Firqoh-firqoh Dhollah dan Munculnya Awal Bid’ah
Jasa Abu Bakar Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, atas pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang sangat gemilang dalam Islam ini adalah telah memberantas nabi-nabi palsu, pembangkang zakat, dan kaum murtad. Bahaya-bahaya terhadap Islam itu telah dibabatnya dengan mengerahkan tentara Islam demi menegakkan Islam di bumi Allah Subhanahu wa Ta’ala ini.
Periode selanjutnya, meskipun nabi-nabi palsu telah diberantas tuntas, namun bukan berarti tidak muncul lagi. Di samping itu musuh-musuh Islam atau yang membahayakan Islam masih tetap berlangsung bahkan bertambah, maka kondisinya bisa digambarkan:
- Muslimin
- Kafirin musyrikin dan kafirin Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani).
- Munafiqin
- Munculnya awal bid’ah yaitu bid’ah dzikir jama’i[1] (dzikir bersama-sama, dalam satu tempat, dengan suara yang sama, dipimpin oleh seseorang) di Irak dijumpai oleh Shahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam Abullah bin Mas’ud, atas aduan Abu Musa Al-Asy’ari, maka diingkari dan diingatkan oleh Abu Abdir Rahman (Abdullah bin Mas’ud) agar tak dikerjakan, namun mereka beralasan karena untuk kebaikan. Bid’ah itu tetap diingkari oleh Ibnu Mas’ud, kemudian pelaku-pelakunya diriwayatkan, ikut dalam Perang Nahrawan bersama orang Khawarij yang ditumpas oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib ra tahun 659M/ 37H. Jalan keluar dalam menghadapi Bid’ah itu adalah dengan menghidupkan Sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena bid’ah adalah lawan dari Sunnah.
|
Sebab Bid'Ah |
- Munculnya firqoh-firqoh dhollah (kelompok-kelompok atau aliran-aliran sesat). Di zaman Ali Bin Abi Thalib ra itu muncul kelompok Khawarij yang mengkafirkan Ali bin Abi Thalib ra dan Mu’awiyah. Kemudian Kaum Khawarij diperangi oleh Ali bin Abi Thalib di Nahrawan 659M/ 37 H. Muncul pula Syi’ah dipimpin Abdullah bin Saba’ sampai menuhankan Ali ra, maka mereka dihukum bakar oleh Ali bin Abi Thalib ra, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits al-Bukhari, kitab Al-Bidayah wan-Nihayah oleh Ibnu Katsir, dan kitab-kitab lainnya. Imam Ibnu Taimiyah menjelaskan:
وَأَوَّلُ مَنْ ابْتَدَعَ الْقَوْلَ بِالْعِصْمَةِ لِعَلِيِّ وَبِالنَّصِّ عَلَيْهِ فِي الْخِلَافَةِ : هُوَ رَأْسُ هَؤُلَاءِ الْمُنَافِقِينَ ” عَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَبَأٍ ” الَّذِي كَانَ يَهُودِيًّا فَأَظْهَرَ الْإِسْلَامَ وَأَرَادَ فَسَادَ دِينِ الْإِسْلَامِ كَمَا أَفْسَدَ بولص دِينَ النَّصَارَى وَقَدْ أَرَادَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ قَتْلَ هَذَا لِمَا بَلَغَهُ أَنَّهُ يَسُبُّ أَبَا بَكْر وَعُمَر حَتَّى هَرَبَ مِنْهُ كَمَا أَنَّ عَلِيًّا حَرَقَ الْغَالِيَةَ الَّذِينَ ادَّعُوا فِيهِ الْإِلَهِيَّةَ
Orang pertama yang menciptakan perkataan kamaksuman Ali (terjaga dari dosa) dan adanya nash (teks ayat atau hadits) untuk Ali dalam kekhalifahan adalah pentolan para munafiqin Abdullah bin Saba’ yang dia dulunya seorang Yahudi lalu menampakkan (diri) Islam dan ingin merusak agama Islam sebagaimana Paulus telah merusak Agama Nasrani. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib telah ingin membunuh orang ini (Abdullah bin Saba’) karena sampainya berita kepada Ali bahwa dia (Abdullah bin Saba’) mencaci abu Bakar dan Umar sehingga dia (Abdullah bin saba’) lari dari (Ali). Sebagaimana Ali telah membakar orang-orang ekstrim (Syi’ah Rafidhoh pengikut Abdullah bin Saba’) yang mereka itu menganggap dalam diri Ali bin Abi Thalib ada ketuhanan.
[2]
Itulah periode akhir masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan masa Khulafaur Rasyidin. Periode sebaik-baik generasi, namun musuh-musuh Islam sudah bermunculan. Hanya saja karena pemimpin Islam dan umat Islam masih teguh dalam memegangi Islam, masih benar aqidahnya, masih benar pemahamannya (manhajnya) dalam Islam, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rahmat dan pertolongan-Nya, hingga umat Islam mampu menumpas nabi-nabi palsu, kaum murtad, pembangkang zakat, dan bahkan kafir musyrikin dan kafir ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang memusuhi Islam. Padahal kalau dilihat secara perbandingan jumlah, manusia murtad yang dipimpin nabi palsu Musailimah Al-Kadzdzab yang maju berperang melawan Islam saja 40.000 orang, sedang umat Islam yang menghadapinya berjumlah 10.000 orang. Dari segi jumlah, tentara Islam hanya seperempatnya. Sedang tempat berperang pun justru di wilayah kekuasaan nabi palsu itu. Namun kegigihan umat Islam dalam mempertahankan Islam, menjadikan mereka mendapatkan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala, hingga kaum murtad terbunuh 10.000 orang, dalam riwayat lain disebut 21.000 murtadin terbunuh, sedang umat Islam hanya ratusan orang. Hanya saja banyak dari mereka yang mati syahid dalam menyerang nabi palsu dan kaum murtad itu penghafal Al-Qur’an, maka kemudian dimusyawarahkanlah oleh Abu Bakar Shiddiq untuk mengumpulkan Ayat-ayat Al-Qur’an menjadi satu mushaf (buku). Semua itu demi menegakkan Islam di bumi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Periode selanjutnya sampai sekarang, sebenarnya polanya sama:
- Muslimin dan pemimpinnya
- Musuh-musuh Islam dari dalam
- Musuh-musuh Islam dari luar
- Munafiqin
- Kafirin musyrikin dan kafirin Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani).
Senjata yang dimainkan oleh pihak nomor 2 sampai 5 itu di antaranya adalah:
- Bid’ah-bid’ah dengan segala rangkaiannya
- Kebodohan umat Islam dengan segala kaitannya
- Aliran-aliran sesat dengan berbagai bentuknya
- Syubhat-syubhat (pemikiran yang samar, menyerupai Islam, namun menjauhkan dari benarnya pengertian Islam) sebagai alat untuk membuat keraguan, bahkan menjauhkan dari Islam, atau malahan sampai memurtadkan.
- Tasawuf dengan aneka rangkaiannya hingga menyeret umat Islam kepada penyembahan mayat di kuburan, syekh-syekh dan sebagainya. Bahkan sampai menganggap Allah Subhanahu wa Ta’ala bersatu dengan diri orang tasawuf. Itu kesesatan yang sangat tinggi. Namun justru yang sangat menyimpang dari Islam itulah yang dikembang suburkan oleh musuh-musuh Islam. Makanya studi Islam di Universitas-universitas di Barat (Eropa, Amerika) dan Australia sangat mementingkan tasawuf, bukan Islam yang berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sedang yang jadi muridnya adalah dosen-dosen perguruan tinggi Islam dari Indonesia dan lainnya. Berita berikut ini cukup menjadi bukti: Bukti dari al-Ghozwul Fikri (serangan pemikiran) yang dilangsungkan Barat terhadap dunia Islam pun diseminarkan di London, Oktober 1993. Inti pembahasan tentang studi Islam di Barat dalam seminar internasional Islam II itu bahwa seluruh program studi Islam di perguruan tinggi Barat arahnya adalah yahudinisasi atau yudhaisme yang memandang Islam itu perannya tak sebesar Yahudi dan bahkan tak sampai setara dengan agama-agama di Timur seperti Hindu dan Budha. Sedang para guru besar studi Islam di Barat tidak faham tentang Islam. Ajaran yang disebut studi Islam hanya melulu tentang sufisme (tashallallahu ‘alaihi wa sallamuf), dan guru besar yang mengerti bahasa Arab sebagai sumber utama merujuk kitab-kitab Islam hanya 15%.[3]
- Penyamaan semua agama (pluralisme Agama) untuk merobohkan Islam dari dasarnya.
- Menghalalkan yang haram atau sebaliknya mengharamkan yang halal. Ini meneruskan aliran kebatinan Syi’ah:Qaramithah, pengikut Hamdan dari desa Qirmith di Kufah, muncul tahun 270H, madzhabnya mengatakan bahwa Isma’il (Imam dari Syi’ah Isma’iliyah) bin Ja’far adalah penutup para imam, dia hidup tidak mati, dan mereka (kaum Qaramithah) itu mengatakan halalnya hal-hal yang haram. (Mukhtashar At-Tuhfah halaman 17). Contoh nyata sekarang, sejak tahun 2002M/ 1423H, dosen UIN (Universitas Islam Negeri) Jakarta, Dr Zainun Kamal sudah tuman menikahkan wanita muslimah dengan lelaki non Islam. Padahal pernikahan Muslimah dengan lelaki non Muslim itu sudah jelas dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an Surat Al-Mumtahanan/ 60 ayat 10. Menghalalkan yang haram seperti ini didukung pula oleh dosen UIN Jakarta, Dr Kautsar Azhari Noer, dari Paramadina Jakarta. Juga Ulil Abshar Abdalla kordinatir JIL dan lainnya.
Yang perlu dimiliki untuk menghadapi bahaya musuh-musuh Islam:
Semua yang digagas dan dilontarkan bahkan diserangkan oleh musuh-musuh Islam kepada Umat Islam itu sebenarnya cara mengatasinya seperti yang telah dilakukan oleh generasi Salaful Ummah yaitu para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka terbukti telah mampu –atas izin dan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala— membabat rongrongan terhadap Islam. Karena mereka memiliki:
- Ulama yang teguh keislamannya
- Pemimpin yang teguh keislamannya.
- Masyarakat yang teguh keislamannya
- Ulama yang benar pemahamannya (manhajnya) tentang Islam
- Pemimpin yang benar pemahamannya (manhajnya) tentang Islam.
- Masyarakat yang benar pemahamannya (manhajnya) tentang Islam.
- Terbentuknya umat yang ilmu Islamnya benar, imannya benar, dan pengamalannya pun benar, ikhlas untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Lihat buku Hartono Ahmad Jaiz, Nabi-nabi Palsu dan Para Penyesat Umat, Pustaka Al-Kautsar, 2008, halaman 74-78).
[1] Munculnya Awal Bid’ah
Pada masa Abdullah bin Mas’ud bermukim di Kufah, di Irak muncul bid’ah, bertasbih (membaca Subhanallaah) jama’i (bersama-sama) dengan kerikil dan semacamnya. Hal itu di antaranya diriwayatkan oleh Ad-Darimi dalam Kitab Sunannya, ia berkata:
Al-Hakam bin Al-Mubarak telah mengabarkan kepada kami bahwa Umar bin Yahya berkata: Saya telah mendengar ayahku bercerita dari ayahnya, ia berkata:
Dahulu kami duduk di (depan) pintu Abdullah bin Mas’ud sebelum shalat shubuh, lalu jika ia keluar, kami akan berjalan bersamanya ke masjid. Lalu Abu Musa Al-Asy’ari datang kepada kami dan berkata:
Apakah Abu Abdir Rahman (Ibnu Mas’ud) sudah keluar bersama kalian?
Kami jawab: Tidak (belum). Lalu dia duduk bersama kami sehingga dia (Ibnu Mas’ud) keluar. Maka ketika dia keluar kami berdiri menuju kepadanya semuanya, lalu Abu Musa berkata kepadanya:
Wahai Abu Abdir Rahman, sesungguhnya aku telah melihat di dalam masjid tadi ada perkara yang aku mengingkarinya, dan aku tidak memandang –dan alhamdulillah— kecuali kebaikan.
Ibnu Mas’ud bertanya: Apa itu?
Lalu Abu Musa menjawab: Kalau kamu masih hidup, maka kamu akan melihatnya.
Abu Musa berkata (lagi): Aku telah melihat di dalam masjid ada suatu kaum duduk melingkar (halaqah), mereka menunggu shalat. Di dalam tiap-tiap lingkaran ada seorang lelaki dan di dalam tangannya ada kerikil, lalu ia berkata: Bertakbirlah (bacalah Allahu Akbar) seratus kali, maka mereka bertakbir seratus kali. Lalu ia berkata: Bertahlillah (bacalahLaa ilaaha illallaah) seratis kali, maka mereka bertahlil seratus kali. Dan dia berkata: Bertasbihlah kalian (bacalah Subhanallaah/ ) seratus kali, maka mereka pun bertasbih seratus kali.
Ibnu Mas’ud bertanya: Apa yang kamu (Abu Musa Al-Asy’ari) katakan kepada mereka?
Dia (Abu Musa) menjawab: Aku tidak mengatakan apa-apa, menunggu pendapatmu atau menunggu perintahmu.
Dia (Ibnu Mas’ud) berkata: “Kenapa tidak kamu suruh mereka untuk menghitung-hitung kejelekan-kejelekan mereka dan kamu jamin terhadap mereka untuk tidak hilang kebaikan-kebaikan mereka.”
Kemudian baru saja ia (Ibnu Mas’ud) berlalu dan kami berlalu bersamanya tiba-tiba dia mendatangi suatu halaqah(lingkaran kumpulan orang) dari halaqah-halaqah itu, lalu dia (Ibnu Mas’ud) berhenti di depan mereka, lalu dia berkata:
“Apa yang aku lihat sedang kalian kerjakan ini?”
Mereka menjawab: “Ya Abu Abdillah, (ini) kerikil, kami menghitung takbir, tahlil, dan tasbih dengan kerikil (ini).”
Dia (Ibnu Mas’ud) berkata: “Maka hitunglah kejelekan-kejelekanmu, maka aku jamin untuk tidak menghilangkan kebaikan-kebaikanmu sedikit pun. Celakalah kalian wahai umat Muhammad, betapa cepatnya kerusakan kalian, ini (masih ada) orang-orang sahabat Nabi kalian yang jumlahnya banyak, dan ini pakaian beliau belum rusak dan bejana-bejananya belum pecah. Demi (Allah) Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalian pasti berada di atas agama yang (kalian anggap) dia itu lebih berhidayah daripada agama Muhammad, atau kalian itu pembuka-pembuka pintu bid’ah.”
Mereka menjawab: “Demi Allah wahai Abu Abdir Rahman, kami tidak menghendaki kecuali kebaikan.”
Dia (Ibnu Mas’ud) berkata: “Dan berapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tidak pernah memperolehnya. Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah memberitahukan kepada kami bahwa ada suatu kaum yang mereka itu membaca Al-Quran tidak melewati tenggorokan-tenggorokan mereka. Wa ayyimullah (Demi Allah) aku tidak tahu barangkali kebanyakan mereka itu dari kamu sekalian.”
Kemudian dia (Ibnu Mas’ud) berpaling dari mereka.
Lalu Amru bin Salamah berkata: Kami telah melihat secara umum mereka (yang diomeli Ibnu Mas’ud) itu menikami kami pada hari (pertempuran) Nahrawan ketika kami memerangi kaum Khawarij. (Sunan Ad-Darimi 68, 69.)
Komentar terhadap Keadaan Itu
Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-’Aql berkata, “Aku katakan, Subhaanallaah, sebagaimana mereka itu cepat-cepat menuju bid’ah, cepat-cepat pula menuju fitnah, maka munculnya perintis-perintis (thalai’) khawarij adalah dari mereka yang mengadakan bid’ah ini (bid’ah takbir-tahlil jama’i/bersama-sama). Karena Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu wafat tahun 32 atau 33 H sebelum adanya fitnah atas Utsman dan sebelum munculnya Khawarij. Ketika Ibnu Mas’ud melihat mereka yang demikian itu maka dia mengetahui mereka itu ada tanda-tanda ahli hawa nafsu, dan akan terjadi sesuatu dari mereka. Maka perkaranya terjadi seperti apa yang Ibnu Mas’ud telah katakan. (Dr. Nashir bin Abdul Karim Al-’Aql, Al-Ahwaa’ wal Firaq wal Bida’ ‘ibra Tarikh Al-Islami, Masiratu Rakbis Syaithan, Darul Wathan, Riyadh, cet. I, 1415 H, hlm. 35-36).
Pertempuran di Nahrawan (tepi sungai Dajlah/Tigris Irak) adalah penumpasan yang dilakukan oleh Khalifah Ali bersama tentaranya terhadap kaum Khawarij dan aliran sesat lainnya yang mengadakan pembunuhan-pembunuhan dan kekacauan. Pertempuran terjadi 659 M/37 H.
Pencipta Pertama Bid’ah Takbir Jama’i
Pencipta pertama bid’ah takbir jama’i adalah Mu’adhad bin Yazid Al-’Ajili dan teman-temannya di Kufah. Lalu Ibnu Mas’ud RA melarang mereka dan melempar mereka dengan kerikil. Yang demikian itu terjadi sebelum wafatnya Ibnu Mas’ud tahun 33 H. Dan sungguh mereka telah menghentikan perbuatan tersebut, sampai perbuatan itu kemudian dimunculkan (lagi) oleh kaum shufi/orang-orang tasawuf pada masa Ma’mun (198 H- 218 H/813-833 M) dan setelahnya, sedang masa itu ada orang tasyayyu’ (Syi’ah mengkultuskan Ali), dialah yang menciptakan bid’ah baru, bertakbir jama’i setelah shalat di masjid-masjid. (Lihat Al-Bidayah wan Nihayah 10/270).
[2] (Ibnu Taimiyyah,
Majmu’ Fatawa, juz 1 halaman 400)
[3] (Harian Pelita, Jakarta 29/10 1993).
Oleh
HM Jaiz