Hujjatul Islam: Syekh Yusuf Al-Makassari, Ulama dan Sufi dari Makassar (1)
Seorang laki-laki datang kepada
Ibrahim.
''Hai Syekh, semoga Allah merahmatimu,'' katanya. ''Saya ini seorang pencuri.''
''Mendekatlah,
kau akan mendapatkannya. Dan sesudah mereka, berbuatlah sekehendakmu,''
jawab Ibrahim.''Mereka? Saya tidak paham mereka yang Syekh maksudkan.'
''Yang pertama, jika kamu mau melawan Tuhan, janganlah makan rezekinya.''
''Demi Tuhan, itu sangat sukar. Jika rezekinya semua di laut, di darat, di gunung, dari mana saya makan?''
''Pantaskah makan rezeki-Nya dan melawan-Nya?''
''Tidak.''
''Kedua, jika kamu ingin melawan Allah, jangan bertempat tinggal di negeri-Nya.''
''Demi Allah, itu lebih sukar dari yang pertama. Jika dunia ini kepunyaan-Nya, di mana saya tinggal?''
''Pantaskah makan rezekinya, tinggal di negeri-Nya dan melawan-Nya?'' ''Tidak.''
''Yang ketiga, jika hendak melawan Allah, lawanlah di tempat Ia tidak melihatmu.''
''Demi Allah, ini yang tersulit. Bagaimana mungkin, sedang Ia tahu semua yang tidak terlihat dan yang disimpan di dalam dada.''
''Pantaskan
makan rezekinya, bertempat tinggal di negerinya dan melawannya? Sedang
Ia melihat kamu?'' ''Tidak. Kalau begitu Syekh, beri saya yang
keempat.''
''Jika datang Malaikat Maut mengambil ruhmu, kamu akan
berkata, ‘Akhirilah kematian saya sampai saya bertobat. Malaikat akan
berkata, ‘Enak saja. Jika kamu tahu, mengapa tidak tobat
dulu-dulu.''Laki-laki itu belum puas dan karena itu masih meminta opsi
kelima.''Baik,'' kata Ibrahim. ''Jika datang Mungkar dan Nakir, maka
tolaklah.''
''Tidak ada kekuatan bagiku. Berilah Syekh, opsi yang lain.''
''Jika
kamu berada di tangan Allah Azza wa Jalla, sedangkan Allah
memerintahkan memasukkanmu ke neraka, berkatalah kepada Tuhan: Jangan
perintahkan mereka.''
''Saya mohon ampun kepada Allah. Saya
bertobat kepada-Nya.''Cerita ini dikutip oleh Syekh Yusuf Al-Makassari
dari kitab Zaadatul Musafirin (Perbekalan para Pengelana) dalam salah
satu risalahnya, An-Nafhatus Sailaniah (Embusan dari Ceylon).Syekh Yusuf
menulis lebih dari 20 tulisan terutama tentang tasawuf. Salah satunya
yang dari Srilangka alias Ceylon itu. Ditulis memenuhi keinginan para
jamaah dan sahabat, risalah ini memuat antara lain keharusan
mempersatukan syariat dan hakikat. Misalnya mengutip pendapat guru-guru
tasawuf yang menyatakan, ''Siapa yang berilmu tetapi tidak bertasawuf,
ia fasik. Siapa yang bertasawuf namun tidak berfikih, ia zindik.''
Begitulah
Syekh Yusuf Makassar. Dia berdakwah dengan cara memberi contoh dan
hikmah.Sehingga pendengarnya senang mengikuti dakwah yang
disampaikannya. Karena itulah, tak heran bila namanya begitu sangat
terkenal, termasuk di Cape Town, Afrika Selatan.Nama Syekh Yusuf
Makassar, tentunya sudah tidak asing lagi. Banyak artikel atau tulisan
dan buku-buku yang ditulis para pemerhati perjuangan Syekh Yusuf.Ia
adalah seorang ulama besar kelahiran Gowa, Sulawesi Selatan, pada 3 Juli
1626. Muhammad Yusuf atau lebih populer dengan sebutan Syekh Yusuf
Al-Makassari Al-Bantani berasal dari keluarga bangsawan tinggi di
kalangan suku bangsa Makassar dan mempunyai pertalian kerabat dengan
raja-raja Banten, Gowa, dan Bone. Konon, nama Muhammad Yusuf merupakan
pemberian dari Sultan Alauddin, Raja Gowa yang merupakan kerabat
ayahnya, Gallarang Moncongloe dan ibunya Siti Aminah.Namun, menurut
Hamka, nama ayah Syekh Yusuf adalah Abdullah Abul Mahasim. Keluarganya
yang memiliki latar belakang keislaman yang kuat membuat Syekh Yusuf
sejak kecil diajar serta dididik secara Islam.
Syekh
Yusuf Makassar, selain sebagai seorang ulama juga dikenal sebagai
pejuang nasional dan diangkat sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1995.
Ia juga seorang sastrawan sekaligus sebagai ahli tasawuf
(sufi).Pergulatannya dengan ilmu agama, perjuangannya melawan penjajah
hingga diasingkan ke Cafe Town, Afrika Selatan, sudah begitu banyak
dijelaskan oleh para tokoh dalam berbagai buku dan artikel. Pada tulisan
ini, akan dikemukakan perjalanan dan pemikirannya dalam bidang tasawuf.
Persentuhan
pertama kali dengan ilmu tasawuf didapatkannya dari Syekh Nuruddin
Ar-Raniri di Aceh, yaitu dengan belajar Tarekat Qadiriyah hingga ia
mendapatkan ijazah (sebuah pernyataan bahwa dia diperbolehkan
mengajarkannya kepada orang lain) dari Ar-Raniri.Selepas dari Aceh,
Syekh Yusuf melanjutkan perjalanan ke Arab Saudi melalui Yaman. Di Yaman
ini ia belajar pada Sayid Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh
Al-Kabir Mazjaji Al-Yamani Zaidi An-Naqsyabandi. Dari ulama ini, Syekh
Yusuf mendapatkan ijazah Tarekat Naqsyabandiyah.Masih di Yaman, Syekh
Yusuf kembali belajar ke pada Syekh Maulana Sayid Ali, dan diberikan
ijazah Tarekat Al-Baawalawiyah. Selanjutnya, dia menunaikan ibadah haji
di Makkah. Selesai berhaji, ia pergi ke Madinah dan belajar pada Syekh
Ibrahim Hasan bin Syihabuddin Al-Kurdi Al-Kaurani. Dari Syekh ini
diterimanya ijazah Tarekat Syattariyah. Belum juga puas dengan ilmu yang
didapat, Syekh Yusuf pergi ke negeri Syam (Damaskus) menemui Syekh Abu
Al-Barakat Ayyub Al-Khalwati Al-Qurasyi. Ia diberikan ijazah Tarekat
Khalwatiyah. Dari sekian banyak tarekat yang ia dapatkan, hal ini
menunjukkan keluasan dan kedalaman ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh
Syekh Yusuf. Tak heran, bila kemudian dia sangat ahli dalam bidang
tasawuf. Karena itu, dalam lontar versi Gowa disebutkan akan kedalaman
ilmu yang dimilikinya. Penguasaan ilmu yang dimiliki Syekh Yusuf
bagaikan "Tamparang tenaya sandakanna" (langit yang tak dapat diduga),
"Langik tenaya birinna" (langit yang tak berpinggir), dan "kappalak
tenaya gulinna" (kapal yang tak berkemudi). Kedalaman ilmu pengetahuan
yang dimilikinya, terutama dalam bidang tasawuf ini, membuat Syekh Yusuf
senantiasa berhati-hati dalam berperilaku. Disebutkan, Syekh Yusuf
senantiasa mempraktikkan ilmu tasawuf dalam hidupnya. Dalam hidup, Syekh
Yusuf menekankan pentingnya bagi setiap Muslim untuk menempuh jalan
kesucian batin dari segala perbuatan maksiat dengan segala bentuknya.
Dorongan berbuat maksiat, menurutnya, dipengaruhi oleh kecenderungan
untuk mengikuti keinginan hawa nafsu, yaitu keinginan memperoleh
kemewahan dan kenikmatan dunia. Hawa nafsu itulah yang menjadi sebab
utama dari segala perilaku yang buruk. Tahap pertama yang harus ditempuh
oleh seorang murid (salik) adalah mengosongkan diri dari sikap dan
perilaku yang menunjukkan kemewahan duniawi.
Syekh
Yusuf juga dikenal sebagai ulama yang sangat moderat. Dalam mengajarkan
proses penyucian batin kepada murid-muridnya, dia tidak menginginkan
murid-muridnya meninggalkan seluruh urusan dunia dan hanya mengejar
urusan akhirat. Menurut Syekh Yusuf, kehidupan dunia ini bukanlah harus
ditinggalkan dan hawa nafsu harus dimatikan sama sekali. Melainkan hidup
ini harus dimanfaatkan guna menuju Tuhan. Gejolak hawa nafsu harus
dikuasai melalui tata tertib hidup, disiplin diri dan penguasaan diri
atas dasar orientasi ketuhanan yang senantiasa melingkupi kehidupan
manusia.Hidup, dalam pandangan Syekh Yusuf, bukan hanya untuk
menciptakan keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi. Namun, kehidupan
ini harus diilhami dengan cita-cita dan tujuan hidup untuk menuju ridha
Allah SWT. Menurutnya, Allah SWT adalah inti dari orientasi dan tujuan
hidup seorang Muslim. Sedangkan dunia ini menjadi jalannya.Sejak kecil
ilmu tasawuf sudah mencuri perhatian Syekh Yusuf. Sebagain besar
perhatiannya tercurah pada ilmu yang kelak mengantarnya sebagai seorang
guru besar. Pengetahuan mengenai tasawuf diperolehnya dengan cara
menimba ilmu dari sejumlah ulama besar yang bermukim di tempat-tempat
yang pernah ia singgahi. Sebut saja diantaranya Syekh Nuruddin
Ar-Raniri, ulama masyhur di Aceh; Syekh Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi
bin Syekh Al-Kabir Mazjaji Al-Yamani Zaidi Al-Naqsyabandi, ulama yang
mengagas Tarekat Naqsyabandi; Syekh Maulana Sayid Ali, penggagas tarekat
Al-Baalawiyah; Syekh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin Al-Kurdi Al-Kaurani,
ulama asal Madinah pencetus Tarekat Syattariyah; Syekh Abu Al-Barakat
Ayyub Al-Khalwati Al-Qurasyi, ulama Damaskus pengaggas tarekat
Khalwatiyah. Karena itu pula, Syekh Yusuf pun banyak menulis buku dalam
bidang tasawuf. Buku-buku mengenai ajaran tasawuf ditulisnya ketika
dalam perantauan dan pada saat menjalani pengasingan. Ketika menjalani
pengasingan di Srilanka, salah seorang ulama besar dari India yang ia
temui di sana, Syekh Ibrahim Ibnu Mi'an, meminta Syekh Yusuf untuk
menulis sebuah buku tentang tasawuf berjudul Kayfiyyat
Al-Tasawwuf.Begitu juga selama menetap di Banten, Syekh Yusuf menulis
sejumlah karya demi mengenalkan ajaran tasawuf kepada umat Islam
Nusantara. Salah satu bukunya, Al-Barakat al-Sailaniyya, yang berisi
informasi tentang cara bagaimana mengikuti jalan sufisme, seperti
berdzikir, syahadat, dan cara bagaimana mendekatkan diri kepada Allah
(muraqabah). Pendapatnya dalam buku ini, ada tiga cara mengingat Allah
(dzikir), yakni melalui dzikr al-nafi wa al-ithbat dengan mengucap La
ilaaha Illa Allah; dzikir al-mudjarrad wa al-djalala, dengan mengucap
'Allah'; dan dzikir al-ishara wa al-anfas dengan mengucap 'hu'.
Karyanya
yang lain, Al-Fawa'ih al-Yusufiyya fi Bayan Tahqiq al-Sufiyya, ditulis
ketika dia menjawab pertanyaan orang mengenai beberapa masalah agama. Ia
menganjurkan orang untuk banyak membaca Alquran dan memperkuat tauhid,
di samping mengamalkan kewajiban agama. Dalam buku ini, ia juga
merekomendasikan kepada mereka untuk sabar, syukur, dan jujur. Seperti
halnya Al-Fawa'ih al-Yusufiyya fi Bayan Tahqiq al-Sufiyya, dalam
kitabnya, Hashiyya, Syekh Yusuf juga menjelaskan makna syahadat, yang
berarti kekuasaan apa pun berasal dari Allah. Kitab Hashiyya ini hampir
sama dengan buku Kayfiyat al-Mun-ghi wa al-Ithbat bi al-Hadits al-Qudsi,
yang dia tulis di Srilanka. Kitab ini menjelaskan pentingnya mengingat
Allah SWT di mana pun dan kapan pun, sebagaimana dicontohkan Nabi
Muhammad SAW. Didalam kitab ini juga dijelaskan cara-cara bertobat dan
memperoleh ridha Allah SWT.
Syekh Yusuf Al-Makassari
Sementara dalam kitabnya
yang berjudul Mathalib al-Salikin, sang ulama tasawuf menjelaskan
keesaan Allah sebagai landasan untuk menjadi seorang Muslim. Menurut
dia, seorang Muslim harus percaya pada konsep tauhid (keesaan Allah) dan
makrifah (pengetahuan tentang Allah) serta menjalankan ibadah.
Urutannya dapat dilihat sebagaimana pohon, terdiri atas batang yang
diibaratkan sebagai tauhid, cabang serta daun-daunnya diibaratkan
sebagai makrifah, dan ibadah sebagai buahnya.Syekh Yusuf Al-Makassari
juga dikenal sebagai seorang pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Sepulangnya dari menuntut ilmu di Makkah, ia kembali ke Tanah Air
(Indonesia). Tak langsung pulang ke kampung halamannya di Makassar,
Syekh Yusuf justru menetap di Banten dan bertemu dengan sahabatnya,
Pangeran Surya, yang kemudian menjadi Sultan Banten dan berjuluk Abul
Fath Abdul Fattah, atau lebih dikenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa
(1651-1683).
Selama di Banten, Syekh Yusuf turut
membantu perjuangan yang dilakukan Sultan Ageng Tirtayasa. Semasa
pemerintahan Sultan Ageng, bangsa-bangsa Eropa mulai melakukan ekspansi
ke wilayah Nusantara. Ketika para penjajah ini bermaksud menduduki
wilayah Kesultanan Banten, bersama dengan Sultan Ageng, Syekh Yusuf
melakukan perlawanan. Namun, pasukan Sultan Ageng dan Syekh Yusuf
akhirnya terdesak hingga akhirnya harus melakukan perang gerilya. Para
pejuang itu harus mundur ke daerah Priangan Timur, termasuk ke wilayah
Tasikmalaya selatan. Setelah sebelumnya menyusuri Sungai Ciseel dan
Sungai Citanduy, lalu berputar lewat Parigi (Ciamis). Menurut Abu Hamid,
Guru besar Ilmu Sosial dan Politik dari Universitas Hasanuddin Makassar
yang menulis tentang Perjuangan Syekh Yusuf, sang ulama berlindung di
sebuah tempat bernama Karang atau Aji Karang di Sukapura. Sukapura
adalah nama lain sebelum menjadi Tasikmalaya.Apa yang disebut Karang
oleh Abu Hamid, tidak lain adalah Karangnunggal. Di situ terdapat
kompleks Pamijahan dan Gua Safarwadi, tempat Syekh Abdul Muhyi, penyebar
Islam di Tasikmalaya, mengajarkan Islam kepada santri-santrinya. Di
situlah untuk beberapa waktu Syekh Yusuf berlindung sambil menyusun
kekuatan.
Menurut Azyumardi Azra, sumber-sumber Belanda
menyebutkan Syekh Yusuf mundur ke Desa Karang dan berhubungan dengan
seseorang yang dipanggil 'Hadjee Karang.' Tokoh ini tidak lain adalah
Abdul Muhyi, murid Syekh Abdul Rauf Singkel, ulama besar dari Aceh
penyebar ajaran Tarekat Syatariyah. Dengan segala tipu muslihat, Belanda
menangkap ulama ini pada 14 Desember 1683 di Segara Anakan. Ia dibawa
dari Pamijahan ke Batavia. Karena pengaruh Syekh Yusuf demikian besar,
maka penjajah Belanda berusaha keras untuk memadamkan semangat juangnya.
Pada
1684 Syekh Yusuf diasingkan ke Srilanka. Dan pada tahun 1693, ia dibawa
lagi ke Cape Town, Afrika Selatan, dan ditempatkan di Zandvliet, sebuah
daerah pertanian dekat muara Sungai Eerste.Sekitar enam tahun di Cape
Town, akhirnya Syekh Yusuf wafat pada tahun 1699 dalam usia 73 tahun. Ia
dimakamkan di Faure, tidak jauh dari tempat tinggalnya. Guna mengenang
Sang Guru, bangunan bekas tempat tinggalnya di Afrika Selatan dijadikan
bangunan peringatan yang diberi nama 'Karamat Syaikh Yusuf'. Hingga saat
ini, di mana letak makam Syekh Yusuf masih simpang siur. Sedikitnya ada
empat tempat yang menyebutkan makamnya, yakni di Cape Town (Afrika
Selatan), Srilanka, Banten, dan Gowa (Makassar).
Konon,
setelah meninggal dunia selama beberapa tahun, pemerintah Sulawesi
Selatan meminta kepada pemerintah Afrika Selatan agar jenazah Syekh
Yusuf dikembalikan ke Gowa. Namun, menurut sebuah versi, sesampainya di
Srilanka, pemerintah setempat menahannya dan menukarnya dengan jasad
yang lain. Dalam versi lainnya, setelah dari Srilanka, jenazah Syekh
Yusuf dibawa ke Indonesia. Namun, sesampainya di Banten, lagi-lagi
jasadnya ditukarkan dengan yang lainnya. Dari Banten lalu dibawa lagi ke
Makassar. Banyak pihak yang menyakini bahwa hingga kini makam Syekh
Yusuf ada di Afrika Selatan. Namun demikian, banyak pula yang meyakini
makamnya ada di Banten serta di Makassar.
Namun,
menurut sejawaran Prof Anhar Gonggong, makam Syekh Yusuf yang sebenarnya
berada di Lakiung, Sulawesi Selatan. Hal ini dibuktikan dari beberapa
sumber sejarah yang menyatakan bahwa jenazah Syekh Yusuf dibawa ke Gowa
oleh Belanda atas permintaan Sultan Abdul Jalil. Peristiwa itu terjadi
sekitar April 1705, di mana kerandanya tiba di Gowa untuk kemudian
dimakamkan di Lakiung keesokan harinya. Wallahua'lam. Pengaruh Syekh
Yusuf di Afrika Selatan hingga kini masih sangat besar. Mantan Presiden
Afrika Selatan yang juga pejuang anti-apartheid, Nelson Mandela,
menyebut Syekh Yusuf sebagai salah seorang putra Afrika terbaik dan
pemberi inspirasi bagi masyarakat setempat. Bahkan pemerintah Afrika
Selatan pada tanggal 25 September 2005 lalu menganugerahkan gelar
pahlawan nasional bagi Syekh Yusuf. Pemerintah Indonesia pun telah
menetapkannya sebagai pahlawan nasional pada 1995. Dalam sebuah
kesempatan, pemerintah Indonesia seperti disampaikan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono bersama dengan pemerintah Afrika Selatan,
memerintahkan Departemen Agama dan para sejarawan untuk menulis ulang
biografi Syekh Yusuf Makassar sebagai teladan bagi generasi kini dan mendatang.
Oleh Novri Al-Hadzami