereka. “Pokoknya, barang-barang di sini kalau ada yang mengambil (makan), berarti bukan rezeki kita,” kata beliau.
Pada saat-saat awal beliau memimpin Pondok Salafiyah, seorang tetangga sering melempari rumah beliau. Ketika tetangga itu punya hajat, beliau menyuruh seorang santri membawa beras dan daging ke rumah orang tersebut. Tentu saja orang itu kaget, dan sejak itu kapok, tidak mau mengulangi perbuatan usilnya tadi.
Beliau juga tidak marah ketika seorang yang hasud mencuri daun pintu yang sudah dipasang pada bangunan baru di pondok.
Penyakit Hati
Melalui riyadhah dan mujahadah (memerangi hawa nafsu) yang panjang, beliau telah berhasil membersihkan hati beliau dari berbagai penyakit. Tidak hanya penyakit takabur dan amarah, tapi juga penyakit lainnya. Beliau sudah berhasil menghalau rasa iri dan dengki. Beliau sering mengarahkan orang untuk bertanya kepada kiai lain mengenai masalah tertentu. “Sampeyan tanya saja kepada Kiai Ghofur, beliau ahlinya,” kata beliau kepada seorang yang bertanya masalah fiqih. Beliau pernah marah kepada rombongan tamu yang telah jauh-jauh datang ke tempat beliau, dan mengabaikan kiai di kampung mereka. Beliau tak segan “memberikan” sejumlah santrinya kepada KH. Abdur Rahman, yang tinggal di sebelah rumahnya, dan kepada Ustaz Sholeh, keponakannya yang mengasuh Pondok Pesantren Hidayatus Salafiyah.
Bergunjing
Menghilangkan rasa takabur memang sangat sulit. Terutama bagi orang yang memiliki kelebihan ilmu dan pengaruh. Ada yang tak kalah sulitnya untuk dihapus, yaitu kebiasaan menggunjing orang lain. Bahkan para kiai yang memiliki derajat tinggi pun umumnya tak lepas dari penyakit ini. Apakah menggunjing kiai saingannya atau orang lain. Kiai Hamid, menurut pengakuan banyak pihak, tak pernah melakukan hal ini. Kalau ada orang yang hendak bergunjing di depan beliau, beliau menyingkir. Sampai KH. Ali Ma’shum berkata, “Wali itu ya Kiai Hamid itulah. Beliau tidak mau menggunjing (ngrasani) orang lain.”
Manusia Biasa
Kiai Hamid, seperti para wali lainnya, adalah tiang penyangga masyarakatnya. Tidak hanya di Pasuruan tapi juga di tempat-tempat lain. Beliau adalah sokoguru moralitas masyarakatnya. Beliau adalah cermin (untuk melihat borok-borok diri), beliau adalah teladan, beliau adalah panutan. Beliau dipuja, di mana-mana dirubung orang, ke mana-mana dikejar orang (walaupun beliau sendiri tidak suka, bahkan marah kalau ada yang mengkultuskan beliau).
Bagaimanapun beliau manusia biasa (Rasulullah pun manusia biasa), yang harus merasakan kematian. Sabtu 9 Rabiul Awal 1403 H, bertepatan dengan 25 Desember 1982 M, menjadi awal berkabung panjang bagi msyarakat muslim Pasuruan, dan muslim di tempat lain. Hari itu, saat ayam belum berkokok, hujan tangis memecah kesunyian di rumah dalam kompleks Pesantren Salafiyah. Setelah jatuh anfal beberapa hari sebelumnya dan sempat dirawat di Rumah Sakit Islam (RSI) Surabaya karena penyakit jantung yang akut, beliau menghembuskan nafas terakhir. Inna lillahi wa inna lillahi raji’un.
Umat pun menangis. Pasuruan seakan terhenti, bisu, oleh duka yang dalam. Puluhan, bahkan ratusan ribu orang berduyun-duyun membanjiri Pasuruan. Memenuhi relung-relung Masjid Agung Al-Anwar dan alun-alun kota, memadati gang-gang dan ruas-ruas jalan yang membentang di depannya. Mereka, dalam gerak serentak, di bawah komando seorang imam, KH. Ali Ma’shum Jogjakarta, mengangkat tangan “Allahu Akbar” empat kali dalam salat janazah yang kolosal. Allahumma ighfir lahu warhamhu, ya Allah ampunilah dosanya dan rahmatilah dia.
Hamid Ahmad
sumber : Salafiyah.org
KH. Utsman Al Ishaqi
Bagi murid-murid atau pengikut Thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah, figur Kyai Utsman tidak asing lagi. Karena di samping beliau sebagai mursyidnya, juga penyusun silsilah thariqah yang paling banyak pengikutnya ini.
Lahir di Surabaya pada bulan Jumadil Akhir 1334 H setelah bertapa selama 16 bulan dalam rahim ibu, beliau memiliki silsilah keturunan hingga Rasulullah SAW yang ke 37, Kiyai Utsman lebih banyak masa kecilnya dihabiskan untuk belajar dan mengaji ke beberapa guru di lingkungan beliau lahir. Tak heran jika pada usia 7 tahun Kiyai Utsman kecil telah 3 kali khatam Al Qur’an. Nasab beliau
Muhammad Utsman – Surati – Abdullah – Mbah Deso – Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan Bagus – Ki Ageng Pangeran Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guo – Fadlullah Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri – Maulana Ishaq – Ibrahim Al Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul Alam – Jamaluddin Al Akbar Al Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan – Abdul Malik – Alawi – Muhammad Shohib Mirbath – Ali Kholi’ Qasam – Alawi – Muhammad – Alawi – Ubaidillah – Ahmad Al Muhajir – Isa An Naqib Ar Rumi – Muhammad An Naqib – Ali Al Uraidli – Ja’far As Shodiq – Muhammad Al Baqir – Ali Zainal Abidin – Hussain Bin Ali – Ali Bin Abi Thalib / Fathimah Binti Rasulullah SAW.
Pesantren yang pertama kali disinggahi untuk menuntut ilmu ialah pesantren yang diasuh oleh Kyai Khozin Siwalan Panji. Tidak lama kemudian beliau pindah ke pesantren yang diasuh Kyai Munir Jambu Madura. Selanjutnya oleh kedua orang tuanya, Kyai Utsman dipondokkan di pesantren Tebuireng Jombang asuhan KH. Hasyim Asy’ari dan akhirnya Kyai Utsman memantapkan hatinya untuk memperdalam ilmunya di pesantren Rejoso Peterongan Jombang yang diasuh oleh Kyai Romly At Tamimi.
Mengenal thariqah
Perjalanan Kiyai Utsman dalam mencari ilmu diwarnai dengan berbagai lelaku. Tidak saja dalam hal makanan dan minuman saja yang harus dihindari. Akan tetapi juga dalam hal memperbanyak waktu untuk tidurpun juga harus dijalani. Dalam hal tirakat, Yai Utsman tidak pernah pulang ke rumah selama mondok, kecuali badannya sudah kurus benar. Sebab jika pulang dalam keadaan badan gemuk, dapat dipastikan kedua orang tuanya akan marah besar. Jika hal ini terjadi, berarti selama mondok dianggap aktifitasnya hanya makan dan minum saja, bukan mencari ilmu.
Setelah cukup waktu nyantri di Kiyai Romly, Kiyai Utsman dibai’at oleh Kiyai Romly sebagi murid thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah dan sekaligus mendapat tugas dari kyainya untuk menyusun silsilah thariqah Qadiriyah Wan Naqsabandiyah yang terhimpun dalam kitab Tsamrotul Fikriyah.
Konon, KH. Utsman adalah salah satu murid kesayangan KH. Romli Tamim (ayah KH. Musta’in) Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Beliau dibaiat sebagai mursyid bersama Kyai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri asal Mojokerto. Kemudian sepeninggal Kiai Musta’in (sekitar tahun 1977), beliau mengadakan kegiatan sendiri di kediamannya Sawah Pulo Surabaya.
Kyai Utsman mengembangkan tarekat di Kedinding Lor Surabaya. Penerusnya Kyai Ahmad Asrori. Dikembangkan kegiatan khushushiyah setiap Ahad pertama bulan Hijriyah di Jatipurwo dan Ahad kedua di Kedinding Lor. Pengikut kegiatan bisa mencapai rata-rata 4.000 orang (lebih banyak dari Rejoso dan Cukir yang pada saat itu berjumlah rata-rata 1.000 orang).Dalam perkembangannya penerus Tarekat Kedinding Lor, Kyai Hilmi Ahmad, mengemukakan sikap pendirinya, bahwa tarekatnya netral, tidak memihak salah satu organisasi sosial politik manapun. Alasannya, kegiatan tarekat untuk ibadah, dzikir kepada Allah, taqarrub kepada Allah.
“Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. QS. Al Mujaadalah {58] : 11